Beranda Artikel Cerita Pengalaman Para Perempuan Muda Aceh Mengubah Kebiasaan Warga Lewat Aplikasi e-tikbroh.yak

Cerita Pengalaman Para Perempuan Muda Aceh Mengubah Kebiasaan Warga Lewat Aplikasi e-tikbroh.yak

BERBAGI
Sosialisasi aplikasi e-tikbroh.yak kepada para perajin di Desa Alue Deah Teungoh, 07/10/2022 (Dok.e-tikbroh.yak)

Artikel | DETaK

Berawal dari keresahan terhadap persoalan sampah di lingkungan sekitarnya, Siti Manzila tergerak menciptakan aplikasi antar jemput sampah. Inisiatif tersebut mendorong warga mulai mengubah kebiasaannya.

Perempuan asli Aceh itu bernama Siti Manzilla Amalia. Ia biasa disapa Manzil oleh orang-orang di sekitarnya. Manzil adalah sosok di balik gagasan terbentuknya aplikasi antar jemput sampah non-organik, e-tikbroh.yak.

Iklan Souvenir DETaK

Tumpukan dan gunungan sampah yang kerap ditemui, mengusik nurani Manzil. Ia berpikir sampah harusnya dapat dimanfaatkan dengan lebih baik, bahkan dapat bernilai ekonomis dengan menyulapnya menjadi kerajinan-kerajinan tangan.

Dari potensi itulah tebersit ide di benak Manzil untuk membuat aplikasi antar jemput sampah. Ia berharap sampah dapat dikelola dengan baik dan tidak berakhir dengan dibakar, menggunung di TPA, dan mengapung di lautan.

“Kakak pertama udah lihat sampah plastik, kayak SoKlin itu ternyata bisa diolah menjadi tas, dompet. Terus dari itu kakak kepikiran, di sekitar kakak tu kan banyak sampah saset kemasan itu dibuang dan bahkan dibakar gitu. Karena kebetulan kakak tinggalnya di daerah Sawang, di pesisir pantai ya. Disitu tu masyarakat sering buang sampah ke laut tu, paling enggak dibakar sampahnya,” jelas Manzil.

Ide Manzil ini sempat diragukan oleh Ibunya, lantaran kebiasaan masyarakat sekitar terhadap sampah selama ini.

“Ide kakak ni ditolak ni sama Umi kakak kan, langsung dibilang ‘masyarakat pasti nggak mau lah, nanti juga buang sampahnya ke laut dan nggak peduli’ kek gitu,” ujar Manzil meniru pernyataan Ibunya.

Gagasan perempuan berusia 22 tahun ini akhirnya menemukan jalannya melalui dosen program studinya, Rizanna Rosemary. Saat itu dosen cum peneliti tersebut sedang melakukan pengabdian masyarakat dengan mendampingi kelompok perajin sampah kemasan di salah satu kawasan Banda Aceh.

Ibarat botol bertemu tutup, gagasan Manzil sejalan dengan kebutuhan para perajin. Kehadiran aplikasi akan membantu para perajin atau penadah sampah lebih mudah memperoleh sampah yang akan diolah. Selain tentunya ikut andil dalam kebaikan lingkungan.

Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Syiah Kuala yang kerap dipanggil Bu Izan tersebut mendukung penuh inisiatif Manzil. Ia menjadi pembimbing dalam merealisasikan aplikasi antar jemput sampah non-organik yang kemudian diberi nama e-tikbroh.yak itu. Nama e-tikbroh.yak punya makna yaitu “e” kependekan dari elektronik, sedangkan “tik broh” diambil dari bahasa Aceh yang berarti membuang sampah, dan “yak” adalah sebuah ajakan semacam “yuk”. Jadi, e-tikbroh.yak adalah sebuah ajakan membuang sampah secara digital.

“Nama itu emang digunakan sebagai nama dengan bahasa lokal, dengan bahasa Aceh. Jadi lebih memiliki di masyarakat Acehnya,” ucap Manzil.

