Teuku Ichlas Arifin | DETaK
Gampong Pande merupakan salah satu desa tertua yang ada di Banda Aceh dan juga menyimpan berbagai situs-situs sejarah yang sudah ada semenjak era Kerajaan Aceh Darussalam dahulu. Situs sejarah yang ada seperti temuan beberapa nisan makam Raja-Raja era Kerajaan Aceh Darussalam. Dan sejarah mencatat bahwa awal mula munculnya Kerajaan Aceh Darussalam bermula dari desa ini, yakni Gampong Pande pada abad XIII Masehi.
Kata pande atau pandai berasal dari bahasa Melayu yang mengacu pada orang yang memiliki keterampilan khusus, yaitu mereka yang memiliki pengetahuan dan keterampilan profesional untuk menempa, mencetak atau membuat benda dari bahan logam, baik yang terbuat dari logam mulia seperti emas dan perak atau logam biasa seperti besi, timah, kuningan, atau perunggu.
Gampong Pande atau dalam bahasa Indonesianya Kampung Pande adalah sebuah desa yang berposisi di sebelah barat sungai Krueng Aceh dan juga terletak di pinggiran laut. Di posisi sebelah utara berbatasan dengan Krueng Aceh yang diapit oleh desa Lampulo. Gampong ini juga berdampingan dengan Kecamatan Meuraxa dan Pelabuhan Ulee Lheue. Lalu di sebelah timur Kampung Pande juga diapit beberapa kampung tua lainnya, seperti Kampung Peulanggahan, Kampung Jawa, dan Kampung Keudah yang terletak di sebelah selatan.kemudian sebelah utaranya berhadapan dengan pantai dan kuala Krueng Aceh.
Menurut pendataan Balai Pelestarian Cagar Budaya Kota Banda Aceh tahun 2017 yang dikutip dari kebudayaan.kemdikbud.go.id, di Gampong Pande ini juga ditemui Komplek Makam Raja-Raja Gampong Pande yang merupakan tempat komplek pemakaman Raja-Raja pada masa Kerajaan Aceh Darussalam pada Abad 16 Masehi. Dalam komplek ini yang dimakamkan antara lain; Raja Alaidin Mukmin Syah wafat tahun 1576 M, Sulthan Sri Alam (tidak diketahui tahun wafatnya) dan Sulthan Zainal Abidin wafat tahun 1577 M.
Menurut salah seorang peneliti asing yaitu Van Langen menyebutkan bahwa Gampong Pande dan Kandang merupakan salah satu bagian dari desa yang berdekatan di Kuala Kreung Aceh hingga abad 19 Masehi serta diawasi langsung dan dikelola oleh pemerintahan Sulthan Mansur Syah (Tuanku Ibrahim) dari tahun 1846-1870. Kandang merupakan tempat tinggal para hamba/abdi Sultan kala itu, mereka bertugas untuk memenuhi segala kebutuhan Sultan Aceh.
Gampong Pande baru disebut dalam sumber tertulis lokal yaitu dalam Hikayat Pocut Muhammad. Gampong Pande dikenal sebagai salah satu benteng yang diduduki oleh panglima perang Sultan Pocut Muhammad, tapi tidak ada penjelasan tentang kegiatan para pande karena sedang terjadi perang saudara di Kerajaan Aceh. Tapi dikatakan Pocut Muhammad memerintahkan para pande istana untuk menempa kancing dengan emas dan membuat pedang dengan gagang dari suasa.
Kini, desa seluas 180 hektar ini dikelilingi oleh tambak dan menjadi rumah bagi sekitar 200 kepala keluarga. Dinas Kebudayaan Pariwisata (Disbudpar) Banda Aceh menetapkannya sebagai kawasan cagar budaya, dan ditutup rapat untuk orang asing, serta di sini juga tersimpan dua pedang VOC dan beberapa makam yang tidak terawat setelah diterjang Tsunami pada tahun 2004. Sedangkan koin emas telah lama berpindah tangan serta diperdagangkan, namun ada juga beberapa peninggalan yang berhasil diselamatkan untuk kepentingan sejarah.[]
#30HariKilasanSejarah
Editor: Indah Latifa