Beranda Cerpen Pan Seared Milkfish

[DETaR] Pan Seared Milkfish

BERBAGI
Ilustrasi. (Wendi Amiria | DETaK)

Teuku Muhammad Ridha | DETaK

Di titik ini, aku sudah merasa hidupku sepenuhnya komedi. Aku sahur sendirian, hanya makan mi instan, duduk di dapur indekos yang suram dengan cahaya redup dari lampu yang nyaris putus, fokus memandang layar ponsel yang kuganjal gelas minuman serealku agar bisa berdiri tegak.

Terasa familiar? Ya, persis iklan klise Ramadan. Aku tidak akan terkejut kalau ada kru reklame mendadak masuk dan narasi mulai berbicara betapa menyedihkannya kehidupanku yang jauh di perantauan. Secara tidak langsung aku adalah parodi iklan. Atau iklan yang memparodikanku.

Masih tiga jam lagi sampai adzan subuh. Aku bangun seawal itu karena sebenarnya aku praktis belum tidur. Kau tahu kehidupan mahasiswa kan? Di hari-hari tersibuk, aku bisa tidur empat jam lewat dari tengah malam, padahal harus bangun lagi dalam tiga jam kemudian kalau tidak mau terlambat kuliah.

Mengingat jam biologisku sedang diset ulang di minggu-minggu awal bulan ini, aku tidak akan berbaik hati menuruti mataku yang sudah berat untuk tidur sebelum mengisi perut. Siapa yang tahu jam berapa aku bisa bangun lagi. Kalaupun harus langsung tidur seketika setelah makan, aku tidak akan khawatir terkena refluks lambung. Maksudku, penyakit lambung sudah dari sananya langganan mahasiswa, kan?

Dini hari itu hari Sabtu. Sudah masuk tanggal 5 Ramadan. Jumat sebelumnya adalah hari yang berat. Aku lupa mengerjakan tugas makalahku. Untungnya dosen mata kuliah yang bersangkutan memberiku kesempatan mengumpulkannya besok sebelum jam delapan pagi ke rumhanya. Meskipun dipotong separuh poin dari nilai terendah makalah mahasiswa lain, aku masih bersyukur. Dosen lain mungkin tidak akan senang dengan alasanku yang terlalu dibuat-buat.

Aku baru selesai kuliah pukul enam sore, namun harus bekerja paruh waktu di sebuah kafe dari habis tarawih sampai tengah malam. Alhasil aku baru punya kesempatan mengurus draf makalahku dari tengah malam. Dengan kemampuan menulis yang seadanya, aku berhasil merampungkannya dalam empat jam.

Maaf, aku tidak bermaksud untuk curhat, tapi aku akan senang dengan sedikit simpati.

Indekos sedang sepi. Teman-temanku yang lain pulang kampung sementara kampus mengharuskan setiap perkuliahaan dilakukan secara daring karena gedung akan digunakan untuk pelaksanaan seleksi masuk universitas. Aku adalah satu-satunya yang tinggal, bersama pemilik indekos yang belum bangun, terjebak di sini karena tidak punya ongkos mudik. Ya, uang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang. Lagi pula, mungkin akan sangat merepotkan kalau harus bolak-balik dengan selang waktu sesempit itu.

Itulah tujuanku menyalakan ponsel sekarang. Aku berharap kalau-kalau salah satu anggota keluargaku di kampung sedang begadang sambil bermain ponsel dan bisa menerima panggilan videoku. Aku masih mencoba menyambungkannya dengan kakakku tapi belum berhasil.

Baru menyuap sendok kedua mi kaldu ayamku, tiba-tiba terdengar suara derit pintu dari arah belakangku. Aku berbalik dan menemukan sesosok bayangan hitam berdiri di sana, berbentuk pria gemuk berkepala plontos. Hampir-hampir aku berteriak dan melempar mangkuk, sampai sosok itu masuk ke garis batas cahaya lampu dapur.

Pak Hamid berdiri di sana, dengan wajah yang kuyu karena masih mengantuk. Bekas-bekas tidur masih tampak di wajahnya, sebelah pipinya bergaris merah bekas sarung bantal, sarungnya miring, dan matanya masih setengah terpejam.