Mengatasi Berbagai Hambatan untuk Mewujudkan Impian

Membuat aplikasi ternyata bukan perkara mudah. Manzil dan timnya mesti menghadapi sejumlah hambatan. Rizanna mengaku hambatan pertama datang dari kampus yang mulanya telat memiliki program bank sampah dengan konsep tersendiri. Akibatnya kesulitan menemukan celah agar gagasan ini masuk ke program yang ada.

Selain dari kampus, tantangan juga datang dari dinas perhubungan. Dinas mengarahkan agar perencanaan diulang kembali sehingga memerlukan waktu cukup lama. Sementara di luar, sampah terus bertambah memenuhi pandangan mata.

“Kami pikir, ya kita nggak perlu terlalu nunggu apa yang di luar, karena di depan mata sampah itu kan terus dihasilkan gitu kan. Kalau kita nggak bergerak dari sekarang, ya nggak akan ini,” ucapnya.

Keberadaan para pemulung juga sempat membuat tim e-tikbroh.yak bimbang. Di satu sisi permasalahan sampah harus ditangani. Di sisi lain kehadiran aplikasi dikhawatirkan akan bersinggungan dengan kelompok pemulung yang menggantungkan hidupnya dari sampah.

“Kalau kita bisa dan menjadi tersistem seperti ini, mereka (pemulung) bisa jadi mitra kita gitu kan, bisa menjadi kurir, atau membantu kita memilah-milah,” harap Rizanna sambil sesekali membenahi posisi kacamatanya.

Selain hambatan non-materiiel, Manzil menyampaikan mereka sempat mengalami kesulitan pendanaan. Pasalnya pengembangan aplikasi membutuhkan biaya besar belum lagi keharusan membayar pelanggan. Situasi ini sempat membuat tim yang identik dengan kaus hijau ini jadi goyah.

“Sempat terkendala di dana nih pas mau buat aplikasi. Kan untuk ngembangin aplikasi tu mahal ya, sampai Rp 23.500.000 kemarin. Jadi kayak bingung nih, sedangkan dana kami terbatas. Dan kalau misalnya kita buat aplikasi yang pas-pasan juga itu nanti takutnya sama aja kan, nggak jalan. Jadi, emang ada terkendala di dana, terus juga kami tu harus bayar pelanggan juga. Nah selain pemasukan kami mungkin belum stabil, tapi kami juga harus bayar pelanggan, itu juga butuh dana,” jelas perempuan muda penggagas aplikasi tersebut.

Ambisi besar dan kegetolan tim akhirnya dapat menyeruak kepelikan-kepelikan itu. Mereka menyusun proposal pendanaan dan menyebarkannya. Upaya itu membuahkan hasil. Mereka mendapat pendanaan dari Program Inovasi Produk Mahasiswa (PIPM), Hilirisasi Inovasi USK (HiU), Program Pembinaan Usaha Mahasiswa Wirausaha (P2MW) dan Pertamina Foundation.

Gagasan yang mulanya hanya bertengger di dalam kepala, akhirnya mulai dirajut pada 4 Desember 2021. Dua tahun berikutnya, tepatnya pada 18 Mei 2023 terbentuk struktur organisasi secara utuh dengan 25 anggota. Mereka terdiri dari 6 dosen, 13 lainnya adalah mahasiswa, dan melibatkan 6 volunteer.

Slogan “Bumi Sehat Dompet Aman” menjadi ciri khas aplikasi yang secara resmi akan diluncurkan pada September 2023 mendatang. Selain menerima pendanaan, program ini juga menjalin kerja sama dengan beberapa pihak. Di antaranya Natural Aceh, Pegadaian, kamiKita, Bank Sampah USK, Penyandang Disabilitas dari Children and Youth Disabilities for Change (CYDC). Tak ketinggalan perajin dari Gampong Alue Deah Teungoh yang berperan sebagai mitra.

