Beranda Opini Kebebasan Pers dibungkam: Demokrasi Dalam Bahaya

Kebebasan Pers dibungkam: Demokrasi Dalam Bahaya

BERBAGI
Grafis. (Shafna/DETaK)

Opini | DETaK

Kebebasan pers di Indonesia kembali berada di ujung tanduk. Tahun 2025 menjadi saksi bagaimana jurnalis, yang seharusnya menjadi pilar utama demokrasi, justru menjadi sasaran intimidasi, teror, bahkan kekerasan fisik.

Ironisnya, di tengah arus informasi yang begitu kuat, para pencari kebenaran justru dibungkam. Serangan terhadap jurnalis semakin sering terjadi, baik dalam bentuk ancaman verbal, teror, serangan digital, kekerasan fisik, maupun pembungkaman hukum. Jika ini terus dibiarkan, maka kita sedang menuju era di mana kebebasan pers hanya menjadi ilusi belaka.

Iklan Souvenir DETaK

Rentetan Kasus Kekerasan: Jurnalis dalam Ancaman

Bagi mereka yang masih menganggap ancaman terhadap pers hanya sekadar angin lalu, mari kita lihat kenyataannya. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat bahwa sepanjang tahun 2024 terjadi 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia, termasuk satu kasus pembunuhan. Jenis kekerasan yang dialami meliputi kekerasan fisik, teror, intimidasi, hingga serangan digital.

Salah satu peristiwa menggemparkan terjadi pada Maret 2025 lalu, ketika seorang jurnalis investigasi Tempo, Francisca Christy Rosana, menerima paket berisi kepala babi di kantornya. Teror ini terjadi setelah ia memberitakan dugaan korupsi yang melibatkan pejabat tinggi. Ancaman tersebut tidak berhenti di situ. Selang beberapa hari, enam bangkai tikus dikirim ke alamat rumahnya. Pesannya jelas: tutup mulut, atau terima akibatnya. 

Kasus lain terjadi pada seorang jurnalis investigasi di Yogyakarta yang mengungkap jaringan perdagangan manusia. Tak lama setelah liputannya terbit, rumahnya dilempari batu, ponselnya diretas, dan ia menerima ratusan pesan ancaman. Bukannya mendapatkan perlindungan, ia justru harus berpindah-pindah tempat tinggal untuk menghindari serangan.

Sementara itu, di Jakarta, kekerasan terhadap jurnalis juga terjadi dalam liputan aksi demonstrasi menolak revisi Undang-Undang TNI. Beberapa jurnalis yang sedang bertugas menjadi korban intimidasi aparat. Kamera mereka dirampas, ada yang dipukul, dan beberapa lainnya ditangkap tanpa alasan yang jelas. Hal ini semakin memperkuat bahwa kekerasan terhadap jurnalis bukan lagi insiden terisolasi, melainkan pola sistematis yang dibiarkan terus terjadi.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan ini. Hampir tidak ada kasus yang benar-benar ditindaklanjuti dengan serius. Budaya impunitas—di mana pelaku kekerasan terhadap jurnalis tidak dihukum—menjadi kebiasaan di Indonesia.

AJI mencatat, dari ratusan kasus kekerasan terhadap jurnalis dalam lima tahun terakhir, hanya segelintir yang benar-benar diproses hukum. Mayoritas kasus menguap begitu saja. Tidak ada kejelasan, tidak ada keadilan.

Mungkinkah Ini Strategi Pembungkaman?

Meningkatnya serangan terhadap pers bukan sekadar kebetulan. Ada pola yang berulang. Mereka yang kritis, mereka yang berani membongkar kebenaran, justru menjadi target utama.

Salah satu ancaman terbesar yang dihadapi jurnalis saat ini adalah pasal karet dalam undang-undang. UU ITE, misalnya, sering digunakan untuk membungkam kritik terhadap pejabat atau institusi tertentu. Jurnalis yang menulis berita yang dianggap “merugikan” bisa dengan mudah dijerat dengan tuduhan pencemaran nama baik atau penyebaran berita bohong.

Kasus Narasi TV adalah contoh nyata bagaimana pembungkaman terhadap media bisa dilakukan dengan cara yang lebih “halus”. Pada 2024, kantor Narasi TV digeledah oleh aparat dengan alasan dugaan penyebaran hoaks. Namun, banyak pihak menilai bahwa penggerebekan ini lebih bermotif politik, karena Narasi TV dikenal sering mengkritik kebijakan pemerintah.

