Beranda Cerbung Heaven Kingdom dan Realita Kehidupan-Episode 11: Impian dan Perubahan

Heaven Kingdom dan Realita Kehidupan-Episode 11: Impian dan Perubahan

BERBAGI
Heaven Kingdom dan Realita Kehidupan. (Wendi Amiria/DETaK)

Cerbung | DETaK

Hasratmu untuk meraih mimpi mendorongmu untuk berubah

Tangan Nicolas menyisir rambut hitam serapi mungkin dan menepuk jaket abu-abunya untuk menghilangkan debu yang menempel. Setelah itu dia menghela nafas panjang dan tersenyum di depan cermin. Nicolas ke luar rumah, melangkah ringan, dan berjalan dengan wajah penuh gairah seakan baru saja menemukan sebuah tujuan hidup baru.

Iklan Souvenir DETaK

Beberapa hari lalu, dalam pertemuan di aula kastil putih, pihak adipati putih menolak pengajuan protes kaum lafitters mengenai pembagian jatah coklat.

Tapi pertemuan itu juga berhasil membuat satu kesepakatan yang disetujui antara kedua pihak, persoalan ini mengenai terror Wendigo. Berdasarkan laporan Sir Leanar, ada tiga bocah Lafitters dan empat perempuan tukang kebun yang hilang dalam sehari. Saksi mata menduga para Wendigo yang melakukan itu. Semua pihak setuju untuk melaksanakan sebuah saran dari Septon kota.

Hari ini, orang-orang berkumpul di depan padang ilalang, termasuk keluarga Alaska.

“Wahai penduduk kota Gazastan!” seru septon kota. kita semua telah kehilangan banyak keluarga dan merasakan terror Wendigo yang tinggal di hutan Okigahara. sang adipati ‘penjaga bagian utara Heaven Kingdom’ tuan Sedler Alaska telah memutuskan, bahwa hari ini akan dilaksanakan upacara pengorbanan pertama untuk menghentikan kutukan Wendigo di kota kita.”

Semua orang terdiam, khidmat mendengarkan. Septonkota melanjutkan, “Pengorbanan itu dilakukan dengan cara memberikan satu jiwa manusia di setiap musim.”

Sontak kerumunan Lafitters langsung ramai dengan bisikan.

“Tenangg!” teriak sang Septon. “kalian tidak perlu khawatir. Sudah ada satu orang yang bersedia menjadikan dirinya sebagai persembahan pertama untuk pengorbanan.”

“Sambutlah dia, Nicolas Gifford!”

Ronald dan Luna seketika lemas mendengarkan hal itu. Seakan sebuah batu yang sangat berat telah diletakkan di atas pundak mereka. Ronald yang paling terpukul, cucunya tidak pernah menceritakan apapun padanya tentang hal ini.

Nicolas muncul dari balik kerumunan, berjalan dengan tegap dan yakin. Kemudian para prajurit menuntun tangan Nicolas untuk memeluk sebuah batang kayu dari belakang. Tangannya diikat, mulutnya dibekap, lalu dia ditandu.

“Lihatlah anak pemberani itu! dosanya akan diampuni oleh dewa Hades setelah menawarkan diri untuk dikorbankan!” teriak si Septon sambil menunjuk pandangan dua prajurit yang menandu Nicolas. Mereka masuk semakin jauh ke dalam padang ilalang.

Tindakan ini bagaikan pepatah ‘Sekali dayung dua pulau terlampaui’ bagi Nicolas. Dia telah menolong penduduk kota dan pada saat yang bersamaan akan meninggalkan tempat menyedihkan ini. Dia bosan hidup di Gazastan, dia ingin mati dan bangkit sebagai orang yang lebih bahagia karena kebaikannya sekarang.

Rombongan kecil itu telah melewati padang ilalang dengan selamat. Sekarang mereka hanya berjarak beberapa meter dari deretan pohon besar dengan batang berkerut seperti wajah nenek tua yang sedang mengamuk. Cabang-cabangnya mirip tangan-tangan mencekam, siap menerkam mangsa di depan. Dua prajurit Gazastan meletakkan tubuh Nicolas di atas tanah berumput. Salah satu diantara mereka mengintip sekilas ke dalam hutan, hanya tiga atau empat baris pohon saja yang terlihat, sisanya hanya kegelapan. Tak ada yang tahu siapa saja penunggu di balik kegelapan itu, namun satu hal mereka yakini, para wendigo bukan satu-satunya yang ada di sana.

