Opini | DETaK
Buka Bersama (Bukber) merupakan salah satu tradisi yang tak pernah absen bagi orang yang menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Bagi mahasiswa, bukber bukan sekadar ajang mengisi perut setelah seharian berpuasa, tetapi juga kesempatan untuk berkumpul dengan teman-teman yang mungkin jarang ditemui karena kesibukan kuliah. Namun, yang menjadi pertanyaan, apakah bukber ini benar-benar bermanfaat atau justru menjadi beban bagi mahasiswa?
Bukber sering kali dianggap sebagai momen untuk mempererat silaturahmi. Kesibukan akademik yang padat membuat banyak mahasiswa sulit meluangkan waktu untuk sekadar bertemu dengan teman-temannya. Bukber pun menjadi alasan yang tepat untuk berkumpul, berbagi cerita, dan menghidupkan kembali kenangan lama.

Terkhusus bagi mahasiswa yang merantau selain sebagai pererat hubungan, bukber dapat menjadi obat rindu akan suasana rumah apalagi anak rantau sering berbuka puasa sendiri. Berkumpul dengan teman-teman dalam suasana yang hangat dapat memberikan kenyamanan tersendiri, mengurangi stres, serta menciptakan pengalaman yang berkesan selama bulan Ramadan.
Meski terdengar menyenangkan, tidak bisa dipungkiri bahwa bukber juga memiliki sisi lain yang kurang menguntungkan. Salah satunya adalah beban finansial. Sebagian besar bukber dilakukan di restoran atau kafe yang harganya mungkin tidak ramah di kantong mahasiswa. Jika undangan bukber datang hampir setiap hari justru pengeluaran akan boncos terutama bagi mereka yang harus mengatur uang saku dengan ketat.
Selain itu, bukber sering kali tidak berjalan sesuai rencana. Waktu yang dijanjikan untuk berkumpul yang tidak disiplin sehingga acara yang seharusnya sederhana malah memakan waktu berjam-jam. Bagi mahasiswa yang masih memiliki tugas atau kegiatan lain akan menimbulkan kendala berat.
Namun, ada kalanya bukber hanya menjadi sebuah formalitas atau bahkan ajang pamer seperti outfit, harta dan handphone. Bahkan tidak jarang mahasiswa yang hadir bukan karena ingin menikmati kebersamaan, tetapi hanya karena merasa sungkan jika tidak ikut atau takut dianggap tidak menghargai ajakan teman. Mirisnya, bukber kerap dijadikan tren sehingga orang yang mengikuti nya hanya karena Fear Of Missing Out (FOMO) yaitu suatu fenomena takut ketinggalan tren. Bukber yang semestinya menjadi momen penuh kehangatan pun bisa kehilangan esensinya dan berubah fungsi jika hanya dijalani sebagai kewajiban sosial belaka.
Untuk meminimalisir hal tersebut dan bukber tetap berjalan secara menyenangkan tanpa menjadi beban, mahasiswa bisa mencari cara agar bukber lebih bermakna. Misalnya, memilih tempat yang lebih terjangkau atau mengadakan bukber di rumah salah satu teman. Selain lebih hemat, ini juga menciptakan suasana yang lebih santai dan akrab. Selain itu, bukber bisa dikombinasikan dengan kegiatan sosial, seperti berbagi takjil atau menyantuni anak yatim. Dengan begitu, bukber tidak hanya kegiatan berkumpul tetapi juga memiliki nilai kebaikan yang lebih besar dan pastinya jauh lebih bermakna.
Penulis bernama Amirah Nurlija, mahasiswi Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Syiah Kuala.
Editor : Sara Salsabila