Sri Elmanita S | DETaK
Konflik Aceh meninggalkan luka di Cot Keng atau dikenal sebagai Bukit Janda, sebuah wilayah di Pidie Jaya. Minim literasi, memorialisasi dirancang untuk melawan lupa.
Nama Bukit Janda tersemat pada Gampong (desa) Cot Keng, bermula kala konflik Aceh membuncah kurun 1990 sampai 1992. Wilayah itu terletak di kaki bukit Ulee Glee, paling ujung dari kecamatan Bandar Dua, Kabupaten Pidie Jaya, sekitar 175 km timur Banda Aceh.
“Jalannya belum ada dua jalur, jalannya satu arah di tengah-tengah sawah, besar sekitar 3 meter gitu,” ucap Farida menggambarkan kondisi Cot Keng di masa lalu.
Farida Hariyani menjadi sosok yang berjuang dalam memberikan keadilan untuk janda di Gampong Cot Keng, saat ini ia menjabat sebagai Direktur Pengembangan Aktivitas Sosial Ekonomi Aceh (PASKA). Farida lahir di Ulee Glee, Kecamatan Bandar Dua, Kabupaten Pidie Jaya tahun 1966.
Sejarah Konflik Bukit Janda
Secara turun temurun, warga Gampong Cot Keng selalu membuat bubur kacang ijo untuk lebaran. Mereka merayakan kebahagiaan menyambut hari raya, sumbangan warga menjadi modal utama dalam pembuatan makanan itu.
“Pada saat itu, mereka kumpul-kumpul uang untuk lebaran, buat bubur kacang ijo,” ungkap Farida.
Uang yang dikumpulkan dari masyarakat desa dibuat dalam catatan. Kertas yang bertuliskan sumbangan, menjadi awal konflik di desa ini. Saat tentara menemukan kertas itu dan mengira sebagai sumbangan untuk Gerakan Pengacau Keamanan (GPK). “Tidak ada koordinasi, begitu mereka dapat kertas itu, cari terus nama-nama,” jelas Farida dengan nada yang tinggi.
Konflik mengakibatkan pembantaian, penyiksaan, dan penghilangan paksa, dipicu oleh dugaan kesalahpahaman Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam mendapatkan informasi. Saat itu hanya ada 21 Kepala Keluarga (KK) di Desa Cot Keng, dan terjadi pembantaian terhadap 12 KK.
“Tidak ada penyelidikan, langsung dibantai. Tidak ada pertanyaan apapun. Tidak ada cari tahu ke istri, misalnya suami ibu pernah gak ikut pelatihan,” tuturnya.
“Memang ada yang ditembak di situ, terus ada satu orang yang diambil ditembak ke Tringadeng Deah Teumamah, ada tiga orang yang kedapatan di sawah,” sambungnya mengingat-ingat cerita kelam itu.
Kepala keluarga lainnya yang pada saat itu sedang berada di luar desa, mendengar kabar bahwa telah terjadi kontak senjata. Mereka memilih kabur meninggalkan desa, merantau ke berbagai daerah di Indonesia.
“Istri dan anaknya juga gak tau mereka apakah ikut terbantai, apakah pergi. Keluarganya sudah buat hajatan seperti orang lain, sudah kenduri meninggal,” tuturnya.
Alat komunikasi yang terbatas membuat mereka tidak dapat mengabarkan kepergian kepada keluarga. Tersisalah dua orang laki-laki di Desa Cot Keng kala itu, satu orang kepala desa dan satunya lagi warga yang telah berusia lanjut.
Setelah konflik sudah mulai mereda di kawasan Pidie, delapan orang yang sempat pergi, kembali lagi ke desa. Ketika itu, Aceh berstatus sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Karena minimnya laki-laki di Cot Keng, tentara mempopulerkan wilayah itu dengan nama ‘Bukit Janda’.
Perjuangan Farida
Berawal dari keinginan Farida untuk membuka lapangan pekerjaan, ia ditawarkan oleh dosen pembimbingnya, Abdul Gani Nurdin (Alm.) untuk bekerja di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Yayasan Masyarakat Desa (Yadesa) sebuah yayasan yang memajukan ekonomi masyarat dengan membuat pelatihan bercocok tanam dan beternak.
“Saya ditunjuk sebagai salah seorang Community Officer (CO), jadilah saya seorang CO di Yadesa, saya bekerja pertama di situ sebagai petugas lapangan,” jelasnya.