Cara kerja aplikasi ini dimulai dari pemesanan pada aplikasi melalui fitur “jemput”. Lalu pengguna akan diarahkan untuk berinteraksi dengan kurir dan akan ditanyai lokasi rumah dan dokumentasi kondisi sampah yang akan dijemput. Setelahnya, akan diminta menekan menu order di tahap terakhir lalu pemesanan akan diproses admin dan akan ditentukan jadwal penjemputannya.

Mendorong Perubahan Kebiasaan Warga dan Libatkan Perempuan

Sebagai langkah awal untuk pengenalan sebelum diaplikasikan pada masyarakat luas, tim e-tikbroh.yak menjadikan Desa Alue Naga sebagai desa percontohan. Di desa yang berada di tepi sungai Krueng Aceh tersebut diadakan penjajakan awal dan edukasi mengenai sampah dan pengolahannya.

Sebelum nantinya proses jemput sampah dilakukan secara daring via aplikasi, tim e-tikbroh.yak melakukan uji coba dengan menjemput sampah secara manual. Kegiatan ini dijadwalkan dua minggu sekali, pada hari sabtu.

Sabtu, 4 Agustus 2023 lalu, saya mendapat kesempatan untuk ikut penjemputan sampah bersama tim e-tikbroh.yak dan dosen-dosen pendamping di desa percontohan tersebut. Selain penjemputan sampah, kala itu dilakukan simulasi penggunaan aplikasi agar kedepan masyarakat dapat mengakses melalui genggaman masing-masing.

Penjemputan sampah dan proses penimbangan dilakukan di gazebo yang bertengger di sisi kiri rumah milik salah seorang warga, yaitu Yusniar. Ia seorang ibu rumah tangga yang menjadi penggerak pelaksanaan di Desa Alue Naga tersebut. Dengan kerudung hitam sepanjang siku yang pinggirnya dihiasi renda berwarna krem, ia menyambut kedatangan saya dan tim e-tikbroh.yak.

Satu demi satu, tetangga perempuan Yusniar datang membawa tentengan masing-masing. Kantong plastik berwarna biru, merah, hitam dengan berbagai ukuran, serta karung goni dan lipatan kardus bekas serentak menghiasi pekarangan rumah Yusniar. Masing-masing kantong plastik dan karung goni berisi sampah-sampah nonorganik yang sudah terpilah berdasarkan kelompoknya. Sampah nonorganik yang dijemput pagi itu berupa botol plastik, bungkus deterjen, bungkus mie instan, sampah atom, dan kardus bekas.

“Untuk sementara, di e-tikbroh.yak kan buka kategori sampah itu ada jenis hvs, terus juga ada kardus. Terus juga ada ini, aqua, aqua gelas, sama aqua botol sedang, botol kaca, botol sirup, sampah atom. Terus juga minyak, minyak juga kami terima, minyak yang bukan goreng. Minyak jelantah nanti bisa diolah jadi biosolar. Terus juga ada saset-saset itu lah, saset rinso, kemasan-kemasan yang bisa diolah yang ada kilat-kilatnya gitu,” jelas Manzil, yang menjabat sebagai Ketua Bidang Humas.

Kehadiran e-tikbroh.yak di Desa Alue Naga, terkhusus di Dusun Pariaman mengubah banyak kebiasaan masyarakat di sana dalam mengurus sampah. Yusniar mengaku setelah ada e-tikbroh.yak, kegiatan membakar sampah jadi berkurang.

Sebelumnya, sampah selalu dibakar karena mereka merasa tidak ada alternatif lain, terlebih lagi truk pengangkut sampah tidak melintasi dusun pariaman. Ditambah lokasi tong sampah dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) berjarak sekitar 875 m dari rumahnya.

“Gak tahu mau buang sampahnya ke mana. Kayak kami kan gak ada yang datang, maksudnya di depan-depan rumah, misalnya yang ngutipin sampah kayak mobil sampah itu gak sampe kemari. Iya, harus jalan ke depan,” pungkas Yus.