“Bapak! Dani hampir teriak tadi, lho,” kataku sambil mengelus dada.

Pria itu mengernyit kemudian tersenyum. “Kirain setan, ya?” tanyanya.

“Bukan, Pak. Dani kira tadi Bapak maling,” bantahku berusaha terdengar diplomatis.

“Iya, deh. Bapak percaya,” ujarnya.

Pak Hamid berlalu ke kamar mandi sementara aku melanjutkan makanku. Panggilan video yang kulakukan belum tersambung sejak tadi. Kuputuskan untuk membatalkannya. Mungkin mereka belum bangun sahur. Ini masih terlalu dini. Sebagai ganti aku menonton video-video tak bermanfaat di Youtube.

Tak lama kemudian Pak Hamid keluar dari kamar mandi, dengan wajah yang lebih segar. dia memanaskan air di panci kemudian duduk bersamaku di meja makan. Seperti sahur-sahur sebelumnya, dia nyaris tidak makan sama sekali. Aku hanya pernah melihatnya menyeduh kopi dan makan biskuit kaleng. Sahur paling repotnya yang pernah kulihat adalah dia menyiapkan roti selai. Padahal kalau dipikir-pikir, dia bukanlah orang yang sesibuk itu. Istrinya memang sudah lama meninggal dunia, sedangkan kedua anaknya kuliah di luar kota, tapi bukan berarti dia tidak punya waktu untuk menyiapkan sesuatu sepenting sahur.

Pak Hamid duduk di kursi di sebelahku, mengintip isi mangkukku, kemudian mundur sambil mengeleng-gelengkan kepalanya.

“Kok mi lagi?” tanyanya.

“Biasalah, Pak. Nggak bisa masak. Nggak sempat beli lauk juga semalam, keburu tutup semua warungnya.” Aku meniup sesendok mi, lalu menyuapkannya ke mulut.

Pak Hamid memainkan ponselnya, namun mulai bicara padaku. “Bapak ada simpan ikan bandeng yang Bapak beli tadi buat buka. Nggak banyak, sisa beberapa potong lagi belum digoreng di kulkas. Kalau mau goreng aja. Tuh, nasi juga ada di rice cooker.”

“Ah janganlah, Pak. Mi aja udah cukup,” tolakku, kembali menyeruput kuahnya.

Pak Hamid bangkit dari kursi, berjalan pelan ke kompor. Panci airnya sudah bergetar hebat sementara uap mengepul ke udara. Dia mematikan kompor lalu meraih wajan teflon dari rak. “Goreng sendiri apa digorengin?” tanya Pak Hamid dengan nada mengancam.

Aku cepat-cepat berdiri dan meraih teflon dari tangannya. “Iya, iya, Pak,” cegatku. “Goreng sendiri. Makasih, Pak.”

Pak Hamid menyingkir untuk memberiku ruang di dapur. Dia kembali berjalan ke meja makan sambil membawa panci air panas, mulai menyeduh kopi langsung di panci, lalu menuangkannya perlahan ke gelas. Aroma semerbak kopi menyuntikkan kesadaran ke bola mataku yang mengantuk.

“Kopi, Nak?” tawar Pak Hamid sambil menunjukkan pancinya. Ada cairan kehitaman di dalamnya yang disisakan cukup untuk mengisi gelas kecil.

Nggak usah, Pak,” kataku. “Nggak biasa minum kopi buat sahur. Takut kena maag sama dehidrasi.”

Pak Hamid hanya manggut-manggut. Sebagai ganti, dia meminum kopi dari gelasnya, kemudian mengisinya lagi dengan kopi dari panci. Lidahnya pasti sudah kebas kalau bisa minum kopi sepanas itu dalam sekejap. Dia pamit kembali ke kamarnya. “Nanti kalau sudah azan subuh tolong bangunin Bapak, ya. Ikannya jangan lupa dimakan. Jangan sahur sama mi terus.”

“Siap, Pak.”

