Beranda Artikel Menilik Sejarah Jam Gadang, Ikonnya Kota Bukittinggi

[DETouR] Menilik Sejarah Jam Gadang, Ikonnya Kota Bukittinggi

BERBAGI
Potret Jam Gadang, Ikonik Bukittinggi. 09/06/2022. (Uswah Zilhaya/DETaK)

Artikel | DETaK

Salah satu ikon dari Sumatera Barat khususnya Bukittinggi adalah Jam Gadang. Jam Gadang tepatnya berada di Bukik Kandang Kabau diantara Pasa Ateh (Pasar atas) dan komplek Istana Bung Hatta. Diameter jamnya berukuran 80 cm dan ketinggian Menara 26 m. Jam Gadang yang berartikan jam besar ini sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Melihat sudah tuanya jam ini, tentu banyak sejarah yang telah dilalui.

Jam Gadang memiliki empat jam berukuran besar yang berada di keempat sisinya. Jam Gadang dibangun pada tahun 1926-1927 atas ide dari Roelof  Rookmaaker yang masa itu menjabat sebagai sekretaris kota Fort de Kock (sekarang Bukittinggi). Jam yang digunakan merupakan hadiah dari Ratu Belanda Wihelmina. Aksitek yang bertanggung jawab terhadap pembangunan ini adalah Yazid Rajo Mangkuto dan pelaksanaan pembanguanan dimandori oleh Sutan Gigi Ameh.

Iklan Souvenir DETaK

Selama masa pengembangannya, Jam Gadang telah mengalami tiga kali perubahan pada atap menaranya. Selama masa pemerintahan Hindia Belanda, menara Jam Gadang berbentuk bulat dengan patung ayam jantan diatasnya. Berlanjut ke masa pemerintahan Jepang, menara Jam Gadang direnovasi menyerupai atap Kuil Shinto. Baru setelah Indonesi merdeka, tapatnya pada tahun 1953, atap Jam Gadang diubah menjadi bentuk gonjong mengikuti rumah adat Minangkabau.

Kejadian ironis pernah terjadi di sekitar jam gadang. Setelah berita proklamasi kemerdekaan Indonesia diumumkan di Bukittinggi, bendera merah putih untuk pertama kalinya dikibarkan di puncak Jam Gadang. Massa yang megibarkan bendera ini dipimpin oleh pemuda bernama Mara Karma. Pada masa Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (1958–1961), terjadi pertempuran antara Tentara Indonesia (ketika itu bernama Angkatan Perang Republik Indonesia atau APRI) dengan pasukan PRRI. Di bawah Jam Gadang, APRI pada tahun 1959 membunuh sekitar 187 orang dengan cara ditembak karena dituduh melakukan pemberontakan. Hanya 17 orang dari jumlah tersebut yang merupakan tentara PRRI, sedangkan selebihnya merupakan rakyat sipil. Para mayat lalu dijejer di halaman Jam Gadang.

Penulis bernama Uswah Zilhaya, mahasiswi Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Syiah Kuala. Ia juga merupakan salah satu anggota di UKM Pers DETaK.

Editor: Della Novia Sandra