Tidak hanya itu, semakin banyak media independen yang mengalami tekanan ekonomi. Beberapa mengalami pemutusan kerja sama iklan setelah memberitakan kasus-kasus sensitif. Ini adalah bentuk pembungkaman yang lebih “tidak kasat mata” tetapi sangat efektif: membiarkan media perlahan mati karena kekurangan dana.

Tapi apa yang terjadi jika pers dibungkam?

kita bisa melihat contoh negara-negara seperti Rusia atau Myanmar, di mana kebebasan pers diberangus demi mempertahankan kekuasaan. Di sana, suara kritis dianggap ancaman. Jurnalis tidak lagi dilihat sebagai penjaga demokrasi, melainkan musuh negara.

Indonesia, yang selama dua dekade terakhir dipuja sebagai negara demokratis terbesar di Asia Tenggara, kini menghadapi kemunduran serius. Laporan Reporters Without Borders (RSF) tahun 2024 menempatkan Indonesia di peringkat ke-108 dari 180 negara dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia. Turun signifikan dibandingkan tahun sebelumnya. Penurunan ini menunjukkan bahwa ancaman terhadap pers bukan sekadar insiden, melainkan sinyal sistemik.

Tak hanya secara global, kondisi ini juga berimbas ke tingkat lokal. Di Aceh, misalnya, para jurnalis menghadapi tekanan kultural dan politis yang berlapis. Sebuah laporan dari LBH Pers Aceh menunjukkan adanya peningkatan kasus pelarangan peliputan atas nama ‘menjaga martabat’ daerah. Beberapa wartawan lokal yang meliput isu-isu sensitif seperti syariat Islam, kekerasan aparat, atau konflik agraria, harus berhadapan dengan stigma, pengucilan, bahkan ancaman fisik.

Suara yang Mulai Padam di Kampus

Ironisnya, pembungkaman pers juga mulai merambat ke institusi pendidikan tinggi—tempat yang seharusnya menjadi benteng kebebasan akademik dan kebebasan berekspresi. Mahasiswa pers kampus yang berani menyuarakan kritik terhadap birokrasi kampus atau kebijakan pemerintah sering kali mendapat tekanan, baik dari dalam maupun luar institusi.

Kita tidak bisa melupakan kasus LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) Poros di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta yang mengalami sensor dari pihak rektorat karena menerbitkan liputan tentang isu pelecehan seksual yang melibatkan oknum dosen. Alih-alih didukung, mereka justru diminta menarik artikel dan menerima ancaman pembekuan organisasi.

Pers mahasiswa tidak kalah pentingnya dalam menjaga nalar kritis di ruang akademik. Ketika ruang-ruang demokrasi di luar semakin sempit, kampus seharusnya menjadi tempat di mana suara-suara alternatif dapat hidup dan tumbuh. Tapi jika pers kampus pun dibungkam, kepada siapa lagi mahasiswa bisa menyampaikan kebenaran?

Negara Harus Hadir

Kebebasan pers bukan barang mewah. Ia adalah bagian tak terpisahkan dari hak asasi manusia. Negara berkewajiban melindungi jurnalis, bukan malah menjadi pelaku atau pembiar intimidasi.

Pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap aparat yang terbukti melakukan kekerasan terhadap jurnalis. Penegakan hukum harus adil dan transparan. Tak ada lagi impunitas. UU ITE perlu direvisi, bukan sebagai alat kekuasaan, melainkan sebagai pelindung kebebasan berekspresi yang bertanggung jawab.

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Dewan Pers, hingga Mahkamah Konstitusi harus kembali pada semangat konstitusi: menjamin kebebasan pers, bukan membatasi. Jika tidak, maka negara telah gagal menjalankan salah satu mandat utamanya.

Penutup: Kebenaran Tidak Bisa Dibunuh

Kebenaran bisa disembunyikan. Tapi ia tidak bisa dibunuh. Selalu ada yang akan berdiri, mencatat, dan bersuara. Karena jurnalisme bukan hanya tentang berita—ini tentang keberanian, integritas, dan keadilan.

Bung Hatta pernah berkata: “Aku lebih suka melihat Indonesia tenggelam di dasar samudra daripada hidup sebagai bangsa yang kehilangan harga diri.” Dan hari ini, kita harus bertanya: apakah kita masih punya harga diri jika kita membiarkan suara-suara kritis dibungkam?

Kita membutuhkan jurnalis yang berani. Tapi lebih dari itu, kita membutuhkan masyarakat yang mendukungnya. Karena tanpa kebebasan pers, demokrasi hanya tinggal nama.

Penulis bernama Shafna, Mahasiswi Jurusan Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Syiah Kuala.

Editor : Khalisha Munabirah