Beranda Cerbung Heaven Kingdom dan Realita Kehidupan-Episode 15: Kesungguhan

Heaven Kingdom dan Realita Kehidupan-Episode 15: Kesungguhan

BERBAGI
Heaven Kingdom dan Realita Kehidupan. (Wendi Amiria/DETaK)

Cerbung | DETaK

Ketika kamu lelah dan kecewa, maka saat itu kamu sedang belajar tentang arti  kesungguhan-
(Dahlan Iskan
)

Xionglue mendobrak pintu kamar Luna, “Cepat bangun jal…!” Ternyata Luna sudah siap dengan dress hitam dan celemek putih yang diberikan oleh Merry tadi malam. “Cepat berkumpul!” perintah Xionglue dengan nada direndahkan.

Iklan Souvenir DETaK

Pukul 5 pagi, para pelayan berbaris di dapur untuk menerima arahan dari Xionglue. Pelayan senior ini sudah punya banyak pengalaman terkait dunia dapur. Dia membagi anak buahnya menjadi beberapa kelompok berdasarkan tugas masing-masing. Luna bergabung dengan kelompok yang akan mempersiapkan daging panggang.

pekerjaan dimulai, Luna mengikuti kelompoknya yang berjalan ligat dengan wajah datar menuju Ice House. Mereka terlihat sangat fokus hingga membuat Luna segan untuk mengganggu lewat berbagai pertanyaan yang sudah bercabang di kepalanya.

Pintu Ice House dibuka, udara dingin di dalam ruangan langsung menusuk ke dalam kulit. Asap-asap beku bertebaran di udara seperti kabut, menutupi potongan-potongan besar daging sapi yang tergantung di dinding batu. Kelompok pelayan ini segera mengambil lima potong daging, dan meletakkan di sebuah gerobak. Luna bertugas mendorongnya.

Kelompok ini kembali ke dapur, meletakkan daging di atas jaring panggang, memasaknya dengan kobaran api. Setelah matang, daging dipotong-potong, diletakkan pada beberapa piring, lalu dioleskan saus mustard. Saus berwarna coklat ini menyebarkan aroma lezat yang belum pernah dicium oleh Luna selama hidupnya.

“Saus apa ini?” Akhirnya Luna tak tahan menanggung rasa penasarannya.

“Ini dibuat dari rempah-rempah yang dikirim oleh kerajaan. Tentu orang rendahan seperti kalian tidak pernah melihatnya. Diam dan fokus bekerja, dasar Lafitters!” balas seseorang. Reaksi itu cukup menjadi alasan bagi Luna untuk menghentikan kebiasaannya bertanya untuk sementara waktu dan memilih mengamati saja.

Jam 8 pagi persiapan sarapan pagi selesai, para pelayan kastil bangunan utama mulai ke dapur untuk menjemput makanan. Xionglue dan pelayan senior lainnya mendapatkan jatah sisa daging sarapan pagi ini. Sementara Luna dan pelayan bawahan lain hanya menikmati roti tawar tak beragi bersama segelas air putih.

Jam 10 pagi, setelah membersihkan semua piring yang telah dipakai, Luna dan yang lain punya waktu kosong. Seperti yang telah disepakati, Luna dan Sarah berjumpa di taman kastil. Sejak tadi Sarah sudah duduk di gazebo sambil menggoyang-goyang kaki. Tangannya memegang sebuah buku tulis beserta buku cerita yang dulu sering dibacakan nyonya Sophie (ibu Sarah) sebelum tidur.

Luna akhirnya datang, dengan baju dan kulit yang masih lengket dengan keringat. Dia duduk di samping Sarah. Mereka mulai belajar dari pengenalan huruf-huruf alfabet.

Jam 12, matahari sudah berada di tengah awan, Luna berlari kecil sambil menggenggam buku yang diberikan oleh Sarah. Di dapur, orang-orang baru saja bubar setelah mendengarkan arahan Xionglue. 

