Beranda Cerpen Seulanga

Seulanga

BERBAGI
Ilustrasi. (Yaumil Farah Alyssa/DETaK)

Cerpen | DETaK

Namaku Syahira. Aku, seorang gadis yang tak pernah melihat wajah seorang ibu, dibesarkan oleh seorang ayah yang memiliki keterbatasan fisik.  Sejak aku kecil, ayah sudah kehilangan satu kaki dan aku tak pernah tahu penyebabnya, pun ketika aku mencoba untuk bertanya, kali kedua dan seterusnya mengurungkan niat. Aku tak mengeluh, hanya saja, aku merasa kasihan dengannya. Dengan sebelah kaki, ia tetap berjualan buah-buahan walaupun hanya dengan bantuan kursi yang selalu menunggu pembeli untuk membeli  buah-buahan itu.

Ayah selalu  pulang magrib dan membawa dua bungkus nasi. Terkadang, tidak sama sekali. Aku tak tahu di mana ibuku pun tak pernah bertanya. Bukan aku tak ingin tahu, hanya saja, tak ingin ia terbebani dengan pertanyaanku yang meminta ibu untuk kembali apabila aku bertanya. Kerinduan itu selalu hadir, ketika aku merenungkan tentang hangatnya pelukan seorang ibu. Ketika aku sedang di kamar, ayah langsung masuk ke rumah karena pintu tidak kukunci.

Iklan Souvenir DETaK

“Ira, makan dulu nak!’’ ucap Ayah.

Aku menghapuskan air mata, “Ayah sudah pulang? Kapan?”

“Dari tadi nak, pintu tak kamu kunci. Jadi Ayah langsung masuk.”

“Lupa Ira tutup, Yah,” ucapku.

“Ya sudah, makan dulu nih,” balas ayah.

Aku dan ayah pun makan malam ditemani semilir angin di dekat jendela. Sesekali, ayah memandang ke arahku. Aku pun melihat ayah.

“Ayah? Kenapa tersenyum? Ira kenapa Ayah?” tanyaku seketika berhenti makan.

“Ketika Ayah memandangmu, sesekali mirip seperti ibumu,” tutur ayah sambil melanjutkan makannya.

Hatiku tersentak menangis, namun aku mencoba untuk tidak menangis dan kuputar balikkan bola mataku agar air mata ini tak tumpah di hadapan orang yang aku cintai. Kulihat ia memandang ke atas sambil tersenyum. Entah apa yang ada di fikirannya. Aku ingin tahu, tapi kembali lagi dalam hatiku belum bisa menerima kehilangan.

“Nak, kamu mau tahu tentang ibumu?” tanya ayah sambil tersenyum.

Aku pun menghentikan makan malam saat itu juga. Dan menatap ayah sambil berbinar-binar untuk mendengar cerita ayah. Ayahku pun menceritakannya sambil tersenyum, entah senyuman untuk menutupi kesedihan atau benar-benar tersenyum.

***

Satu hari, aku  sedang menunggu bus, dan kulihat ada seorang gadis cantik jelita sedang duduk di tempat pemberhentian bus. Aku melihatnya terus menatap layar ponselnya.

Assalamu’alaikum, maaf, nunggu bus?” tanyaku pada gadis berkerudung hitam itu.

Wa’alaikumussalam, tidak, aku sedang menunggu ayah jemput,ucapnya sambil menatap layar ponsel.

“Kenapa tak naik bus saja? tanyaku lagi.

“Aku tak berani naik bus, juga belum terbiasa.”

“Naik saja bersama aku.”

“Bus?” tanyanya sambil menatapku.

“Ya, kenapa?

“Sudah aku katakan. Aku tak berani dan kamu adalah orang asing bagiku. Maaf, ayahku sudah datang,ujar gadis itu dengan tergesa-gesa.

Aku belum menemukan perempuan seperti dirinya. Karena, hanya dia yang tidak menatap aku ketika bicara. Aku salut padanya, dan merasakan hal kedamaian saat bersamanya. Hari terus berlalu, dan berjumpa kembali dengannya pada kali kedua dia sedang duduk di halte bus. Kali ini, ia memakai baju berwarna coklat dihiasi kerudung syar’inya. Aku kembali menyapanya. Tetapi, hanya diam dan aku senang. Karena, ia hanya diam.

***

“Ayah, lalu?” tanyaku yang terus tersenyum.

“Ah, kamu. Nanti saja, makan dulu!” ucap ayah sambil tersenyum.

“Ayah, selanjutnya bagaimana?” tanyaku dengan penuh penasaran.

“Hmm… Nanti saja! Makan dulu!” perintah ayah.

Aku sangat ingin berjumpa dan mengetahui tentang ibu. Ya, begitulah, kadang ayah sangat senang ketika aku menanyakan tentangnya. Tetapi, aku selalu sedih. Bahkan, aku sangat rindu hangatnya pelukan seorang ibu. Ah, aku tak ingin meratapi kesedihan ini. Aku perempuan hebat dan semuanya bisa aku lalui. Tangisan hanyalah sementara, menguatkan diri sendiri itu adalah kekuatanku.

