Beranda Cerbung Heaven Kingdom dan Realita Kehidupan-Episode 16: Ketangguhan

Heaven Kingdom dan Realita Kehidupan-Episode 16: Ketangguhan

BERBAGI
Heaven Kingdom dan Realita Kehidupan. (Wendi Amiria/DETaK)

Cerbung | DETaK

Waktu terus berputar, akhirnya Luna mampu membaca dengan lancar. Kelancaran itu berbanding lurus dengan rasa cinta terhadap buku. Luna menjadi pecandu sastra, membaca banyak buku cerita yang dipinjamkan Sarah. Bahkan Sarah sampai kewalahan untuk mencari stok buku tersisa. Menurut Sarah, Luna itu melihat buku baru seperti anak lapar yang sedang melihat makanan lezat.

Sarah bahkan sampai bertanya, “Kenapa kamu sangat-sangat suka membaca?”

Iklan Souvenir DETaK

Dan inilah jawaban Luna, “Cerita bukanlah sekedar rangkaian imajinasi orang lain yang hanya berfungsi untuk dinikmati. Tetapi dia bisa menjadi teman yang selalu ada menemaniku ketika sendirian. Dia adalah sebuah tangan yang mengelus dadaku ketika sedang gelisah. Dia membagi harapan di saat aku hampir putus asa. Tokoh di dalamnya menjelaskan arti kesungguhan yang membuatku berani mengambil tantangan di depan.”

“Bagaimana mungkin saya bisa menjadi semakin bijak jika hanya belajar dari hal-hal yang sudah saya tahu saja. Hal-hal baru akan membuat saya bertambah arif, dan itu bisa saya dapatkan dari buku cerita.”

“Nona Sarah, tahukah Anda, membaca cerita membantu saya menjadi lebih empati terhadap orang yang  tidak pernah saya temui dan merasakan pengalaman yang belum pernah saya alami. Cerita dalam buku bukanlah tentang karakter yang cantik atau tampan, tapi tentang sesuatu di balik bungkusan itu.”

Namun seperti halnya pernikahan, awalnya dilanda rasa cinta ketika bulan madu, kemudian badai membuat pasangan itu mulai beradu, lalu rasa bosan menghilangkan rindu. Rasa bosan mulai tumbuh pada diri Luna karena sudah menghabiskan seluruh stok buku di rak Sarah. Dia mulai jenuh untuk membaca kisah yang sama berulang-ulang.

“Nona,” sapa Luna. “Bolehkan saya mendapatkan buku-buku lain selain cerita. Buku mengenai sejarah kota Gazastan, misalkan.”

“Bukankah kamu sudah mempelajarinya di kuil?”

“Iya, namun saya rasa dari buku akan jauh lebih menarik dan lebih lengkap.”

“Tidak!” Sarah langsung memotong perkataan Luna. “Tidak ada buku yang seperti itu di kastil.” Sarah berbohong. Sebenarnya buku seperti itu tersimpan di ruang kerja adipati, tapi Sarah sendiri tak diizinkan masuk ke dalam.

“Mungkin kamu sedang jenuh.” Sarah mencoba mengalihkan pembicaraan, “Yuk kita pergi ke alun-alun, siapa tau ada prajurit yang menarik.”

Di alun-alun kastil, para prajurit mengenakan pakaian kulit, sedang berduel dengan pedang kayu. Para pelayan yang berada di pinggir alun-alun menonton mereka, termasuk Sarah dan Luna di antaranya.

Ada salah satu prajurit muda yang baru saja dikirim dari sebuah desa, wajahnya oriental dan tubuhnya atletis, mengayunkan pedang dengan elegan sambil merasakan angin di sekitarnya. Namanya Jun Quon, dia benar-benar menikmati diri setelah menekan lawan duelnya.

Si penantang menyerang, Jun menghindar. Jun diserang lagi, menghindar lagi. Lawannya hendak memukulnya, Jun menunduk seperti menari. Lalu dia mengayunkan pedang membuat lawan terjatuh. Semua tangan bertepuk untuknya, kemudian lawan baru masuk kembali untuk menantangnya, Jun Quon kembali menari.

“Laki-laki sipit itu menarik,” tunjuk Sarah pada Jun Quon. “Dia cukup lihai, wajahnya juga manis.”

“Anda menyukainya, Nona?” tanya Luna.

“Bisa jadi, Bagaimana denganmu?”