“Kemana saja kau, dasar Lafitters pemalas! Sekarang cepat ikut kelompok yang pergi ke tambak ikan!” hardik Xionglue. Karena telat, besok Luna berencana untuk kembali ke dapur lebih cepat.

Kelompok Luna menuju ke belakang bangunan dapur kastil. Di sana terdapat lima kolam ikan yang luas. Selain itu, di area belakang komplek kastil ini Luna juga dapat menatap dinding barat yang memiliki tinggi 100 meter. Luar biasa, pekik hati Luna. Matanya memandang tak percaya dinding raksasa itu secara langsung untuk pertama kali. Bagaimana mungkin manusia yang berukuran kecil begini bisa membangun sebuah dinding menakjubkan begitu. Pertanyaan selanjutnya adalah apa yang ada di balik dinding raksasa itu. Melihat sesuatu yang ada di balik sana adalah impian semua kaum Lafitters.

Seorang pelayan melemparkan jaring kosong ke kolam, lalu menariknya. Keluarlah jaring itu dari air beserta iklan dengan jumlah cukup banyak sedang meronta-ronta. Menurut Luna, jumlah ikan sebanyak itu cukup memenuhi satu hari jatah makan seluruh komplek Sawtell yang merupakan sebuah klan kecil. 

Jam 14:00, menu siang ini adalah ikan rebus dengan campuran wortel dan tomat, ditambah kaldu ikan, siap dihidangkan. Para penduduk dapur kali ini lebih beruntung karena dapat jatah ikan sisa lebih banyak, Luna dapat mencicipi satu daging ikan rebus yang merupakan sebuah kemewahan bagi kaum Lafitters.

Jam 15:00, selesai makan, para pelayan mulai bekerja lagi untuk mempersiapkan kue dan teh untuk para bangsawan.

Jam 16:00, akhirnya mereka punya waktu istirahat sampai jam 18:00. Dalam dua jam ini, biasanya para pelayan menghabiskan waktu rebahan di kamar sambil bergosip tentang “drama-drama” menarik di tengah keluarga Alaska. Ada juga yang pergi ke alun-alun kastil untuk menikmati suasana sore sambil menatap para prajurit yang sedang berlatih di lapangan.

Luna sendiri masih sangat bersemangat untuk segera menghafal gambar seluruh alfabet di dalam buku yang diberikan Sarah. Dia segera mengambil buku itu dan berlari ke teras dapur. Duduk di samping tiang penyangga bangunan dan mulai mengulang pelajaran dari Sarah tadi pagi.

Di koridor, Sarah dengan semangat berlari-lari kecil hendak menjumpai Luna. Dia berniat mengajak Luna melihat para prajurit berlatih. Tiba-tiba di tengah jalan Sarah berhenti, dia segera bersembunyi di balik tembok koridor. Diam-diam matanya mengamati Luna yang sedang memegang buku dengan wajah berkerut dan mulut komat kamit. Sarah terkekeh geli dengan ekspresi Luna, namun dia juga kagum dengan kesungguhan temannya itu.

“Maaf membuatmu menunggu begitu lama, muridku,” ucap Sarah sambil menghampiri Luna.  Sarah mengurungkan niatnya untuk bermain, dan memilih duduk di samping Luna untuk membuka kelas tambahan.

Pukul 18:00, sekarang waktunya persiapan malam malam. Sarah bangun lalu berpamitan pada Luna. “Kalau kamu ingin belajar juga di waktu sore, besok kita ke gazebo saja. Di sana suasananya lebih nyaman.”

“Wah, terima kasih Nona, siap!”

Sejak tadi, beberapa wanita muda yang sudah kembali ke dapur saling berbisik sambil mengamati tingkah Luna bersama nona Sarah. Ketika Luna masuk ke dalam dapur, salah satu kelompok pelayan itu menghalangi jalan Luna. “Sedang apa kamu?” ejek si pelayan yang memiliki gigi kelinci.

“Aku sedang belajar. Jika bisa membaca, pangeran akan jatuh cinta padaku, lalu menjemputku dengan kereta kuda,” decit pelayan lain. 