Menjadi petugas lapangan di Bukit Janda membuatnya bertanya-tanya mengenai status yang diberikan itu, apalagi melihat kondisi masyarakatnya yang mayoritas perempuan. Janda-janda yang sebelumnya menggantungkan hidup pada suami untuk mencari nafkah, sekarang berbalik menjadikan mereka kepala rumah tangga yang membesarkan anak-anak. Berbagai pekerjaan mereka lakukan, bahkan ada yang hanya memperoleh pendapatan Rp3.500 sampai Rp4.000 perhari saat itu.
“Karena kita melihat memang janda-janda itu yang sangat polos dan lugu, dan tidak punya penghasilan lain. Mereka cuman naek ke gunung dengan waktu 8 jam dengan upah 3.500 saat itu, menurunkan kayu ilegal,” ungkap Farida.
Melihat janda-janda yang begitu memperjuangkan hidupnya, tetapi di sisi lain tidak ada keadilan bagi mereka terkait dengan pembantaian, penyiksaan, dan penghilangan paksa, Farida mulai untuk mencari tahu penyebab konflik ini terjadi. Ia bertanya dari satu janda ke janda lainnya dan mencari informasi ke berbagai pihak. Setelah enam bulan, ia berhasil mendapatkan data penuturan langsung dari korban tentang pelanggaran HAM yang terjadi.
“Kalau ada perlawanan itu tidak kita bilang orang ini dibantai, itu adalah proses perlawanan perang. Jadi keduanya punya kekuatan, punya senjata. Tapi kalau ini, sedikitpun tidak kelihatan,” tuturnya.
Setelah reformasi 1998, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengirimkan surat kepada seluruh LSM yang ada di Aceh. Pengiriman surat berlandaskan pada dampak konflik yang diterima oleh masyarakat Aceh. Yadesa salah satu LSM yang ditawarkan oleh LBHI Jakarta, “Siapa mau ni observasi ke Jakarta, karena kita dengar-dengar ini di Aceh kan ada pembantaian, ada kekerasan, siapa yang berani,” kata Farida terkait isi surat undangan itu.
“Jadi kami dari Yadesa mencoba memberanikan diri untuk ikut membawa dua janda ini kesana untuk membuktikan kepada negara bahwa ada kekerasan negara terhadap rakyat,” jelasnya.
Farida bersama Abdul Gani Nurdin begitu bersemangat untuk pergi menyuarakan keadilan ke Jakarta. Dua orang janda ikut sebagai penutur atas pelanggaran HAM yang terjadi. “Kami mendampingi di sana, yang terbongkar hanya itu, karena kita tahu latar belakangnya, kronologisnya, si korbannya mau mengungkapkan jadi di situlah kita berani untuk advokasi,’ ungkapnya menjelaskan kondisi dua janda tersebut.
Perjalanan mereka dari Banda Aceh ke Medan lalu ke Jakarta, terus didampingi oleh LBH, karena ada oknum-oknum yang memantau pergerakan mereka.
Saat sampai di Jakarta, ia diterima oleh Markas Besar (Mabes) Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), “Kami datang ke sana masih ada puing-puing kebakaran masih baru reformasi 1998, masih ada sisa-sisa konfliklah di Jakarta.”
Mereka tidur di rumah Munir Said Thalib di Bekasi. Jalan mereka tidak mudah. “Di Jakarta pun kita diusik, masuk ke Komnas HAM tidak diterima,” kata Farida. Penolakan ini berlandaskan pada pengakuan bahwa Komnas HAM baru berdiri tahun 1993, sedangkan kasus yang dibawa tahun 1991.
Malam kedua mereka di Jakarta, Ghazali Abbas Adan yang saat itu anggota DPR RI asal Aceh menjemput Farida, Abdul Gani Nurdin, dan kedua korban ke rumah dinasnya. Ghazali banyak membantu Farida dalam mendesak DPR RI, yang menghasilkan Tim Pencari Fakta (TPF) pada saat itu.
Hari Sabarno, Punawirawan TNI yang menjabat Ketua TPF turun ke Aceh, melihat secara langsung kondisi sesuai keterangan Farida dan dua janda. “Kalau saya tidak bisa membuktikan, saya juga dianggap orang yang wajib untuk dibunuh. Karena orang yang memfitnah negara. Itu menurut mereka,” ujar Farida.
Setibanya Hari Sabarno bersama Ghazali Abbas di Pidie, Farida bersama teman-temannya mengumpulkan para korban untuk datang ke Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Pidie. Berita itu menyebar begitu cepat dari mulut ke mulut sehingga gedung itu dipenuhi oleh 700 orang janda yang berasal dari berbagai daerah di Pidie.