Begitulah permintaan orang yang menasehatiku karena sahur hanya dengan mi instan. Pak Hamid memang pecinta kopi, tapi aku tidak tahu bagaimana cara dia bertahan seharian penuh berpuasa hanya dengan segelas kopi saat sahur. Apa dia punya lambung super kuat dan tubuh yang sangat toleran kafein? Maksudku, kafein kan tidak masuk zat yang paling dianjurkan dikonsumsi saat sahur atau berbuka. Aku sudah pasti kena serangan jantung kalau mencoba gaya hidup Pak Hamid hanya dalam waktu dua hari.

Aku masih bingung hendak melakukan apa karena asyik memperhatikan Pak Hamid membuat kopi. Penggorengan berada di tanganku, masih bersih dan tidak bau amis. Aku menempatkannya di salah satu tungku kompor, kemudian memeriksa isi kulkas.

Aku mencari-cari potongan bandeng yang dimaksud. Ternyata dalam sebuah Tupperware oranye di dalam freezer. Masih ada sisa dua potong perut dan sepotong bagian ekor. Kupikir aku harus memberinya perasan jeruk nipis dan garam lagi, ternyata ikan itu sudah dimarinasi dengan bumbu ketumbar. Sedikit beku dan benyek, tapi ini jelas lebih layak dari mi instan.

Minyak goreng yang tersisa tinggal sedikit, jadi kuputuskan untuk melakukan sedikit improvisasi ala master chef. Aku yakin ada teknik memasak dengan sedikit minyak yang namanya pan seared atau semacamnya. Kurasa itu cuma versi berkelas dari “minyak gorengnya nggak cukup, nih”.

Jadi, aku menuangkan beberapa sendok makan minyak goreng yang tersisa, menumis sesiung bawang putih, dan menggoreng sepotong bagian perut nyaris seperti memanggangnya. Tentu saja itu tidak mengurangi kedahsyatan serangan cipratan minyak yang kudapat. Aku tetap harus menamengi diriku dengan tutup dandang seperti seorang gladiator.

Aroma bumbu ketumbarnya sangat enak sampai-sampai aku merasa seperti koki professional. Padahal bukan aku yang meraciknya. Ikannya matang sempurna. Tentu saja! Aku sudah memperkirakan besar kecilnya api untuk mengefektifkan banyaknya minyak yang kupunya, penyebaran panas, serta lamanya waktu yang kubutuhkan agar seluruh daging ikannya matang merata. Di titik ini kau mulai berharap aku ikut ajang master chef musim berikutnya.

Aku mengambil nasi dari rice cooker. Karena tidak dipanaskan, aku harus bilang bahwa kerasnya bukan main. Yang kucentongkan ke dalam piringku berbentuk seperti susunan lego. Untungnya kuah mi yang tersisa bisa membuatnya jauh lebih … edible.

Masih sendiriaan, duduk di kepala meja, aku mulai menyantap porsi sahurku yang lebih sehat. Oh, ya, ada yang kurang. Aku mengambil separuh tomat dari kulkas, memotongnya langsung ke dalam mangkuk. Lalu beberapa lembar daun seledri yang sudah layu juga beberapa potong cabai rawit. Nah, ini baru menu sehat.

Aku makan dalam diam. Masih dua jam lagi sampai imsak, tapi aku belum mendapat panggilan balasan dari kampung. Ya, sudahlah. Lagi pula kakak dan adikku bukan tipe orang yang mengecek ponselnya sepagi ini. Orang tuaku pun dua-duanya gaptek.

Sepertinya benar-benar ada yang kurang. Bukan menu sahurnya. Ini sudah lebih dari cukup. Aku bahkan tidak ingat kapan kali terakhir makan ikan. Lalu aku sadar, itu adalah kebersamaan. Aku berharap bisa menjalinnya dengan keluarga dekatku di kampung halaman, namun aku juga semestinya sadar bahwa aku juga punya keluarga di sini.

Pak Hamid sudah seperti ayah baru bagiku. Dia memperlakukan semua anak indekosnya seperti anaknya sendiri, bahkan memberitahu kami semua bahwa dia siap bertanggung jawab penuh apabila ada permasalahan kuliah yang membutuhkan perwalian.