Si gigi kelinci dengan tangkas merebut buku dari tangan Luna. “Bahkan kami saja tidak bisa membaca, apalagi kamu, dasar Lafitters hina!” 

Tangan Luna hendak meraih bukunya kembali, namun si gigi kelinci lihai menghindar. “Aku tahu kenapa kamu pura-pura mau belajar. Kau ingin mencari perhatian Nona Sarah, kamu ingin mendekati keluarga Alaska, ya kan!”

Kemudian si gigi kelinci mendorong kuat buku itu ke arah Luna hingga membuat tubuh Luna tersentak ke belakang dua langkah. “Dasar menjijikan!” caci si gigi kelinci, lalu bersama teman-temannya pergi meninggalkan Luna.

Luna tak berkata apa-apa. Dia mencoba menahan perasaannya agar bisa menghilang sendiri. Luna pergi ke kamarnya, meletakkan buku itu dengan baik, kemudian memakai celemek putih dan balik ke dapur untuk bekerja. 

Persiapan dinner dimulai! Ini jadi pekerjaan yang paling ribet dibandingkan hidangan-hidangan lain. Dinner harus diisi dengan menu yang lezat dan kompleks. Bir, daging babi, ayam goreng, masakan sup rebus, serta pencuci mulut berupa buah-buahan dan puding. Para pelayan bekerja habis-habisan agar bisa segera berleha-leha di kamar.

Hidangan selesai pada jam 21:00 malam. Semua pelayan makan malam dengan roti tak beragi. Khusus dinner, semua makanan dihidangkan, tak ada yang disisakan.

Jam 22:00, setelah membersihkan dapur,  pekerjaan selesai. 

Sebagian lampu minyak di dalam dapur telah dibawa pergi oleh setiap pelayan, hanya tersisa Luna sendirian. Suasana langsung berubah, rasanya lebih luas, lebih sepi, dan lebih gelap. Ia masuk ke kamar, mengelap keringat di badannya, berganti pakaian, dan tidur telengkup sambil memegang sebuah buku di atas kasur tipis. Luna masih dapat sedikit merasakan hawa dingin dan bau semen milik lantai kamar itu. Sambil ditemani api mungil yang terus bergoyang di dalam kaca lampu minyak, Luna kembali mengulang pelajaran nona Sarah. Pukul 23:00, akhirnya Luna menutup buku, waktunya tidur.

Keesokan hari di jam 5 pagi, Luna kembali bangun, lagi-lagi lebih cepat dari Xionglue yang sangat berhasrat ingin meneriakinya. Luna kembali mengerjakan rutinitas baru sebagai pelayan kastil hingga jam 11 malam. Tugas dapur, omelan Xionglue, ejekan si gigi kelinci, dan pelajaran dari Sarah, semua itu mengisi hari-hari Luna.

Namun seiring berjalannya waktu, Luna merasa tugas dapur semakin banyak, omelan Xionglue makin kencang, ejekan si gigi kelinci makin menjadi-jadi. Pikirannya semakin terkuras dengan kumpulan tulisan yang makin membingungkan dan aturan ejaan yang semakin mengherankan.

“Puk!” Luna menutup buku di tangannya dengan kencang. Dia bersandar pada tiang penyangga dan memegang kepalanya. Kenapa aku malah merasa semakin bodoh.

Tadi Sarah mengunjungi Luna untuk mengabarkan bahwa pagi ini dia tidak bisa mengajar karena ada agenda persiapan pesta keberhasilan para prajurit mengirim emas. Sarah harus belajar beberapa etika bangsawan dari ibunya.

Si gigi kelinci bersama teman-temannya memandang Luna yang sedang terduduk murung di depan dapur. Mereka tersenyum geli lalu merencanakan sesuatu.

“OOH LUNA MALANG!” teriakan itu membuat tubuh Luna bergetar. Si gigi kelinci berbisik pelan di belakangnya, “Apa yang sudah kamu lakukan… Menipu diri sendiri?” 