“Saya sempat mengumpulkan. Karena mereka minta perwakilan, satu janda yang punya anak, satu yang dibantai yang dianya ditembak masih hidup tapi ada bekas, satu lagi yang diperkosa melahirkan anak, satu lagi tunanetra diperkosa, satu lagi rumahnya dibakar. Jadi, kelima-lima korban itu semua perwakilan dari korban yang lain,” jelasnya.
Lima orang janda diminta untuk menjadi perwakilan agar dapat mengungkapkan pelanggaran HAM yang terjadi kepada tim TFP. Sedangkan janda yang lain, menunggu di luar gedung.
“Bu, rugilah kalau kita gak dengar apa yang mereka ngomong,” melas mereka “Bisalah bu kita masuk,” ucap para janda, memohon. Saat itu polisi tidak mengizinkan, begitu juga DPR, dengan alasan tidak cukup kursi di dalam gedung.
“Pintu utama gedung DPR, satu dibuka, satu lagi ditutup. Di situlah berdiri polisi-polisi,” tuturnya. Farida membuat strategi agar para janda bisa masuk, ia meminta tolong Ghazali Abbas untuk membuka perekat bawah dan atas pintu yang tertutup itu. Farida membariskan para janda tersebut, Ghazali Abbas bersiap-siap membuka pintu dan massa menerobos ke dalam. Rombongan di depan, sekitar 50 orang, tumbang ke lantai. Mereka lalu duduk tertib di lantai.
Setelah lima orang korban menuturkan cerita mereka. Saat itu Farida melihat Hari Sabarno berkaca-kaca mendengarnya. “Pak Hari ini begitu mendengar, ia menunduk hanya beberapa menit. Sepertinya meneteskan air mata,” jelasnya. Setelah penuturan selesai, Farida mengajak Hari Sabarno untuk turun langsung ke lapangan.
“Apa lagi perempuan ini!, Ini kan saya sudah kelapangan! Lapangan apa lagi yang diinginkan,” kata Hari Sabarno membentak Farida.
“Gini pak, bapak kan banyak anak di sini. Bapak jauh-jauh dari sana gak lihat anaknya, sedihlah anaknya,” Farida merendahkan suaranya dengan sedikit manja.
“Yang mana anak saya,” kata Hari. “Banyak pak di pos-pos,” sahut Farida.
“Pos mana?” tanya Hari.
“Bapak mau? Itulah saya ajak ke situ, ada namanya Rumoh Geudong, itu yang tinggalnya semua Kopassus pak, anak-anak bapak semua dari Jakarta,” Farida mencoba mengajaknya.
Awalnya Hari Sabarno menolak, tapi pada akhirnya ia mau turun langsung. “Mereka kira jika sudah datang kemari dari Jakarta namanya turun lapangan, saya ajak mereka untuk mengunjungi kamp-kamp statis di Pidie,” ungkapnya.
Tim TPF yang terdiri dari 15 orang, dibagi menjadi dua tim. Satu mengunjungi pos pintu satu Tiro, satunya pos di Rumoh Geudong. “Kamu ikut saya!, Ghazali Abbas ikut tim satu lagi” ucap Hari Sabarno seperti dituturkan Farida.
Tim TPF ini berpencar dan melihat situasi langsung di tempat konflik terjadi. Mereka mendapati pelanggaran HAM yang terjadi berdasarkan paparan dari masyarakat setempat, dan juga melihat bekas-bekas penyiksaan di Rumoh Geudong. Mereka juga menggali kuburan-kuburan yang diduga sebagai korban dari penyiksaan.
Beberapa bulan setelah itu, 7 Agustus 1998, Panglima ABRI, Jenderal Wiranto mencabut status DOM (Daerah Operasi Militer) di Aceh.
KKR Membuat Memorialisasi
Awal tahun 2020, pihak Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh telah melakukan perencanaan disertai dengan sosialisasi pada masyarakat Cot Keng tekait pembuatan memorialisasi. Di bulan Februari, pelaksanaan memorialisasi telah disetujui oleh masyarakat. Proses pembuatan memorialisasi diawali dengan persetujuan dari perangkat desa, terutama korban dan keluarga korban. Setelah ada kesepakatan maka akan beralih pada persetujuan pihak pemerintah dari kecamatan sampai ke kabupaten.
