Beranda Cerpen Sekotak Donat Kenangan

Sekotak Donat Kenangan

BERBAGI
Ilustrasi (Fitrah Aulia Riski/DETaK)

Cerpen | DETaK

15 menit lagi.

Aku mengayuh sepeda dengan semangat karena waktu magrib hampir tiba. Jalanan kian lama kian padat, semua berlomba-lomba ingin cepat sampai ke rumah. Aku berhati-hati, tak ingin kejadian 3 tahun lalu terjadi. Memikirkannya, membuat dadaku sesak. Tidak! Aku tidak boleh menangis di sini. Aku sudah bertekad untuk mengikhlaskannya. Walaupun sulit untuk aku lakukan karena nyatanya aku masih sering melamun memikirkan kejadian itu. Seperti sekarang. Suara decitan ban mobil di samping membuatku tersadar bahwa aku masih di jalan raya.

Aku membelokkan sepedaku ke sebuah kompleks perumahan. Rumahku sudah terlihat di ujung lorong sana. Aku menyapa tetangga yang hendak masuk ke rumahnya. Meskipun hanya dengan senyuman tapi mereka tetap membalasnya. Komplek perumahan yang aku jadikan tempat tinggal ini memang sangat strategis, selain lokasinya yang dekat dengan musala dan tempat penting lainnya, penghuni kompleks ini luar biasa ramahnya. Tidak hanya orang tua bahkan anak kecil saja sungguh baik akhlaknya. Betapa tidak! Kadang tanpa aku minta mereka langsung membantuku mengangkat barang belanjaan ketika aku pulang bekerja. Sesekali mereka membuka gerbang rumahku ketika melihat aku kesusahan memasukkan motor. Sungguh banyak hal baik yang mereka lakukan dan aku terharu melihat itu.

Gema azan terdengar di musala depan rumah. Bapak-bapak dan anak lelakinya berduyun-duyun ke masjid. Sungguh nikmat yang begitu indah karena melihat pemandangan seperti ini. Biasanya orang kota akan acuh dengan hal seperti ini. Tapi tidak dengan kota yang aku jadikan tempat tinggal ini. Aku memasukkan sepeda ke garasi. Kulihat motor dan mobil terparkir indah di sana. Sejak tiga tahun lalu tak ada yang mengeluarkannya selain aku sendiri. Oleh karena itu, aku gantian menggunakan mereka satu persatu. Hari ini aku memilih sepeda untuk menemaniku. Untuk besok aku akan memikirkannya lagi.

Hari yang begitu melelahkan. Aku membuka pintu dan masuk secepatnya ke dalam kamar. Azan sudah selesai dikumandangkan dan aku harus buru-buru ke musala. Tidak sempat mandi lagi, hanya ganti baju dan mengambil air wudhu. Aku melihat shaf depan sudah penuh. Tak apa, shaf kedua masih bisa. Salat sudah selesai dan aku menyempatkan diri sebentar untuk bertukar pikiran dengan bapak-bapak kompleks. Sambil menunggu salat isya jadi kami menghabiskan waktu di teras musala.

“Anakku dari tadi merengek-rengek lho, Pak, pulang sekolah langsung menyerbu ibunya. Minta dibelikan donat di tempat yang baru grand opening tadi siang,” seru Pak Marwan, salah satu tetangga kompleks membuka cerita.

“Kata Umi, donat di sana enak, Pak, banyak pengunjungnya,” sambung Ali yang aku ketahui rumahnya berada di dekat rumah Pak Marwan.

Kenapa harus membahas donat? Aku tidak suka mendengar pembicaraan tentang donat karena sangat sensitif bagiku. Azan isya berkumandang, aku tidak perlu kesusahan memikirkan bagaimana caranya mengganti topik pembicaraan. Kami bergegas untuk berwudhu. Salat sudah selesai dan aku berpamitan pulang ke rumah. Tugas masih banyak yang belum aku kerjakan dan juga badanku sangatlah lelah. Sungguh tidak tepat jika aku berleha-leha sementara tanggung jawab belum aku selesaikan semua.

Hufffttttt

Aku menarik nafas panjang setelah merebahkan diri di atas kasur. Tiba-tiba saja aku tidak mood untuk membuka laptop. Entah karena kelelahan, entah karena pembicaraan donat tadi. Tiga tahun berlalu tapi kejadian itu masih membekas di pikiranku. Kehilangan. Aku berusaha mengikhlaskan tapi tetap saja aku sesekali mengingatnya. Dan tanpa aku sadari, air mata mengalir begitu saja. Aku lelaki, tapi bukan berarti aku tidak bisa menangis. Teringat sebuah buku yang sudah aku tamatkan. Judulnya ”Laki-Laki Memang Tidak Menangis, Tapi Hatinya Berdarah, Dik”. Yaa, kami lelaki memang jarang menangis tapi bukan berarti kami tidak pernah sedih.

