Beranda Feature 17 Tahun Berlalu, Ingatan tentang Tsunami Masih Melekat

17 Tahun Berlalu, Ingatan tentang Tsunami Masih Melekat

BERBAGI
Ilustrasi. (Selma Alifah/DETaK)

Selma Alifah | DETaK

“Pas air tu datang, memang saya gak ngerasain. Tapi bukan cuma saya, bahkan satu dunia pun ikut berduka.”

Lelaki yang duduk di bangku itu berusia lima puluh delapan tahun. Dengan kacamata terpasang di wajahnya, ia terus menatap atap-atap rumah berwarna putih yang usang.

Iklan Souvenir DETaK

Abdul, mungkin tidak pernah menyangka hari itu ia harus mendengar kabar duka dari kampung halamannya, Banda Aceh. Pagi itu, sinar matahari menembus pohon rindang di depan halaman rumahnya yang berada di Blang Rayeuk, Lhokseumawe. Satu demi satu kayu-kayu yang bertumpuk di sebelahnya, diolah menjadi lemari dalam ruang kerjanya yang hanyalah sebuah garasi.

“Sekitar jam delapan hari Minggu itu, tiba-tiba gempa. Saya, istri, sama dua anak saya. Itu semua orang lari ke tengah lapangan di depan rumah. Karna saya tau di Banda Aceh kena, saya coba telepon adik saya di Banda Aceh. Tapi 5 menit ngomong, langsung putus karna jaringan hilang. itu sampai besok gak ada kabar apapun,” ungkapnya.

Satu setengah hari tanpa kabar, Abdul mengaku gelisah dengan keluarga adiknya di Banda Aceh. Malam kedua, ia dan adik laki-lakinya yang juga tinggal di Lhokseumawe, menumpang mobil kenalannya, Aris, yang saat itu juga hendak berangkat ke Banda Aceh untuk mencari saudaranya.

“Malam berangkat, subuhnya udah sampai Bireuen. Kami berlima waktu itu, saya, adik saya, Aris, sama dua saudaranya. Sampai Bireuen kami beli makanan, mie, roti, air minum, semua-semua. Sampai Sigli, kami beli minyak tanah. Itu ga semuanya kena tsunami jadi sebagian toko buka,” jelas Abdul. Tangannya bergerak ke sana ke mari menceritakan perjalanannya.

Teringat jelas ketika ia sampai di kampung halamannya itu, ia hanya bisa melihat dari balik kaca mobil. Tepat di simpang Lambaro, daratan kering itu menjadi tempat dikumpulkannya jenazah-jenazah korban tsunami yang sebelumnya dibawa dari berbagai tempat di sekitarnya.

“Saya nggak turun dari mobil, itu di Lambaro kering, Cuma banyak kayu-kayu, seng, sampah sampah di jalan. Di situ mayat bertumpuk-tumpuk warnanya udah berubah, udah gak bisa dikenalin lagi. Si Aris turun mau cari saudaranya, saya bilang ‘Aris, naik dulu, Ris. Gak bisa kita cari di situ’. Karna kan kondisinya kami ni gatau saudara dia sama adik saya tu selamat atau enggak.”

Sepanjang perjalanan menuju rumah di mana ia dibesarkan, Abdul melihat di sekitarnya, bagaimana puing-puing bangunan yang sudah hancur, jenazah di sepanjang jalan, dan mobil-mobil yang sudah rusak. Dalam satu hari, tsunami yang gempanya dirasakan oleh kurang lebih 11 negara itu, merubah Kota Banda Aceh.

“Sampai masjid dekat rumah, ada anak kecil balita. Dia pakai celana merah. Badannya udah kaku, penuh lumpur. Itu saya langsung teringat keponakan masih kecil-kecil,” ungkapnya. terlihat di balik kacamata, mata Abdul mulai berair. Pandangannya mengarah ke langit-langit ruangan.

Lorong dua jalur menuju rumahnya dipenuhi lumpur hitam setinggi betis. Mau tidak mau, ia harus turun berjalan untuk sampai ke rumah. Banyak kayu dan besi yang dapat melukai kaki, harus ia lewati untuk sampai tujuan. Ia mengaku sedikit lega ketika bertemu iparnya yang hendak membeli minyak tanah dari warga. Tanpa meminta bayaran, minyak 1 liter itu diberikan gratis kepada warga-warga yang membutuhkan. Dalam kondisi seperti ini, Abdul menjelaskan, bahwa semua orang tidak memikirkan uang lagi. Warga saling membantu dengan apa yang mereka miliki.

“Sampai rumah itu saya ketemu keluarga adik, Alhamdulillah semuanya selamat. Gak ada apapun. Keponakan kecil-kecil kelaparan semua. Kami langsung masak mie di lantai atas karna ada kompor kan, terus orang itu makan semuanya,” jelas Abdul mencontohkan bagaimana keponakan-keponakannya makan dengan lahap.

Malam tiba, ia menginap di sana. Kota Banda Aceh seperti kota tak berpenghuni. Hanya ada lolongan anjing dan kuatnya aroma amis yang menusuk dari lantai bawah.

“Besok paginya dapat tumpangan yang juga mau pulang ke Lhok naik truk. Gratis juga. Keluarga adik ngungsi semua ke sana. Pas air tu datang, memang saya gak ngerasain. Tapi bukan cuma saya, bahkan satu dunia pun ikut berduka.” []

Editor: Della Novia Sandra