Sebagai delegasi e-tikbroh.yak untuk desanya, perempuan berkulit sawo matang ini mengaku para tetangga perempuannya punya semangat lebih dalam mengelola sampah dan menjaga kebersihan. Keberadaan e-tikbroh.yak bukan hanya memberi manfaat berupa lingkungan yang bersih tapi juga pengelolaan sampah jadi baik. Ia juga mendapat keuntungan dari poin-poin yang bisa ditukarkan dengan emas.

“Kita bukan hanya untuk sekadar bisa membuang sampah kita kayak gitu, tapi selain sampah kita bersih di rumah, tapi kita dapat manfaatnya. Seperti dapat poin bisa ditukarkan dengan emas, apalagi mereka udah bekerjasama dengan pegadaian,” tutur Yusniar yang sesekali memegang buku tabungan sampah di pangkuannya.

Warga Desa Alue Naga yang aktif bergerak dalam penyetoran sampah dan terlibat bersama e-tikbroh.yak seluruhnya adalah perempuan. Salah satunya Nurhayati, Ibu dari tiga orang anak perempuan ini menyampaikan dirinya punya kesadaran tinggi soal pengelolaan sampah dan kebersihan rumah. Sedari masih di bangku sekolah, ia mengaku sudah akrab dengan isu sampah, tepatnya pemilahan sampah organik dan non-organik.

“Saya nggak, nggak terlalu memaksakan gitu, nggak. Kalau saya bisa berbuat, ya saya aja dulu. Kalau kita pribadi kan nggak mesti disuruh, kita bisa bergerak langsung gitu,” ujar Nurhayati.

Nurhayati mengatakan ia dan Ibu-Ibu lain di desanya senantiasa saling mengajak, mengingatkan, dan menyampaikan segala informasi tentang penanganan sampah termasuk penjemputan sampah. Program yang dikelola mahasiswa ini mengubah dirinya untuk jauh lebih peduli pada sampah. Penjemputan dua minggu sekali tersebut juga selalu dinanti untuk menyerahkan sampah-sampah yang telah dipilah sebelum jadwal penjemputan.

“Udah tau, udah tau buat simpankan (sampah kemasan minuman). Kalau kemarin-kemarin mungkin langsung dibuang, kalau ini udah sadar sendiri. O iya ini untuk bawa nanti hari sabtu,” ujar perempuan dengan kerudung hitam tersebut.

Tidak hanya antar jemput sampah dan mengedukasi masyarakat, tim juga mengadakan kegiatan pembersihan pantai dengan menggandeng organisasi-organisasi di Banda Aceh lainnya. Pembersihan pantai dilakukan pada 4 Juni 2023 silam di Pantai Alue Naga, Banda Aceh.

Aksi untuk memperingati Hari Tanpa Tembakau Sedunia ini menghasilkan hamparan pantai yang bersih sejauh pemantauan pada 5 Agustus 2023 dua bulan setelah kegiatan. Kondisi ini tak terlepas dari himbauan mereka kepada masyarakat sekitar soal sampah dan keberadaan e-tikbroh.yak.

“Nah, sekarang setiap saya lihat itu nggak ada botol-botol. Makanya saya, karena waktu itu pas kami sambil beach cleaning ini kami bilang ke masyarakat, bapak-bapak misalnya ada yang buang sampah di buang di sini. Atau orang yang foto-foto bilang jangan di buang di situ, dikumpulkan saja, kami jemput dan kita bisa dapat poin. Jadi, menurut saya itu salah satu bukti keseriusan kami. Itu ada dampaknya. Jadi, mereka pun walaupun ya, untuk membakar masih dilakukan. Karena kan sifat kami ini kan juga belum bisa tiap hari kan, perlahan-lahanlah,” imbuh Rizanna di gazebo milik Yus, 5 Agustus 2023.