Si gigi kelinci menyeringai penuh kemenangan pada Luna dan berkata, “Aku sudah bilang padamu. Kau hanya seorang Lafitters, kehidupanmu menyedihkan, makananmu tak bergizi, otakmu terbatas, tapi anehnya malah ingin bisa membaca. HAHAHAHA!”

Satu perempuan lain menolak kepala Luna, “Mana mungkin otak ini sanggup memahami tulisan-tulisan itu.”

Kemudian si gigi kelinci bersama teman-temannya mengelilingi Luna sambil bernyanyi, “Luna menyedihkan! Luna menyedihkan! Luna menyedihkan!” 

Nyanyian itu terasa begitu menyenangkan, memberikan tawa kepada si gigi kelinci dan teman-temannya. Namun tawa itu berubah menjadi cacian, tangan-tangan mereka mulai berani terus menerus menolak dan mengacak-ngacak rambut Luna. Warna asli mereka akhirnya keluar; bukan warna kasihan atas kenaifan Luna, tapi warna kebencian, dengki, dan jijik karena ada orang yang lebih rendah dari mereka mencoba meraih sesuatu yang mereka sendiri belum bisa. Si gigi kelinci dan teman-temannya benci kepada Luna karena dia mencoba menunjukan bahwa keyakinan mereka selama ini tentang nasib itu salah.

“BOM!” Sebuah balok menghantam tiang bangunan. Gigi kelinci dan teman-temannya terkejut, ternyata Xionglue sudah berdiri di teras dapur sambil  memasang tatapan mengerikan.

“Berhenti bertindak seperti anak kecil, dasar wanita jalang! Kembali ke dapur!” bentaknya. Para wanita muda itu langsung bubar cepat-cepat.

Kemudian Xionglue mendekati Luna, dia benar-benar jengkel dengan anak ini. Sudah pekerjaannya tidak becus, sekarang juga menyebabkan kehebohan di dapur. Apa sih yang dia pikirkan, sok-sok membaca dan menjadi berbeda. Dia pikir ini drama. Bukannya terlihat baik, malah bikin resah orang-orang saja. Andai bukan karena permintaan nona Sarah, gadis lambat dan bodoh ini pasti sudah diusirnya dari dapur.

“Singkirkan benda itu dari dapurku! Aku tidak mau melihat kamu memegangnya ketika bekerja.” Perintah Xionglue mengacu pada buku yang digenggam Luna.

Tapi Luna tak bergerak, dia masih terduduk sambil menatap tanah.

“SEKARANG!” teriakan Xionglue mengejutkan Luna. Dia langsung bangun dan segera membawa buku itu ke kamar.

 “Dasar gadis gila. Dia pikir ini dunia dongeng,” gumam Xionglue.

Pintu kamar ditutup dengan keras, Luna berbaring di kasur. Dia langsung mengambil bantal dan menutup wajahnya. Nafasnya mulai terisak-isak, air mata terus mengalir. Seharusnya saat ini Luna sedang beristirahat bersama Lafitters lain di bawah rindangnya pohon bambu setelah lelah berkebun, sambil menikmati makan siang sederhana bersama-sama. Seharusnya Luna bisa memeluk ayah dan ibunya setiap hari, menjahili adiknya, dan menghabiskan waktu malam menikmati pemandangan aurora di langit.

Kenapa? Kenapa Luna malah memilih tempat ini. Dia akhirnya menyadari, benar perkataan ibunya dan si gigi kelinci, mungkin kastil dan buku bukanlah takdir seorang Lafitters. Tangisan Luna makin kencang, dia merubah posisi untuk tengkurap agar suaranya tak terdengar ke luar. Namun sesuatu mengganjal di dadanya. Luna bangun, dan mengambil benda itu.  Ternyata kalung berhias batu hijau pemberian ayah. Dia sampai lupa sedang mengenakannya.

