Masih terbayang dalam ingatan, enam tahun yang lalu pada suatu pagi di hari Minggu, aku jatuh cinta untuk pertama kalinya. Namun, pada akhirnya aku harus menyesali perasaan tersebut. Cerita ini bermula saat aku duduk di bangku kelas VII MTsN. Berawal dari pertemuan yang entah disengaja atau tidak sampai pada memunculkan berbagai konflik batin dalam jiwa yang masih belia pada saat itu.
Awalnya, aku tidak mengerti betul arti dari cinta hingga aku dihampiri gadis bergaun oranye dengan kerudung kuning membalut rambutnya. Ia adalah gadis pertama dalam hidupku, cinta pertamaku. Perkenalan kami berawal dari suatu pertemuan singkat, saat sekolah kami mengadakan pameran buku. Ketika diriku sedang memperhatikan beragam jenis buku yang dipamerkan di pekarangan sekolah, seorang teman (Mak Unuh biasa aku memanggilnya) memperkenalkan gadis itu padaku. Dalam pertemuan itu, aku tidak terlalu menanggapinya. Namun, jujur diam-diam aku menyimpan rasa pada kerlingan pertama. Setelah pertemuan itu, semenjak hari minggu itu, sekuntum bunga cinta pertama tumbuh dan bersemi di dalam taman kalbuku.
Berhari-hari setelahnya, aku mulai semangat ke sekolah. Setiap hari-hariku di sekolah kuhabiskan untuk mencuri-curi pandang pada gadis yang pernah kujumpai tempo hari. Seperti perilaku menyimpang yang lazimnya dialami oleh semua anak manusia yang baru mengenal cinta, jari-jemariku mulai lihai menggores tulisan puisi kecil di atas lembaran buku catatan sekolah disetiap harinya. Aneh memang, aku hanya pernah bertatap muka langsung dengannya sekali, itu pun tidak lama. Namun rasa suka ini seolah-olah sudah bersemedi lama di dalam kepompong kerinduan pada palung hatiku, hanya perlu menunggunya menetas menjadi cinta. Tentu tidak lama, pikirku. Hanya perlu beberapa pertemuan lagi, lantas hati gadis bergaun kuning tempo hari pasti mampu kucuri.
Namun apa hendak dikata, mungkin karena kurang baiknya responku padanya tempo hari, setiap kali aku berpapasan dengannya di sekolah saat menuju kantin dia hanya menyapaku dengan diam, tanpa secercah senyuman seperti diawal pertemuan yang lalu. Bahkan, dia hampir tidak pernah melirikku. Respon dingin darinya itu memupus harapanku bahwa ia akan membalas perasaanku. Oleh karena itu, kuputuskan hanya memandanginya dari kejauhan. Diam-diam mencintainya.
***
Lamunanku tentang peristiwa enam tahun silam seketika dibuyarkan oleh goncangan keras labi-labi yang aku tumpangi. Dari arah depan terdengar sang sopir mengumpati gerombolan kambing yang entah dari mana datangnya tiba-tiba saja melintasi jalan sekena hati, membuat sopir nge-rem mendadak sampai-sampai labi-labi yang kuniaki sedikit terjungkal.
“Dasar kambing-kambing kurapan..!” terdengar umpat sopir dari balik jendela depan.
Riuh rendah pekik makwa-makwa yang kaget disertai gerutu para penumpang turut mengiringi alunan musik dangdut picisan yang diputar bertalu-talu di dalam labi-labi butut ini sedari tadi. Aku terkadang heran dengan selera rendahan penduduk negeri ini. Katanya “Bansa teuleubeh ban sighom donya” tapi selera masyarakatnya begitu aneh. Sesekali keluar lirik-lirik sampah berbahasa daerah yang di-remix bukan main dari pengeras suara cempreng yang sudah karatan itu. Ditambah lagi disandingkan pula dengan musik india jiplakan. Bukan main hancurnya, sudah tidak berbobot, erotis pula. Tapi malah musik ini yang banyak digandungi.
“Heh… hampir melayang 500 ribu Si Sopir…” komentar sinis seorang bapak paruh baya yang duduk di sampingku sambil melinting rukok oen. Aku paham bahwa maksudnya 500 ribu adalah patokan umum denda yang harus dikeluarkan oleh setiap pengendara yang menabrak kambing di daerah kami.
“Tapi kalau di Banda Pak Cek kan, bukan orang yang tabrak harus membayar kambing, tapi yang punya kambinglah harus membayar sama orang yang tabrak…” jawabku sedikit memberi penjelasan. Pak cek rukok oen yang sedang menikmati asap tembakaunya langsung tersedak, terbatuk-batuk mendengar sanggahanku.