Perubahan Pada Anggota Tim, Tumbuhnya Kepedulian Lingkungan

Tidak hanya mengubah kebiasaan masyarakat dalam memandang sampah, lahirnya e-tikbroh.yak juga mendorong pengurus-pengurusnya makin dekat dan lebih menghiraukan permasalahan lingkungan.

Salah satu pengelola e-tikbroh.yak di bidang spesialis media, Fadhia Sahlaa menceritakan e-tikbroh.yak merupakan kegiatan sosial terkait isu lingkungan pertama yang ia ikuti. Ia menyadari setelah menjadi bagian e-tikbroh.yak ia lebih peduli dengan kebersihan lingkungan, bahkan ia tidak lagi ragu untuk mengutip sampah yang dilewatinya.

“Contohnya tu kalau ada sampah, misalnya di Blang Padang (lapangan di Banda Aceh) tu kan banyak yang ninggalin sampah, nah, biasa sekalian balek tu ambillah yang lewat jalan. Sebelum di e-tikbroh.yak, mana ada mikir sampah-sampah orang,” tutur Fadhia dengan disisipi tawa.

Salah satu perempuan muda pengelola e-tikbroh.yak ini mulai bergabung lewat penyusunan proposal P2MW. Ia mengaku setiap proses yang ia alami bersama tim memberi kesan lebih bagi dirinya.

Fadhia mendapat kenyamanan di dalam organisasi ini melalui interaksi antar anggota tim. Selain itu dosen pembimbing juga kerap melibatkannya dalam sejumlah aktivitas. Ia merasa banyak kesempatan baru yang terbuka untuknya setelah menjadi bagian e-tikbroh.yak. Salah satu yang melekat padanya adalah kesempatan menjemput sampah.

“Kesannya, omak luar biasa kali, kek mana ya, banyak kali rezeki, banyak kesempatan, nyobain hal baru. Gara-gara e-tikbroh bisa kenal Bu Izan, jadinya Bu Izan tu sering ngajak gitu kalau ada ini itu, “yok”, ”yok”, jadi banyak pengalaman baru. Alhamdulillah bisa membantu banyak orang. Paling berkesan di e-tikbroh, jemput sampah, itu baru pertama kali sih,” ujar mahasiswa Ilmu Komunikasi tersebut.

Keputusan Fadhia untuk masuk ke dalam tim karena pengaruh salah satu teman karibnya, Marini Koto. Di e-tikbroh.yak sendiri, Marini menduduki posisi sebagai Desainer Grafis. Perempuan asal Aceh Tengah ini memiliki ketertarikan pada isu lingkungan sejak ia kecil. Kegemarannya menonton film dokumenter National Geographic mengantarkan pada kesukaannya terhadap alam dan lingkungan.

Kepedulian Marini terhadap lingkungan seperti diuji ketika melihat gunung-gunung di sekitar rumahnya mulai sering terbakar hingga mengakibatkan lenyapnya pepohonan. Kegelisahan terhadap keadaan ini membawa perempuan kelahiran 2003 ini makin mendalami isu lingkungan. Marini turut aktif dalam serangkaian kegiatan lingkungan sebelum berkiprah di e-tikbroh.yak.

“Saya itu sering mengikuti kampanye-kampanye lingkungan dan aktivitas lingkungan, seperti menanam mangrove dan segala macam dari komunitas-komunitas yang saya ikuti selain E-tikbroh.yak. Itu kan ada tuh kegiatan yang berafiliasi itu antara satu sama lainnya nah, saya biasanya ikut ketika itu berbau dengan lingkungan. Kemudian saya juga ikut dalam sekolah jurnalis lingkungan yang tentunya sejalan dengan isu ini,” jelas penggemar aktivis lingkungan, Farwiza Farhan ini.

Dari kesempatan terjun langsung dan berinteraksi dengan masyarakat yang dijembatani e-tikbroh.yak, Marini mendapati masyarakat pada dasarnya peduli dan mau menjaga lingkungan dan mengelola sampah. Sayangnya, tidak ada fasilitas dan edukasi yang cukup. Kehadiran e-tikbroh.yak dirasa jadi jawaban dari hambatan-hambatan tersebut.