“Jadi waktu itu, inisiatif saya dan kawan-kawan di kabupaten, kami mengambil waktu kapan bersedianya perangkat desa tersebut. Kami ambil malam selesai sholat magrib, karenakan Cot Keng itu mayoritas masyarakatya berkebun atau petani, setiap hari kecuali hari Jumat tidak ada di kampung. Saat itulah sosialisasi tahap awal,” jelas Koordinator Wilayah Pidie Jaya Zulmal Fhasya saat dijumpai langsung di kantor KKR Aceh (11/01/2021).
Dalam prosesnya, pada Maret 2020 didapatkan data dari 15 orang pemberi pernyataan, yang terdiri dari 11 orang perempuan dan 4 orang laki-laki, mereka sebagai korban, istri korban, dan adik korban. Berdasarkan data tersebut, diperoleh jenis pelanggaran yang diterima yaitu berupa penyerangan, penyiksaan, penahanan, pembunuhan, penghilangan harta benda dan penghilangan paksa. Di sisi lain, ada juga korban atau keluarga korban yang menolak memberi pernyataan.
“Imbasnya ketika kami yang ingin mengambil pernyataan, keluarga korban menolak, karena pada masa konflik ataupun paska damai banyak Lembaga Bantuan Hukum (LBH) datang ke situ ataupun mewakili-mewakili sebuah organisasi yang mereka mengambil data kemudian menjanjikan beberapa hal tetapi tidak dipenuhi,” ujarnya.
Sebutan “Bukit Janda” tenyata bukan hanya milik Cot Keng, wilayah lain di Aceh juga mengalami hal yang sama. Tahun 1976-1999 menjadi sejarah kelam betapa tingginya intensitas konflik di Aceh, yang menyebabkan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terjadi di berbagai tempat dengan pola yang berbeda tapi nasib yang sama. Mereka, para perempuan ditinggal oleh para lelaki yang terkena dampak konflik, sehingga ‘janda’ menjadi identitas yang melekat dalam diri mereka.
“Kampung Cot Keng mewakili dari banyak kampung di Aceh yang peristiwanya hanya perempuan yang tinggal di kampung,” awal cerita Wakil Ketua KKR Aceh Evi Narti Zein, saat ditanya tentang bukit janda di kantor KKR Aceh (11/01/2021).
“Hampir semua kabupaten pada masa konflik tinggi dulu, semua perempuan memang mengambil peran-peran yang itu ditinggal oleh laki-laki. Dan perempuan menjadi tulang punggung keluarga pada masa konflik dulu,” tutur Evi.
Melihat pada perspektif keadilan transisi yang merupakan upaya untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di masa lalu yang terdiri atas empat pilar yaitu hak atas kebenaran, hak atas keadilan, hak atas pemulihan dan jaminan ketidakberulangan. Hak atas kebenaran menjadi hal utama yang menimbulkan kewajiban bagi masyarakat untuk merawat ingatan dan pemulihan, salah satunya dengan memorialisasi. Dari itu memorialisasi dibuat di bukit janda ini.
“Ini pengetahuan umum, walaupun lambat laun itu juga jadi hilang kan. Nah, KKR masuk ke situ memperkuat dari apa yang pernah dilakukan oleh Civil Society Organization (CSO) dulu kayak kak Farida dan kawan-kawan lainnya. Bahwa memberikan sinyal disini sudah terjadi peristiwa pelanggaran HAM,” jelasnya.
Memorialisasi sebagai bentuk untuk mengingat peristiwa masa lalu, sebagai upaya untuk tidak akan terjadinya kejadian yang sama di kemudian hari, juga sebagai tempat pembelajaran, pengetahuan, pemulihan, dan pengakuan oleh negara bahwa kampung tersebut telah terjadi pelanggaran HAM.
Tugu dan mural menjadi memorialisasi yang dibuat di Cot Keng. Desain bentuk memorialisasi ini berlandaskan pada hasil musyawarah mufakat tim KKR Aceh dan masyarakat setempat.
“Khusus di muralnya itu ada beberapa perubahan, jadi ada item-item di gambar tersebut yang dihapus. Misalkan ide awalnya ada semacam pos tentara yang ada tentaranya juga. Cuma dikarenakan ini bisa membuat teringat masa lalu, karena kondisinya kan memang di jalan desa tu, jadi banyak warga yang melintasi kantor desa yang kita gambarkan di dinding kantor desa. Takutnya jika melihat gambar tersebut masyarakat ataupun kobran bisa trauma. Dari situlah inisiatif kepala desa untuk mengubah muralnya,” papar Fhasya terkait dengan perubahan muralnya.