Aku mengulang memori yang sangat jelas terekam di benakku, semua memori tentang ‘dia’. Lagi-lagi air mata keluar begitu saja. Aku selalu merasa bersalah kala mengingatnya. Andaikan saja begini, andaikan saja begitu, tapi semua itu tidak bisa aku ulangi. Semua orang mengatakan kalau aku tidak bersalah, ini semua takdir. Allah lebih sayang ‘dia’ oleh karena itu Allah duluan memanggilnya. Yaa aku percaya itu, tapi aku selalu merasa bersalah. Aku merasa menjadi orang yang gagal. Kala itu…

Suara motor terdengar jelas di pendengaranku. Sepertinya ‘dia’ sudah pulang. Terdengar suara merdunya memanggil namaku. Aku bergegas keluar kamar. Dia menyalamiku dan langsung merebahkan dirinya di atas sofa ruang tamu.

“Abang, adek dengar ada
resort yang baru buka. Namanya ‘Mamah Momong Resort’, ke sana yuk minggu ni,” rayunya seperti biasa dengan puppy eyes-nya.

Dia adalah adikku satu-satunya. Kami terpaut usia tujuh tahun, dia baru masuk kuliah dan hanya dia yang aku punya sekarang. Orang tua kami sudah tiada sejak tsunami melanda. Oleh karena itu, aku sangat menyayanginya dan sebisa mungkin selalu menemani dia ke manapun agar dia tidak merasa kesepian. Meskipun aku memanjakannya dia tidak menjadi orang yang malas bahkan dia sangat mandiri. Semua bisa dilakukannya tanpa bantuanku tapi tetap saja aku selalu membantunya. ‘Anak gadis tidak boleh membantah.’ Kata-kata itu yang selalu kuucapkan kalau dia menolak ketika aku membantunya. Bagaimana aku tidak menyanyanginya? Sikap dan perilakunya saja tidak pernah membuatku kecewa.

“Minggu, ya? Sepertinya tidak bisa, abang ada janji main futsal sama kawan.” Aku ingat kalau minggu ini kawanku yang bernama Andi mengajakku ke lapangan futsal.

Oke deh, tidak masalah. Aeera pergi sama kawan aja, yaa. Abang kasih izin kan?” Lihatlah. Dia tidak pernah memaksa agar aku harus menemaninya. Dia bukanlah seorang adik yang egois.

“Boleh juga, nanti kalau Abang ada waktu senggang, kita pergi berdua, ya.” Aku menawarkan diri karena merasa tidak enak sudah menolak ajakannya.

“Iyaaa, Abang. Aeera masuk kamar dulu, ya”. Aku mengangguk lalu melihat dia berjalan menuju kamarnya di lantai atas. Rumah ini memang luas tapi penghuninya hanya dua orang saja. Tapi sesekali keluarga dari pihak ayah dan ibu datang berkunjung.

Minggu pagi membuatku bermalas-malasan di atas kasur. Tapi tidak dengan Aeera, aku melihat dia sibuk di dapur membuat olahan makanan untuk dibawa ke
resort. Katanya dia akan pergi bersama lima orang kawannya dan sebentar lagi kawannya akan datang menjemput.

“Abang. Abang Arshaaaa. Aeera mau berangkat, Bang. Kawan Aeera mau jemput nih.” Aku bergegas keluar kamar dan langsung mengantarkan dia ke depan pintu. Setelah memastikan dia dijemput oleh kawannya aku kembali masuk ke dalam rumah. Jangan pikir aku diam saja ketika membebaskan Aeera keluar dengan kawannya, tentu saja ceramah singkat tetap ada. Bahkan, kawan Aeera sudah paham apa saja yang akan aku ingatkan ketika mereka menghabiskan waktu bersama.

Iklan Souvenir DETaK

Aku harus bersiap-siap untuk ke lapangan futsal. Setidaknya kalau Andi telat datang, aku akan jogging sebentar. Sebelumnya, aku menyempatkan dhuha sebentar. Entah kenapa, sejak subuh tadi perasaanku tidak begitu nyaman. Aku hanya bisa berdoa agar semua baik-baik saja.

“Heyy, Bro! Apa kabar?? Sudah lama tidak bersua.” Andi datang dengan gaya andalannya.
Aku melihat dibelakang Andi ada beberapa kawan yang lainnya.

“Aeera mana, Ar?” tanya Azka celingukan mencari keberadaan Aeera. Biasanya, aku membawa Aeera kalau mau main futsal jadi tidak heran lagi jika kawanku mengenal Aeera dengan baik.

