Beranda Cerpen The Cat

The Cat

BERBAGI
Ilustrasi cerpen The Cat. (Rossdita Amallya/DETaK)

Cerpen | DETaK

Dia di sana, lagi.

Meja itu terletak di depan pintu masuk cafe. Dia, kucing berbulu hitam legam itu selalu ada di sana. Dia selalu datang tepat setelah cafe dibuka, duduk di sana, selalu di sana. Tidak ada yang merasa terganggu dengan keberadaannya, malah, dia sudah seperti penyambut tamu. Setiap pelanggan yang masuk akan ia sambut dengan meongan kecil, membuat setiap orang yang melihatnya akan berhenti sejenak dan memberikan usapan halus di kepalanya. Jika beruntung, mereka akan meninggalkan cemilan kecil untuk kucing itu. Kucing itu akan pergi setelah cafe ditutup, pulang ke rumahnya yang entah di mana. Dari perawakannya, kucing itu terlihat seperti kucing rumahan yang terurus dengan baik. Kalung berwarna kuning terang yang melingkar di lehernya semakin mendukung spekulasi itu. Entah apa yang dilakukan oleh pemiliknya hingga membiarkannya  berkeluyuran seharian. Apakah mereka tidak khawatir?

Iklan Souvenir DETaK

Itulah yang dipikirkan oleh Sabrina selama sebulan ia bekerja di cafe ini. Ia tidak dapat memalingkan perhatiannya dari kucing itu. Sabrina suka kucing, ia sama sekali tidak keberatan dengan keberadaan kucing itu. Kucing itu seperti hiburan, Sabrina tidak bisa berhenti tersenyum saat melihat kucing itu berguling-guling di atas meja favoritnya. tapi, fakta bahwa kucing itu datang setiap hari dan berada di cafe seharian tanpa ada seorang pun yang mencarinya membuat Sabrina sedikit khawatir.

Apakah ia tidak diberi makan oleh pemiliknya? Itulah sebabnya ia selalu datang ke cafe karena ia bisa mendapat makanan di sini? Entahlah, Sabrina juga tidak tahu. Jikalau benar seperti itu, Sabrina dengan sukarela ingin membawa kucing itu pulang dan mengurusnya.

“Tidak boleh, Sabrina.”

Sabrina menghela napas pelan, lagi-lagi tidak boleh. Aya, pemilik cafe sekaligus teman dari Sabrina itu akhirnya memusatkan pandangannya pada Sabrina setelah selesai menuangkan kopi sisa yang ada di mesin kopi. Sekarang waktu istirahat, hanya ada Sabrina dan Aya di cafe itu. Oh! Jangan lupa dengan si kucing yang sedang terlelap di meja favoritnya. Aya membagi sisa kopi itu ke dua gelas, satu gelas untuknya dan satu lagi untuk Sabrina. Sabrina menerima gelas mungil itu, menghabiskan kopi di dalamnya sekali teguk. Berbeda dengan Aya yang meminumnya perlahan.

“Aku sudah bilang dia ada pemiliknya kan?” Akhirnya Aya membuka suara.

Sabrina mendengus. “Kalau memang dia punya pemilik, lantas, ke mana pemiliknya itu?” Sabrina menjeda sebentar, menoleh ke arah si kucing. “Dia selalu di sini seharian, tidak ada yang mencarinya. Kalau memang dia ada pemiliknya, seharusnya pemiliknya itu mencarinya. Aku mulai berpikir kalau dia tidak diurus oleh pemiliknya. Jadi, dia selalu ke sini karena di sini dia bisa mendapatkan makanan.”

Aya terdiam sejenak, dia meletakkan gelas bekas kopi yang telah kosong di tangannya ke atas meja kasir. “Bukan begitu, Sabrina,” jeda sebentar “Pemiliknya memang di sini.” Aya melanjutkan.

Alis Sabrina mengkerut, sebelum Sabrina menumpahkan sejuta pertanyaan, Aya Kembali berbicara. “Kamu tahu kan, cafe ini diberikan padaku? Itu artinya, cafe ini awalnya bukanlah milikku. Cafe ini milik Mrs. Evelyn, dia pemilik cafe sekaligus kucing itu, Toya.”

Sabrina memang tahu soal cafe ini awalnya bukanlah milik Aya, namun, ini pertama kalinya ia mendengar Aya menyebut nama pemilik cafe ini dan juga nama dari kucing itu. Toya, lucu sekali.

Aya Kembali melanjutkan kata-katanya. “Mrs. Evelyn, dia orang Kanada, datang ke Indonesia untuk ikut suaminya. Suaminya membangun cafe ini dan memberikannya kepada Mrs. Evelyn sebagai hadiah ulang tahun. Itulah sebabnya, nama cafe ini adalah Evelyn’s Cafe. Mereka tidak memiliki anak, jadi mereka mengadopsi Toya dan menganggapnya seperti anak sendiri. Ibuku adalah teman baik dari suami Mrs. Evelyn dan aku sudah sering kemari sejak dulu. Toya memang suka duduk di sana, dia biasanya duduk bersama Mrs. Evelyn.”

Sabrina menanggapi cerita Aya dengan anggukan singkat. Sabrina dapat melihat air muka Aya yang sedikit berubah, ia tampak sedih. Walau ragu, akhirnya Sabrina memberanikan diri untuk bertanya.  “Lalu, ke mana Mrs. Evelyn dan suaminya?”

“Mrs. Evelyn meninggal 3 tahun lalu karena sakit. Suaminya masih ada, ia sudah pensiun jadi dia menghabiskan waktu di rumah bersama kucing-kucing lainnya yang mereka adopsi selain Toya. Ia tidak sanggup menjaga cafe ini, itulah sebabnya ia memberikan cafe ini padaku,” jawab Aya, wajahnya terlihat semakin sedih.

“Sejak Mrs. Evelyn meninggal, Toya selalu datang ke cafe dan duduk di sana, di tempat di mana ia biasanya bersama Mrs. Evelyn. awalnya suami Mrs. Evelyn selalu menjemputnya, namun, dia selalu kembali. Sampai akhirnya ia dibiarkan berada di sini.”

Sabrina menarik tangan Aya, menggenggamnya kuat. Mata Aya tampak berkaca-kaca, ia menarik napas panjang berusaha untuk menahan tangisnya. “Itulah sebabnya aku tidak mengizinkanmu untuk membawanya pulang, Sabrina. Aku yakin, Toya pasti merasakan keberadaan Mrs. Evelyn di sini. Mungkin dia masih melihat Mrs. Evelyn di sini, siapa yang tahu kan? Kalau memang benar Mrs.evelyn ada di sini, Toya harus tetap ada di sini.”

Sabrina memeluk Aya, membiarkan temannya itu menyalurkan kesedihannya di pundaknya. Matanya tertuju pada Toya yang kini duduk tegap menghadap ke kursi yang berada di sisi kanan meja. Ekornya bergerak ke sana ke mari, matanya tampak berbinar. Ia mengangkat satu kaki pendeknya, seolah sedang menggapai sesuatu yang tak bisa dilihat. Saat itu Sabrina yakin, bahwa Mrs. Evelyn ada di sini.[]

Penulis bernama Rossdita Amallya, mahasiswi Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Syiah Kuala. Ia juga merupakan salah satu anggota di UKM Pers DETaK.

Editor: Indah Latifa