“Ah.. itu di Banda hai yong.. Di kampung kita mana mempan aturan itu, satu kambing 500 ribu..!” Tukas Pak Cek rukok oen tuntas dengan sedikit penekanan pada gaya bicaranya. Aku jadi tidak enak hati untuk kembali menyanggah, sebab aku paham betul bahwa jawabannya tadi juga berarti; diam kau bocah..! Seorang ibu-ibu paruh baya yang ikut menumpang membawa pulang belanjaan dari Blangpidie tersenyum melihatku yang salah tingkah kena damprat. Mia–adik leting ketika MTsN–yang duduk berhadapan denganku juga melirikku sambil menyembunyikan tawa dibalik tas sekolah yang sedang dipangku.
“Eh.. Dek mie kok pulang dengan labi-labi, memangnya bus sekolah enggak ada..?“ tanyaku untuk mengalihkan pembicaraan dari cek rukok oen yang tidak bisa diajak tukar pikiran. Jika boleh jujur, sebetulnya aku juga tertarik dengan sosok Mia, gadis yang bisa menjaga diri dari arus pergaulan sekarang.
“Enggak Bang.., kata Bang Mus, bus sekolah mogok sepulang dari mengantar jamaah haji ke Banda kemarin,” jawabnya. “Oiya… Bang Au sekarang lagi libur..?”
“ Iya.. tadi abang jugak baru pulang dari MAN ngurus ijazah,” jawabku.
“Oooh.., Mia pikir Bang Au baru pulang ngurus denda tabrak kambing,” godanya dengan suara sedikit berbisik sambil mengerling ke arah cek rukok oen yang duduk di dekat pintu labi-labi. Aku hanya membalas sindiran Mia dengan senyum terpaksa, Mia semakin cekikikan melihat tingkahku.
Pembicaraan di dalam labi-labi terus berlanjut, dari kambing-kambing tadi yang hampir khatam hingga ke topik harga beras. Silang pendapat juga terjadi, ibu paruh baya, kakek penadah derma yang biasa mangkal SPBU, anggota WH, pasutri petani renta dan tak terkecuali pakcek rukok oen. Semuanya saling sahut-menyahut bagai peserta cerdas cermat. Labi-labipunreot terus melaju mengaspal di atas debu, menayangkan ribuan cerita tentang wajah lelah petani-petani tua di sepanjang jalan persawahan yang kami lewati. Apalagi saat ini daerah kami sedang melangsungkan panen raya.
Pembicaraan sempat terpotong ketika mobil labi-labi yang kami tumpangi menepi di sebuah simpang, sepasang muda mudi yang masih berseragam SMA naik sambil bergandengan tangan, tanpa sedikitpun rasa malu. Atmosfer percakapan mulai berubah kini semua mata tertuju pada ‘pasangan muda’ bau kencur tadi. Tanpa menghiraukan pandangan sinis penumpang lain mereka sibuk mengumbar senda mesra diselingi cekikikan tawa sambil saling cubit-cubitan pipi.
“Eheem..!” mungkin karena tak tahan dengan maksiat yang kelewat di sampingnya, Cek rukok oen akhirnya mendehem keras. Entah karena tidak paham, atau memang sengaja tak mengindahkan mereka lanjut bercengkrama ria. Mereka semakin menjadi-jadi, akhinya Cek rukok oen melempar umpat sambil mematap tajam ke arah muda mudi yang sedang dimabuk cinta kebablasan.
“Hai.. Pek, jeut keu inong bek meugeulatik that… dicukeh-cukeh dek agam pih ka galak, diagam budok nyoe pih galak that pilet-pilet aneuk inong gop.” Sejenak pasangan muda tadi mematung, namun tak lama mereka kembali bersenda ria. “Alaaahai..!. aneuk miet barosa hana akai, sang kalagee lako binoe..” umpat cek rukok oen lagi. Karena jengkel kemesaannya diganggu, si pemuda lantas mengetuk atap labi-labi pertanda menyuruh sopirberhenti. Dengan raut wajah gusar mereka turun. Sebelum labi-labiberanjak jauh meninggalkan mereka, siswa laki-laki tadi meneiaki cek rukok oen. Sambil mengacungkan jari tengahnya.
“Bek lale peutimang aneuk gop… uruh aneuk droe,” sontak saja seisi labi-labikaget. Bahkan cek rukok oen tersentak dan tak henti-hentinya beristigfar. Dari kejauhan kuperhatikan pasangan bau kencur tadi kembali jalan bergandengan ke arah jalan setapak, kemudian hilang di antara rimbunan semak. Entah apa yang akan mereka perbuat.
“Sungguh tidak ada lagi adab anak-anak sekarang, dulu kita hanya mendapati muda-mudi bermesraan seperti itu di Banda, tapi sekarang di kampung terpelosok sudah banyak bertebaran,” ujar seorang ibu-ibu. Mataku melirik Mia, gadis itu menunduk prihatin.