“Lagi jalan sama kawannya. Liburan ke
resort yang baru dibuka,” jelasku kepada mereka sambil memakai sepatu futsal.

Kami pun bergegas menuju lapangan. Tak ada lagi pembicaraan hanya terdengar suara orang yang bermain futsal. Dua jam sudah berlalu. Kami pun memutuskan untuk pulang. Sudah aku katakan bukan, perasaanku sedang tidak baik-baik saja. Sesampainya di rumah aku bergegas masuk ke kamar. Aku merebahkan tubuhku dengan perlahan. Aku menghela nafas panjang. Ada apa dengan diriku pada hari ini? Rasanya seperti ada sesuatu yang akan terjadi. Tapi apa itu??


Aku memutuskan berwudhu ketika mendengar suara azan zuhur. Selesai salat aku bergegas ke dapur untuk membuat makanan, tetapi aku melihat Aeera sudah menyiapkan semuanya. Bahkan, aku mendapat sekotak donat tertata rapi di bawah tudung saji. Sepertinya aku tidak makan nasi, aku akan menghabiskan donat buatan Aeera dikarenakan tadi pagi aku sempat sarapan. Aku menarik kotak donat tersebut tapi ada sesuatu yang jatuh. Sebuah surat. Dering handphone membuat aku tersadar, surat tersebut aku masukkan ke dalam saku celana. Aku berniat mengeceknya nanti. Mungkin surat Aeera. Tapi surat apa?

Assalamualaikum, Abang. Aeera sudah di depan masjid Jamik. Abang bisa jemput Aeera di sini? Kawan Aeera harus segera pulang karena ibunya mau balik ke kampung.” Terdengar suara lembut Aeera di ujung telpon sana.

“Iya, Dek. Abang ke sana sekarang, ya. Kamu tunggu di situ, jangan ke mana-mana,” jawabku sebelum berpamitan lewat telepon genggam.

Aku memakan donat yang sudah aku buka tadi untuk mengisi perutku di siang hari ini. Dengan segera aku mengendarai sepeda motor membelah jalan raya untuk menjemput Aeera. Masjid Jamik sudah terlihat di depan mata, aku mencari keberadaan Aeera. Tapi tidak ada. Aku melihat ada sekumpulan orang yang mengerumuni sesuatu. Tiba-tiba perasaanku tidak tenang. Aku bergegas turun dari motor dan menuju ke sana.

“Pak, apa yang terjadi, Pak?” tanyaku kepada salah satu bapak yang ada di situ. Jantungku berdetak kian cepat.

“Ada gadis yang kecelakaan, Nak, parah. Kami sudah menelepon
ambulance. Hampir sampai katanya,” jelas bapak tersebut kepadaku.

Deg.
Ya Allah.
Aeera.

Aku membelah kerumunan tersebut. Aku melihat gadis tersebut sedang dipangku oleh seorang ibu berbaju dinas perawat. Gadis itu memakai baju yang Aeera pakai tadi pagi. Tidak mungkin.

Aku mendudukkan diriku di samping ibu tersebut. Astaghfirullah Aeera, wajah pucatnya, ya Allah. Aku mendekati tubuh rapuh Aeera.

“Buk, di-a a-a-dik saya..,” ucapku terbata-bata.

Ibu itu melihat ke arahku dengan matanya yang mengeluarkan air mata. Orang di sekelilingku menatap terharu tapi aku tidak mempedulikannya lagi. Fokusku hanya pada Aeera.

“Nak, adek ini dari tadi memanggil A-abang. Dia berulang kali minta maaf sebelum dia pingsan. Itu
ambulance, cepat angkat diaaaaa!” Ibu itu belum menyelesaikan ucapannya karena ambulance sudah datang. Aku bergegas mengangkat tubuh rapuh Aeera. Aku melihat ibu itu juga turut naik ke ambulance. Aku menggenggam jari mungil Aeera. Dingin.

“A-a-a-bang…” Aku mendengar lirihan Aeera.

“Jangan bicara apa-apa.”

” Aee-ra min-ta ma-af, A-bang. Tun-tun Aee-ra, A-bang. Aee-ra melihat A-yah Bun-da da-tang..”. Suara Aeera terdengar lirih. Aku sudah menangis dari tadi. Begitu juga dengan ibu di sampingku.


Aeera meminta dituntun. Aku mendengar lirihan dia. Dia mengucap syahadat. Adikku. Permataku. Aku nampak bodoh di depan dia. Dia kesakitan. Tidak pernah aku melihat Aeera sesakit itu. Aku menuntunnya. Ternyata ini yang membuat perasaanku tidak stabil dari tadi.
Kami sudah sampai di rumah sakit. Ibu itu yang merupakan seorang perawat bergerak dengan cepat. Aku harus berterima kasih kepada beliau. Lihatlah, bahkan aku tidak bisa apa-apa dari tadi.