“Sebenarnya masyarakat juga aware dengan masalah lingkungan seperti sampah ini. Cuma mereka nggak tahu gitu, eh sebenarnya kampanye bisa diolah seperti apa ya? Dan sebenarnya sampah ini bisa dipilah seperti apa ya? Mereka mau, cuman mereka nggak tahu harus kayak gimana. Dan dengan adanya e-tikbroh.yak ini, tentunya sebagai apa ya, sarana ataupun fasilitas yang nggak cuman mengedukasi mereka, tapi membuat mereka untung gitu. Soalnya kan ada nilai ekonomi dalam aplikasi ini,” jelas Marini.

Mengenyam pendidikan di Banda Aceh menyadarkan Marini bahwa kondisi sampah di Banda Aceh dan Aceh Besar sangat memprihatinkan. Hamparan pantai yang membentang di Aceh sebenarnya punya potensi besar, tapi taburan sampah-sampah masih memenuhi tempat-tempat wisata. Marini juga mendapati di beberapa tempat tidak disediakan wadah pembuangan sampah.

“Kondisi sampah di Aceh ini sangat memprihatinkan ya, karena kan kita ketahui Aceh itu kan salah satu daerah yang sangat indah gitu. Dan sebenarnya keindahan pantainya Aceh itu lebih indah daripada Bali. Nah, sangat disayangkan ketika kita pergi ke tempat wisata, banyak sampah-sampah yang berserakan di pinggir pantai di pinggir jalan gitu. Bahkan di tempat-tempat tertentu tong sampahnya aja nggak ada gitu,” papar perempuan berusia 20 tahun yang mulai menerapkan diet plastik di kehidupannya.

Untuk mengatasi permasalahan sampah di Banda Aceh dan Aceh Besar, Marini merasa pemerintah perlu menerapkan aturan sampah terpilah pada setiap rumah. Jadi masyarakat dapat mengklasifikasikan sampahnya sebelum akhirnya dialihkan ke TPA.

Menurut Marini ini akan memudahkan para petugas pembuangan sampah untuk mengelompokkan sampah. Sampah yang bisa didaur ulang diserahkan kepada penadah dan dijual kembali. Perempuan muda pengelola aplikasi e-tikbroh.yak ini merasa orang-orang yang masih membuang sampah sembarangan tidak memikirkan dampaknya. Sampah yang hilang dari pandangan mata bukan berarti tidak lagi berarti apa-apa.

“Mereka menganggap ya oke sampah itu nggak ada di tanganku, ya udah masalah selesai. Padahal masalah nggak (selesai) sampai di situ, ketika sampah udah dibuang sembarangan, itu akan bertumpuk. Kemudian muncul penyakit segala macam gitu yang berakibat pada pencemaran air gitu. Bahkan di selokan itu kan banyak kan penumpukan sehingga penyumbatan parit segala macam, Nah itu tidak dipikirkan sampai sejauh itu,” ungkap Marini, miris.

Karena itu bagi Manzil penting untuk mulai peduli dan mengambil tindakan. Langkah awal dapat dimulai dari diri sendiri.

“Bumi ini semakin tua, semakin panas. Kalau bukan kita yang peduli, siapa lagi? Terus juga orang kalau misalnya nggak ada perubahan, ya di mana-mana aja buang sampahnya, buang sampah ke laut. Dan kalau kita masih gak gerak, bakal gitu-gitu aja terus. Orang juga nggak peduli tentang buminya. Padahal kita yang tinggal di bumi,” pungkasnya.

Artikel ini merupakan bagian dari Fellowship bersama Konde.co didukung Earth Journalism Network (EJN).

Penulis adalah Masya Pratiwi, mahasiswi Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Syiah Kuala.

Editor: Fayza Ramulan