Artikel | DETaK
Di tengah derasnya arus globalisasi dan dominasi bahasa asing, posisi bahasa Indonesia di lingkungan kampus menghadapi tantangan baru. Bahasa yang dahulu menjadi simbol persatuan kini sering kali tersisih dalam percakapan sehari-hari maupun kegiatan ilmiah. Padahal, kampus sebagai pusat ilmu pengetahuan seharusnya menjadi ruang di mana bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang secara sehat, baik dalam konteks akademik maupun non akademik.
Bahasa Indonesia dan Fungsi Akademiknya

Bahasa Indonesia memiliki kedudukan strategis sebagai bahasa negara dan bahasa pengantar resmi dalam pendidikan tinggi. Dalam konteks akademik, bahasa Indonesia berfungsi sebagai alat komunikasi ilmiah: menyampaikan ide, menulis karya tulis, berdiskusi, hingga mempresentasikan hasil penelitian. Bahasa Indonesia yang baik dan benar menjadi kunci agar gagasan ilmiah dapat dipahami secara jelas dan logis.
Namun realitas di kampus sering kali berbeda. Banyak mahasiswa dan dosen yang lebih memilih menggunakan istilah asing, bahkan mencampur adukkan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris. Fenomena ini bukan tanpa alasan, bahasa Inggris dianggap lebih modern dan prestisius terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kata-kata seperti update, submit, deadline, atau research sudah menjadi bagian dari percakapan sehari-hari di ruang kuliah.
Meski wajar di era global, kebiasaan tersebut dapat mengaburkan kemampuan mahasiswa untuk menyampaikan ide secara baik dalam bahasa Indonesia. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa banyak mahasiswa kesulitan menulis karya ilmiah yang sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia, terutama dalam hal struktur kalimat, diksi, dan kohesi antarparagraf.
Masalah ini menandakan adanya kesenjangan antara kemampuan berbahasa akademik dan kebiasaan berbahasa sehari-hari. Padahal, penulisan akademik tidak hanya soal menyusun kata, tetapi juga soal berpikir terstruktur dan ilmiah. Ketika kemampuan bahasa Indonesia akademik menurun, kualitas penalaran ilmiah pun ikut terpengaruh.
Bahasa Indonesia dan Fungsi Nonakademiknya
Berbeda dengan dunia akademik yang menuntut formalitas, kehidupan nonakademik di kampus justru menjadi ruang kebebasan berbahasa. Mahasiswa berinteraksi secara santai, baik secara langsung maupun melalui media sosial. Di sinilah bahasa Indonesia tampil dalam wujud yang lebih cair, penuh kreativitas, bahkan sering kali diwarnai oleh campuran bahasa lain.
Ungkapan seperti “gas lah!”, “anjir parah banget”, “aku skip kelas”, atau “lagi insecure nih” adalah potret nyata bahasa nonakademik mahasiswa masa kini. Campur kode (percampuran dua bahasa) dan alih kode (perpindahan bahasa dalam satu konteks) sudah menjadi hal yang lumrah. Penggunaan bahasa daerah seperti Aceh, Jawa, atau Sunda juga memperkaya dinamika komunikasi di kampus.
Secara linguistik, fenomena ini menarik karena menunjukkan bahwa mahasiswa memiliki kompetensi berbahasa yang tinggi, mereka mampu menyesuaikan ragam bahasa sesuai konteks dan lawan bicara. Dari sisi pembinaan bahasa, kondisi ini bisa menjadi alarm. Jika kebiasaan berbahasa tidak disertai kesadaran situasi maka batas antara bahasa formal dan informal akan semakin kabur. Akibatnya penggunaan bahasa Indonesia baku dalam kegiatan resmi bisa tergeser oleh kebiasaan berbahasa santai.
Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Pola Berbahasa
Ada beberapa faktor yang menyebabkan perbedaan dan pergeseran penggunaan bahasa Indonesia di lingkungan kampus:
1. Pengaruh globalisasi dan teknologi.
Internet dan media sosial telah menciptakan budaya komunikasi yang serba cepat dan informal. Bahasa Indonesia yang digunakan di platform digital seperti Instagram, TikTok, dan X (Twitter) sering kali lebih ringkas dan dipenuhi istilah asing.