Hari terus berlalu. Suatu hari, aku sedang mengaji dan terdengar  ketukan pintu.

Assalamu’alaikum.”

Wa’alaikumussalam. Sebentar!” Aku melihat ke arah luar.

Ketika aku melirik ke arah jendela, seorang perempuan berbaju hitam menghampiri rumahku. Dia mengetuk pintu rumahku. Mengira, bahwa ia adalah ibuku yang ayah ceritakan tentangnya padaku. Aku langsung membuka pintu dan memeluk dirinya sangat erat. Akan tetapi, eratan tanganku pada tubuhnya dilepaskan. Aku menangis melihat sikapnya kepadaku.

“Ibu, adalah ibuku, bukan?” ucapku sambil menangis.

“Ibu?” tanya Ibu.

“Ya. Kamu ibu kandungku, bukan?” tanyaku balik.

“Bentar! Kamu anak Pak Rosyidan?”

“Iya.”

“Nasibmu kasihan. Ibumu sudah lama meninggal dunia.”

Aku hancur mendengar perkataan ibu itu. Terdiam serasa tak ingin mendengar apapun lagi. Sakitnya, ketika aku mendengar tentang ibu meninggal dari mulut orang lain pun aku tak pernah ingin mencari tahu tentang ibu kandungku. Aku duduk terdiam. Ibu itu memelukku dan aku heran mengapa ibu itu tiba-tiba memelukku yang sedari awal menolak pelukanku. Aku menangis di pangkuannya. Dan ia mengelus jilbabku.

“Nak, kamu tahu? Aku ingin bercerita tentang ibumu,” kata ibu itu.

“Tidak! Aku ingin mengetahuinya dari ayahku. Terima kasih. Dan apa alasan ibu datang ke gubuk tua kami yang jelek ini? Anda orang kaya,” tanyaku yang sedang mencoba untuk tegar.

“Aku…”

“Bu, maaf, saya ingin sendirian saja,” putusku sambil menangis.

Aku langsung masuk ke dalam rumah. Dan langsung ke kamar. Aku sangat kecewa dan hatiku tertusuk berkali-kali. Dia yang kurindu dan kutunggu, ternyata telah tiada di dunia ini. Sudah tak ingin mendengar apapun. Aku menangis, hingga tertidur lelap. Tak lama kemudian, ayah pulang dan karena pintu pun tidak aku kunci, ia langsung masuk.

Assalamu’alaikum, Syahira. Hari ini Ayah pulang cepat. Ini, nasi bungkusnya!”

Wa’alaikumussalam, Ayah. Bolehkah aku bertanya?”

“Boleh, kenapa, Nak?”

“Ayah, ceritakan tentang ibu!”

“Makan dulu, Nak! Nanti baru Ayah cerita. Nih!” ucap ayah sambil memberikan sebungkus nasi.

Dia mengambil bungkusan nasi yang kuberikan. Entah dia makan atau tidak. Namun, aku heran kepadanya, mengapa ia menanyakan ibunya yang sedari awal tak pernah ia singgungkan. Aku sayang kepadanya dan tak ingin dia bersedih. Ia putriku yang sangat kusayang.

***

‘Mengapa ayah tidak memberitahuku sedari awal? Ataukah aku bukan anaknya? Tapi, ayahku tidak seperti itu. Aku tak boleh bicara kasar sama ayah. Aku yakin, ada sesuatu,’ ucapku dalam hati sambil menghapus air mata.

Aku berjalan dengan pelan dan menghampirinya.

“Ayah. Bolehkah aku mengetahui tentang alasan ibu?” tanyaku pada ayah.

“Kemarilah sayangku.” Ayah memintaku menghampirinya sambil menghapuskan air matanya.

“Ibu meninggal pada peristiwa menyelamatkanmu dari mobil di jalan raya. Waktu itu umurmu masih 4 tahun. Ayah pun menyelamatkan ibumu serta dirimu. Namun, Ayah tertabrak truk dan kaki Ayah hilang satu,’’ ucapnya sambil menangis.

“Ayah? Lalu aku?”

“Orang lain yang menyelamatkan kita, Nak. Tetapi ibu, tidak tertolong. Sejak itu Ayah kehilangan kaki dan sejak itu juga ibu tak di sampingmu lagi.”

“Ayah. Di mana ibu di makamkan?’’

“Kampung halamannya.”

Mendengar berita itu aku bersedih. Hatiku hancur, ini semua salahku. Tetapi ayah, tidak membenarkan itu. Aku rindu pelukan ibu.[]

Penulis adalah Ade Risna Andriani, mahasiswi Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Syiah Kuala.

Editor: Indah Latifa