Hmm.. Luna bingung, belum pernah dia ditanyai persoalan laki-laki. “Tidak tahu.”

Jun Quon tak sengaja menyadari bahwa mata seorang putri bangsawan, Sarah Alaska, sedang memandangnya. Itu membuatnya grogi. Akibatnya dia lengah. Langkahnya mendarat pada tanah berlumpur yang membuatnya tergelincir, lalu harus menerima pukulan dari sang lawan.

“Hahaha!” Sarah dan Luna tertawa melihat tingkah konyol Jun.

Dua gadis ini sangat menikmati waktu mereka hingga tak sadar bahwa nyonya Sophie yang berdiri di koridor bangunan utama telah memperhatikan mereka sejak tadi.

“Sarah!” panggil nyonya Sophie sambil melambaikan tangan.

“Ibu?” Sarah lalu berjalan ke serambi bangunan utama bersama Luna.

“Kamu mendapatkan hadiah kiriman kakekmu dari kota Sisila. Tormund dan Harmond sedang melihatnya di Solar (ruang keluarga para bangsawan),” ucap nyonya Sophie. Lalu dia membuat gerakan berbisik, “Ibu mengintip, itu hadiah yang kamu minta.”

“Benarkah?” Sarah langsung hendak meluncur, namun sebelum melangkah, dia berpaling pada Luna dan memegang tangannya, “Bu, bolehkah Luna juga ikutan ke Solar?”

“Tidak, nak. Solar hanya dikhususkan kepada keluarga Alaska. Lagi pula, Ibu ingin berbicara beberapa hal dengan dia di sini.”

Luna memandang Sarah sambil memasang sebuah senyuman. “Saya tidak apa-apa, Nona.”

Akhirnya Sarah pergi. Tinggal nyonya Sophie yang sedang mengamati tubuh Luna dari ujung rambut hingga ujung kaki. Wajah perempuan ini kusam dan mengenakan sandal bekas yang sangat terlihat cocok sekali bagi seorang Lafitter sepertinya.

“Sudah berapa lama kamu tinggal di sini?” tanya nyonya Sophie.

“Satu tahun, Nyonya.”

Nyonya Sophie menggerakkan kakinya beberapa langkah lebih dekat, ujung telunjuk kirinya mengangkat dagu Luna, tatapan mereka bertemu. 

“Sejak Sarah dilahirkan di kastil ini, Ayahnya sudah tidak menyukainya. Sedler menginginkan anak pertamanya laki-laki. Ditambah saat dia mulai tumbuh, Sarah mulai berbicara tentang gagasan kesetaraan Lafitters, itu membuat keluarga Alaska lain juga tak menyukainya. Hanya aku satu-satunya yang benar-benar mendengarkan dia. Aku bukan berasal dari kota ini, aku tidak terlalu memahami seberapa fatal pemikiran Sarah. Tapi aku ibunya, dan seorang ibu akan selalu mendukung anaknya.”

Nyonya Sophie melepaskan jari dari dagu Luna, mundur beberapa langkah, mengambil sapu tangan dan membersihkan telunjuk bekas sentuhan tadi. “Sudah satu tahun ini, setiap pagi dan sore, aku melihatnya berlari sambil membawa sebuah buku keluar dari Solar. Aku tahu apa yang kalian lakukan di gazebo, Aku juga tahu dia sering mengunjungimu di dapur. Aku tidak sudi anakku berteman dengan golongan rendahan seperti kalian.”

Sekarang mimik wajah nyonya Sophie sedikit ragu, dia duluan merasa menyesal sebelum melayangkan kalimat berikutnya, “Tapi Sarah terlihat bahagia. Oleh sebab itu aku ingin mengucapkan terima kasih karena telah bersedia untuk menemaninya. Aku tidak bisa mengendalikan siapa temannya. Teman akan datang dan pergi, silih berganti dengan topeng-topeng yang berbeda. Terkadang mereka berpegangan tangan, kadang juga saling menyenggol. Namun seorang ibu tidak pernah menukar topengnya. Aku akan selalu berada di belakang bahu Sarah dalam situasi mudah atau sulit.”

-Bersambung-

Note: Project ini adalah bagian dari project novel yang sedang digarap oleh penulis. Bagi teman-teman yang tertarik ingin berdiskusi mengenai cerita lebih lanjut, bisa hubungi penulis lewat email: heavenkingdom.author@gmail.com.