Sebelum cahaya langit menghilang, dua prajurit itu segera meninggalkan Nicolas yang terbaring disana sendirian. Begitu juga dengan semua orang, mereka bubar, termasuk Ronald yang harus dituntun oleh anggota klannya karena lagi-lagi harus menerima kejadian pedih yang menimpa keluarganya.

Tinggal Luna sendiri, mematung di tengah kehampaan angin sore. Pipinya basah berlinang air mata. Setelah Agnes, Eric, dan Albert, sekarang giliran Nicolas yang pergi.

Sebuah tangan menepuknya, ternyata Sarah diam-diam tidak mengikuti rombongan keluarga Alaska.

“Nona Sarah,” sapa Luna sedikit terkejut sambil menyapu pipinya.

“Aku turut berduka atas temanmu.”

Luna berusaha tersenyum. “Nicolas baik-baik saja. Aku yakin dia pasti lebih bahagia di kehidupan selanjutnya. Mungkin saja dia akan dilahirkan sebagai keturunan keluarga Robertson,” begitulah lisan berkata, namun tidak dengan hatinya.

Paman Luna mati gara-gara bekas luka cambukan yang membusuk dan mengeluarkan nanah. Ibu dan Ayahnya kadang harus rela mengurangi jatah makanan mereka agar Luna dan adiknya bisa kenyang dengan porsi makanan yang ada. Sahabat-sahabatnya telah tiada. Nicolas, orang yang diharapkan akan menemaninya menjalani kehidupan yang penuh tantangan ini, malah memilih kematian. Tubuh mungilnya juga harus rela menerima cambukan yang membuat kulit-kulit di punggungnya terkelupas. Semua itu gara-gara darah terkutuk yang mengalir di tubuh mereka.

Dia tak kuat lagi, dia tak bisa menahan beban ini lebih lama. Umurnya baru 12 tahun, tapi kenapa banyak penderitaan yang harus ia lewati. Dadanya sakit, badannya panas, tapi dia tak bisa marah. Apa yang bisa Luna lakukan? Dia tak punya apa-apa.

Semua nasehat Ayahnya sudah dia lupakan. Hatinya saat ini berusaha memelah sesedih mungkin. Dia berharap agar para dewa merasa kasihan padanya dan menghentikan apa yang telah mereka lakukan terhadapnya.

“Saya minta maaf,” kata-kata Luna mengejutkan Sarah. Air mata kembali berjatuhan dari matanya. “Saya minta maaf atas dosa-dosa yang pernah saya buat di kehidupan sebelumnya. Saya ingin bertaubat, saya tidak mau jadi pendosa selamanya.”

“Tapi saya tidak tahu…,” Nafasnya terisak-isak.

“Saya tidak tahu dosa apa yang membuat saya terlahir sebagai seorang Lafitters,” Pipinya basah, mulutnya tak kuat untuk ditutup, badannya sudah benar-benar bergetar. Jiwanya tak mampu menyembunyikan lagi. Dia menangis, tidak sanggup hidup di tempat seperti ini. Tubuhnya terduduk, mulutnya meraung keras sambil meremas tanah, berharap 6 dewa yang selalu dipuja-puja itu mendengarnya.

Sarah bingung dan gugup karena harus menghadapi situasi seperti ini? Sekilas pikirannya memetik sebuah ingatan ketika ibunya selalu memberikan pelukan saat Sarah sedang sedih. Dia mencoba melakukan itu, memberikan kehangatan kepada Luna dari hawa dingin di bawah langit kota Gazastan yang selalu murung.

Sambil memeluk, Sarah berbisik, “Aku juga tidak pernah tahu…”

“Aku tidak pernah tahu kebaikan apa yang sudah pernah kulakukan hingga terlahir sebagai seorang Alaska.”

“Dengar Luna!” bisik Sarah dengan nada serius. “Ketika umur kita sudah 13 tahun, aku akan mengundangmu tinggal di kastil. Kau adalah temanku, Aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Aku berjanji.”

-Bersambung-

Note: Cerita ini adalah bagian dari project novel yang sedang digarap oleh penulis. Bagi teman-teman yang tertarik ingin berdiskusi mengenai cerita lebih lanjut, bisa hubungi penulis lewat email: heavenkingdom.author@gmail.com