Selain tugu dan mural yang menjadi pengingat terkait dengan konflik yang terjadi di Cot Keng, perangkat desa juga sudah menyediakan ruang yang akan dijadikan perpustakaan nantinya yang diisi dengan buku-buku HAM khusus buku konflik dan sejarah Aceh, yang ditujukan pada peningkatan literasi bagi masyarakat kampung terutama generasi muda. Tidak hanya sekedar membuat memorialisasi saja, KKR Aceh juga akan melakukan pengecekan secara berkala terhadap tugu dan mural tersebut.
KKR Aceh melakukan penyerahan prasasti memorialisasi di desa Cot Keng pada 20 Juli 2020. Dalam proses peresmiannya, dikarenakan pandemi Covid-19 hanya dilakukan secara simbolis saja.
“Masyarakat ingin kenduri, doa bersama. Kami sudah mempersiapkan beberapa korban yang ingin bersaksi di acara tersebut, tapi karena pandemi, acara kami laksanakan hanya secara simbolis. Perwakilan dari kecamatan, kabupaten, TNI, polisi datang ke tempat tersebut untuk pesijuk,” tutur Fhasya.
Seiring perkembangan zaman, Cot Keng telah berubah dari segi penampilannya, sekarang sudah dilakukan pembangunan infrastruktur desa, warung kopi, dan penduduknya juga sudah ramai.
Terkait dengan pemulihan para korban, Evi menyatakan “Orang Aceh rata-rata memulihkan dirinya sendiri.” Berdasarkan data dalam proses pengambilan pernyataan yang telah ia lakukan selama ini, terkait dengan pemulihan para korban ternyata berpengaruh besar pada kedekatan dengan tuhan, kepercayaan pada agama, dukungan keluarga, dukungan masyarakat setempat, dan dukungan orang-orang yang dicintai yang masih ada itu yang membuat korban maupun keluarga korban menjadi kuat.
Mengakui minimnya literasi HAM, Evi menambahkan “Literasi sangat penting, literasi terkait dengan HAM belum semasif lainnya.” Perencanaan tekait dengan literasi HAM ini akan KKR lakukan salah satunya dengan interpensi kepada dinas pendidikan agar dijadikan suatu kurikulum mengenai pengetahuan konflik aceh dalam segi dampak serta penanganannya. Selain itu, ada harapan untuk mendorong terbentuknya museum perdamaian dan pelanggaran HAM di Aceh.
Baca juga : Pentingnya Literasi HAM di Aceh
“Ketika orang diam, maka sejarahnya ikut diam bersama dengan matinya orang tersebut,” ungkapnya tekait dengan masih banyaknya korban atau keluarga korban yang tidak mau diambil pernyataan terkait dengan pelanggaran HAM yang terjadi pada mereka.
Membuka lagi sejarah di masa lalu, jika dilihat dari segi korban pelanggaran HAM yang begitu banyak dan masih belum terselesaikannya semua sampai saat ini menjadi poin penting untuk meredam terjadinya keberulangan. “Kami ingin semua peristiwa yang pernah terjadi di Aceh itu diketahui oleh semua orang, sehingga menjadi pembelajaran. Korban yang dulu jika diam saja, maka dia akan mewarisi peristiwa yang sama kepada anak cucunya,” lanjutnya.
Evi juga menjelaskan terkait dengan tugas KKR, “Tugas KKR dikunci dengan tiga hal, pengambilan pernyataan atau pengungkapan kebenaran yang mekanismenya itu dengan mendengarkan korban melakukan analisis. Kemudian melakukan laporan akhir, yang kemudian merekomendasi reparasi atau pemulihan salah satunya memorialisasi, dan memfasilitasi proses rekonsiliasi,” jelasnya.
Rekonsiliasi menjadi upaya untuk menyatukan pelaku dan korban agar saling memaafkan, dengan tujuan membangun kohesi sosial yang telah pecah karena konflik.
“Orang yang ingin angkat senjata memikirkan lagi, dulu aja korbannya udah berapa puluh ribu orang, sekolah-sekolah dibakar, pendidikan terhambat,” tambahnya. []
Note: Penulis adalah penerima fellowship dari pelatihan HAM, media dan keadilan transisi yang diselenggarakan oleh AJI Banda Aceh, KontraS Aceh, LBH Banda Aceh dan AJAR.
Editor: Cut Siti Raihan