2. Sikap bahasa masyarakat kampus.
Banyak mahasiswa yang merasa bahwa menggunakan bahasa Indonesia baku terkesan “kaku” atau “kurang gaul”. Sebaliknya, memakai campuran bahasa Inggris dianggap lebih modern dan keren.
3. Kurangnya penekanan pada pembinaan bahasa.
Tidak semua perguruan tinggi memberikan perhatian serius pada pelatihan penulisan akademik dalam bahasa Indonesia. Akibatnya kemampuan berbahasa baku tidak berkembang seiring kemajuan intelektual mahasiswa.
4. Pengaruh bahasa daerah.
Kampus adalah tempat pertemuan berbagai latar budaya. Bahasa daerah sering kali terbawa ke dalam percakapan sehari-hari, menciptakan variasi baru dalam bahasa Indonesia kampus.
Mencari Titik Seimbang dalam Berbahasa Indonesia
Mencintai bahasa Indonesia bukan berarti menolak bahasa asing. Dalam dunia akademik modern, penguasaan bahasa asing seperti Inggris justru sangat penting. Namun yang penting untuk ditekankan adalah keseimbangan. Bahasa Indonesia tetap menjadi alat utama untuk berpikir dan menulis ilmiah, sementara bahasa asing berfungsi melengkapi kebutuhan komunikasi global.
Kampus bisa menjadi contoh nyata keseimbangan itu. Misalnya dalam seminar internasional, bahasa Inggris digunakan untuk presentasi tetapi laporan dan publikasi akhir bisa tetap dalam bahasa Indonesia. Dosen dapat mencontohkan penggunaan istilah asing yang benar tanpa menghilangkan padanan Indonesia-nya. Mahasiswa pun perlu diajak untuk menulis karya ilmiah berbahasa Indonesia yang bermutu sehingga bahasa ini tetap menjadi bahasa ilmu pengetahuan, bukan sekadar bahasa percakapan.
Peran Kampus dalam Pembinaan Bahasa
Sebagai lembaga pendidikan tinggi, kampus memiliki tanggung jawab besar terhadap kelestarian dan pengembangan bahasa Indonesia. Beberapa langkah yang bisa dilakukan antara lain:
1. Meningkatkan pelatihan kebahasaan
Kampus dapat mengadakan pelatihan penulisan ilmiah, lokakarya ejaan, atau lomba karya tulis berbahasa Indonesia.
2. Menerapkan kebijakan penggunaan bahasa baku
Surat resmi, laporan kegiatan, dan publikasi kampus sebaiknya ditulis menggunakan bahasa Indonesia yang benar.
3. Menumbuhkan kebanggaan berbahasa
Mahasiswa perlu disadarkan bahwa berbahasa Indonesia dengan baik bukan tanda kuno, tetapi bukti intelektualitas dan nasionalisme.
4. Memadukan formalitas dan kreativitas
Kegiatan seperti Hari Bahasa Indonesia, festival sastra kampus, atau pementasan teater berbahasa Indonesia bisa menjadi ruang ekspresi yang positif.
Penutup
Bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga cermin cara berpikir. Di kampus, di mana ide dan ilmu berkembang, kualitas bahasa mencerminkan kualitas intelektual penggunanya. Bahasa Indonesia harus tetap menjadi bahasa utama dalam berpikir dan menulis, tanpa menutup diri dari pengaruh bahasa lain.
Sudah saatnya civitas akademika memandang bahasa Indonesia bukan sekadar pelajaran wajib, melainkan bagian dari tanggung jawab moral dan kebangsaan. Menjaga bahasa Indonesia berarti menjaga warisan budaya, menjaga cara berpikir, dan menjaga identitas kita sebagai bangsa yang berilmu dan berkarakter.
Penulis bernama Ahdiar, Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Syiah Kuala.
Editor: Amirah Nurlija Zabrina