“Nak, sabarkanlah dirimu, ya. Gadis manis sudah meninggal, Nak. Insyaallah husnul khotimah. Dia tersenyum dengan sangat indah. Tanpa beban. Ini sudah menjadi jalan takdirnya, Nak.” Ibu perawat tadi keluar dari ICU dan menjelaskan semuanya. Aku menangis dalam diam. Aeera adalah salah satu orang yang paling berharga di hidupku.

Aku mengambil
handphone di saku celana yang aku pakai. Surat itu kembali jatuh, aku menggenggam dengan erat, tak ingin dilepas. Seakan-akan ini adalah benda paling berharga. Aku menelepon sepupu dan kawanku. Aku tidak sanggup sendiri. Aku lemah. Ibu perawat masih duduk di sampingku. Dia mulai menjelaskan kronologi terjadinya kecelakaan Aeera. Hanya karena dia ingin menyelamatkan seekor kucing. Sungguh mulia adikku, ya Allah. Aku memang belum mengenal ibu tadi tapi aku berterimakasih karena dia sudah mau membantu Aeera. Dia bilang aku tidak usah khawatir, untuk kejadian di lokasi akan segera diurus oleh pihak yang berwenang. Aku juga mendengar bahwa yang menabrak Aeera adalah orang yang tidak waras. Dia membawa mobil ugal-ugalan. Adikku. Inilah takdirmu, dik. Ibu perawat pamit kepadaku untuk melihat jenazah Aeera. Aku belum beranjak karena otot kakiku seketika menjadi jelly. Tidak bisa aku gerakkan karena lemah seketika.

Surat itu.
Aku membukanya.
Tulisan Aeera sangat rapi di sana.
Hanya tercoret beberapa kalimat indah di sana.


To : Abang Aeera Tersayang, Arshaka Virendra Riedhansyah

“Ini Aeera namakan donat kenangan. Entah kenapa perasaan Aeera kurang nyaman tadi pagi. Beberapa hari ini Aeera juga sering mimpiin Ayah dan Bunda. Abang, Aeera gak tau apakah ini donat terakhir atau bukan. Aeera harap Abang ikhlas jika duluan waktunya Aeera daripada Abang. Aeera sayang Abang Arsha karena Allah.”

Ttd :
Adik Abang Arsha yang paling manis
Aeera Shareen Riedhansyah


Pemakaman Aeera sudah selesai. Semua keluarga ayah dan bunda sudah berkumpul di rumah ini. Mereka semua menghiburku tapi aku masih diam dan tidak bersuara. Aku seperti orang bodoh. Kawan-kawanku menangis melihat keadaanku. Mereka juga merasa kehilangan karena Aeera sangat akrab dengan mereka. Tadi aku mendengar dari tante kalau keluarga dari orang yang menabrak Aeera sempat datang ke rumah. Untuk kasus mereka sudah diurus oleh bapak-bapak di sana. Aku tidak menyangka mereka seperhatian ini terhadap keluargaku. Aku sadar, Aeera tidak akan suka jika aku sedih seperti ini. Aku boleh berduka tapi bukankah aku harus bangkit?



Jam dinding di kamar menunjukkan pukul 22:00 WIB. Sudah dua jam aku termenung mengingat adikku. Sepertinya aku harus menerima agar aku bisa mengikhlaskan Aeera tanpa bayang-bayang rasa bersalah. Selama ini aku sadar, aku belum sepenuhnya menerima. Semenjak Aeera meninggal, aku memutuskan untuk tidak pernah menyentuh yang namanya donat. Kalau lihat donat, aku langsung kepikiran Aeera. Bahkan, pernah seminggu setelah pemakaman Aeera aku trauma terhadap jalan raya. Hingga akhirnya aku harus konsultasi ke psikiater.

Malam ini dan detik ini aku bertekad sepenuhnya untuk mengikhlaskan Aeera. Dimulai dari menerima semua hal yang berkaitan dengan Aeera. Sepertinya tidak ada salahnya besok aku mencoba ke toko donat yang baru grand opening tadi pagi. Karena aku paham, donat adalah salah satu penyebab aku selalu menyalahkan diriku jika kepikiran Aeera. Aku bertekad untuk menerima semua ini. Aku rasa 3 tahun sudah cukup untuk terbenam dalam rasa bersalah ini. Bukankah dengan menerima semuanya akan menjadi mudah?[]

Penulis adalah Nadiatun Mutmainah, ia merupakan anggota aktif di UKM Pers DETaK USK.

Editor: Indah Latifa