Sekarang di indekos ini hanya ada kami berdua. Memang sepi, tapi bukan berarti aku tidak bisa menciptakan suasana yang lebih ramai untuk kami berdua.

Aku cepat-cepat memanaskan lagi penggorengan, melakukan pan seared sekali lagi ke potongan perut bandeng yang terakhir. Aku bahkan tidak sadar hanya tinggal setengah jam lagi sampai azan subuh. Harusnya masih sempat. Beberapa menit kemudian, aku selesai dengan ikannya. Aku juga memanaskan sedikit nasi langsung di atas wajan bekas menggoreng ikan, berharap agar teksturnya tidak sekeras rengginang mentah. Aku tidak menemukan sayur ataupun tumbuhan lain sebagai sumber serat. Karena tidak yakin apa Pak Hamid suka tomat, aku mengakalinya dengan mencampurnya bersama rawit dan irisan bawang ke dalam kecap manis menjadi sambal kecap.

Wow, aku tidak tahu aku bisa menyiapakan sesuatu seperti itu hanya dalam waktu sepuluh menit. Masih tersisa kurang dari setengah jam.

Aku buru-buru pergi ke kamar Pak Hamid, mengetuk pintu kamarnya. “Pak, bangun, Pak.”

Setelah beberapa kali mengetuk, aku mendengar suara krasak-krusuk dari dalam kamarnya. Tiba-tiba pintu terbuka. Pak Hamid kelihatan sangat mengantuk. Matanya lelah dan tampak merah. Namun, firasatku mengatakan bahwa itu bukan karena dia habis tidur. Apa Pak Hamid habis menangis?

“Kenapa, Dani? Udah azan? Kok cepet banget?”

Aku menggeleng. “Bukan, Pak. Saya bangunin buat sahur,” ujarku. “Yuk, saya udah masakin fried rice and pan seared milkfish with seasoned soysauce.”

“Ha? Apa?” tanya pak Hamid kebigungaan.

“Nasi goreng kampung, ikan bandeng goreng sama sambal kecap,” jelasku menahan geli. “Yuk, Pak.”

Pak Hamid tidak bereaksi untuk sejenak. Dia memandangku dalam-dalam, kemudian tersenyum lebar. Sambil mengusap matanya dia berkata, “Boleh lah. Sekali-sekali.”

Singkat cerita, kami makan bersama, bercengkrama seperti caraku bercengkrama dengan ayahku di kampung. Mungkin juga seperti caranya bercengkrama dengan anak-anaknya. Saat itu kami seperti saling melepas rindu dengan sesuatu yang baru. Tidak bisa menggantikan, namun bukannya tidak berarti. Sebelum azan subuh berkumandang, kami sudah selesai.

“Enak juga kamu masak,” puji Pak Hamid. “Oh, ya. Tapi, kan, memang dari sananya udah berbumbu.”

“Waduh, Pak. Sekali-sekali biarin saya bahagia kek. Kan enak bisa dipuji,” kataku berlagak kecewa.

Kami bicara beberapa lama lagi sampai akhirnya azan subuh terdengar dari masjid.

“Yuk, ke masjid,” ajak Pak Hamid. “Kamu siap-siap, Bapak tunggu di depan.”

“Siap, Pak. Saya mandi dulu bentar ya, Pak. Nggak lama.”

Pak Hamid mengangguk. Dia berlalu ke kamarnya sementara aku mengambil handuk dan baju ganti di kamar. Di perjalanan yang singkat ke kamar mandi, aku merasakan sesuatu yang mengganjal di leherku. Rasanya perih, terutama saat menelan ludah.

Aku buru-buru kebali ke kamar dan mengambil ponselku. Aku berkaca di cermin kamar mandi, menyorotkan senter ponsel ke mulut yang kubuka lebar-lebar. Dengan segera aku menemukan masalahnya. Ada benda tipis seperti bulu sikat tertancap dalam, tepat di amandel kiriku. Duri bandeng. Sial. Aku harus puasa dengan duri bandeng tersangkung di leher. Ini bakal jadi hari yang sangat … sangat … berat.[]

#30 Hari Bercerita