***
Ngomong-ngomong tentang Banda, akhir-akhir ini santer terdengar ada sejenis penyakit sosial yang menjangkiti muda-mudi peralihan yang berasal dari kampung kemudian hijrah ke Banda untuk kuliah, Angen Banda nama penyakitnya. Wen Man PM TOH–pengunjung setia warung kopi Bang Hendri yang kalau gaya bicaranya seolah orang sedang berpantun, sebab itu pada namanya diimbuhi embel-embel PM TOH–yang memberi tahuku. Entah apa istilah kedokterannya aku pun tidak tahu jelas. Tragisnya, penyakit jiwa akut itu malah lebih mudah menjangkiti para mahasiswa yang di kampung dulunya kuper.
“Jadi.., jika sekali waktu kalian pergi ke Banda dan bertemu salah seorang kenalan atau malah saudara, kalian lihat dia itu berpakaian rapi ala anak kota, keluyuran malam sampai jam dua, padahal di kampung tak pulang jam sembilan sudah dicari emaknya, yakinlah dia itu sudah kena Angen Banda,” Wasiat Wen Man PM TOH dulu sebelum aku kuliah, wasiat itu kembali terngiang jelas di telingaku.
Awalnya, aku tidak terlalu percaya dengan asumsi konyol Wen Man PM TOH, sampai suatu hari ketika itu aku sedang membuat tugas di Pustaka Unsyiah, tiba-tiba saja dari belakang datang seorang gadis cantik yang langsung menyalamiku. Terperanjat aku dibuatnya, bukan karena aku tidak kenal dengan gadis itu malah aku kenal baik dengannya. Gadis itu namanya Ayu kakak letingku dulu di MAN. Kami berdua terus ngobrol ngalar-ngidul dan sesekali bercanda. Dalam hati aku sedikit senang melihat gaya bicaranya yang lebih pede, sungguh berbanding 180 derajat dibanding dulu. Padahal dulu–semasa sekolah– jangankan berbicara langsung, untuk menjumpainya ketika ada perlu aku harus kucing-kucingan dengannya yang sering bersembunyi di balik rak-rak buku pustaka sekolah. Kata keponakanku yang satu kelas dengannya, kak Ayu menyukaiku makanya dia menghindar saat aku ingin menjumpainya, malu katanya. Namun sekarang malah dia yang menyalamiku.
***
Labi-labi kini berhenti tepat di perempatan menuju arah rumahku dan Mia, bisa dibilang rumah kami agak berdekatan. Di sepanjang jalan kami tidak terlalu banyak mengobrol, sesekali hanya ada tanya jawab dari Mia untukku tentang cara memilih jurusan perkuliahan yang tepat. Akupun menjawab alakadanya, maklum jurusan yang kudalami sekarang jauh dari rencana.
Di tengah perjalanan perhatianku tertuju pada Nyak Poe yang sedang sibuk melempari kambing-kambing yang mencoba memakan bunganya.
“Huss… habis semua bungaku dirusak kambing si Saleh..!” teriak Nyak Poe menghalau kambing-kambing yang tak dikawal empunya. Sejenak kambing-kambing itu lari menghindari lemparan. Namun, tidak lama berselang melihat Nyak Poe sudah masuk ke dalam mereka kembali datang mengganggu bunga. Mendengar suara ribut di halamannya, Nyak Poe kembali keluar dan melempari kambing-kambing tadi dengan tumpukan batu yang sudah disiapkan Nyak Poe untuk situasi seperti ini. Kambing-kambing berlarian sambil mengunyah bunga-bunga Nyak Poe dengan bangga.
“Seharusnya Wen Saleh menambat kambing-kambingnya kan bang,” ujar Mia.
“Sudahlah, salah Nyak Poe sendiri siapa suruh taman bunga tak dipagari,” Seperti bunga-bunga desa akhir-akhir ini yang banyak disantap kambing-kambing liar tak bertanggung jawab, jika saja bunganya dijaga dengan baik pasti tidak akan diganggu.
Bunga-bunga itu kembali mengingatkanku tentang peristiwa enam tahun yang lalu di taman MTsN kami. Bunga Nyak Poe yang barusan di makan kmbing itu persis sama dengan bunga yang sering kupetik ketika hatiku baru-baru saja merasakan cinta monyet. Dulunya, aku sering menghayal ingin memberi bunga itu lalu kuselipkan puisi untuk diberikan pada Lia–gadis yang menghampiriku di taman MTsN ketika bazar buku dulu. Namun, sampai detik ini aku tidak pernah melakukannya. Beriringan dengan larinya kambing-kambing yang dilempar Nyak Poe lewat Rinal yang sedang membonceng Lia. Dengar-dengar dari berita yang beredar mereka sudah dinikahkan oleh pemuda kampung setelah Rinal dan Lia tertangkap sedang bersenggama di sebuah rumah kosong di salah satu sudut malam kota Banda.
Penulis bernama T. A. Rahman, anak seorang petani dan juga merupakan salah satu mahasiswa di Unsyiah. Beberapa karyanya pernah dimuat dalam surat kabar Serambi Indonesia, Majalah Warta Unsyiah, dan portal daring DETaK Unsyiah.
Editor: Nurul Hasanah