Luna mengambil posisi duduk. Air matanya mulai berhenti, nafasnya berhenti menangis tapi masih tersendak-sendak. Pikirannya mulai lalai dengan batu hijau mengkilap yang memantulkan bayangan wajahnya. Ingatannya kembali menjelajah waktu, melihat seorang pria paruh baya berwajah tiris sedang tersenyum tulus memandangnya. “Jika mereka tetap memanggil ayah orang gila.. tak masalah, tunjukan apa yang bisa dilakukan oleh anak orang gila ini!

Dada Luna bergetar, bulu tangannya berdiri, seakan ayahnya baru saja datang dan mengingatkan Luna akan perkataan tadi. Dia sadar, ayahnya rela dimaki oleh keluarganya karena membiarkan anak gadisnya pergi ke kastil. Dia berjuang untuk menghidupi Luna hingga saat ini karena ada harapan yang ayah lekatkan kepada Luna untuk masa depan. Seharusnya tak boleh menyerah menyerah semudah ini. Dia harus bertekad untuk membalas kebaikan ayahnya itu dengan membuatnya bangga. Luna menarik nafas panjang dan melepaskannya pelan-pelan. Dia menyekat air matanya dan berbisik, “Ayo Luna, ayah percaya kepadamu. Kamu pasti bisa!”

Luna memotong rambutnya agar lebih leluasa ketika bergerak, lalu keluar dari kamar dengan perasaan lebih lega. Sekarang dia sadar harus fokus pada seluruh aktivitasnya di kastil, bukan hanya ketika belajar membaca, tapi termasuk tugas pelayan dan disiplin diri.

Kegagalan dan keberhasilan, sama-sama diawali oleh pemikiran

Luna memahami itu, oleh sebab itu dia tak lagi membiarkan pikirannya ragu terhadap diri sendiri. Dia selalu berbisik bahwa ayahnya dan nona Sarah saja percaya padanya, tak ada alasan bagi dirinya untuk merasa tak mampu. Luna tak akan membiarkan orang lain membuatnya gentar untuk bermimpi.

Hari demi hari, pekerjaan Luna di dapur semakin membaik, bahkan para pelayan lain heran melihat perkembangan dirinya. Diam-diam, Xionglue sendiri takjub dengan perubahan pesat yang ditunjukan Luna. Xionglue merasa bangga pada diri sendiri karena dia menduga Luna berubah gara-gara perkataannya. Xionglue yakin penyakit belajar membaca yang menyangkit Luna sudah sembuh. Tentu tidak! Sebagaimana bekerja, Luna juga menunjukan perkembangannya dalam membaca. Sarah sendiri kagum, Luna bisa menyerap pelajaran dengan cepat dibandingkan dirinya dulu. Sekarang Luna mulai berhenti mengeja ketika membaca sesuatu, walau masih tersendat-sendat.

Kenapa Luna bisa berubah secepat ini? Karena kekuatan instan seperti sihir? Tidak! Atau karena ini hanya kisah fiktif? Tidak! Kekuatan yang membuat Luna bisa berkembang secepat itu adalah nyata, bisa digunakan oleh siapa saja, tak peduli dia seorang bangsawan, orang yang dijanjikan, pelayan, orang biasa, bahkan kaum Lafitters sekalipun.

Kekuatan yang Luna dapatkan itu disebut energi mimpi-mimpi besar; hasrat membara untuk mulai berbuat hingga dia berhasil mencapai sesuatu yang telah diimpikan. Mimpi tidak muncul dari rasa cuek, kemalasan, atau ketiadaan ambisi. Keberhasilan Luna mengubah performance-nya dimulai saat dia kembali mengingat tujuan awalnya untuk datang ke kastil putih ini. Dia punya mimpi agar bisa membaca dan belajar banyak ilmu baru di dalam kastil, ayahnya juga percaya kepada impian Luna itu. Maka tak ada alasan bagi Luna untuk galau dan berhenti gara-gara itu sulit atau diketawain orang.

-Bersambung-

Note: Project ini adalah bagian dari project novel yang sedang digarap oleh penulis. Bagi teman-teman yang tertarik ingin berdiskusi mengenai cerita lebih lanjut, bisa hubungi penulis lewat email: heavenkingdom.author@gmail.com.