Beranda Artikel Memahami Sejarah Awal Konflik Palestina-Israel

Memahami Sejarah Awal Konflik Palestina-Israel

BERBAGI
Ilustrasi. (Zarifah Amalia (AM)/DETaK)

Artikel | DETaK

Baru-baru ini, dunia kembali dihebohkan dengan pecahnya konflik antara Palestina dan Israel yang merubah wajah media-media massa dan media sosial menjadi ladang berita kemanusiaan terkait perang yang memuncak. Diawali dengan serangan dari Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023 lalu, menyebabkan Sekitar 1.400 warga Israel tewas dan sekitar 240 lainnya disandera. Hal ini menyebabkan Israel menyatakan perang kepada Palestina dan hingga kini, sudah lebih dari satu bulan lamanya, Israel melancarkan serangan udara ke Gaza dan mengirim pasukan tempur mereka memasuki daerah itu. Israel menyatakan akan terus menggelar operasi militer sampai Hamas benar-benar hancur. Sejauh ini, operasi militer Israel diperkirakan telah menewaskan lebih dari 10.800 warga Gaza, dan 4.400 di antaranya adalah anak-anak.

Namun, sebenarnya konflik antara Palestina dan Israel sudah terjadi jauh sebelum serangan Hamas 7 Oktober 2023 lalu. Bahkan konflik ini sudah berlangsung lebih dari 100 tahun. Tepatnya pada tanggal 2 November 1917 saat mentri luar negeri Inggris, Arthur Balfour, menulis surat yang berisi deklarasi yang mengumumkan dukungannya terhadap pendirian ‘rumah nasional’ atau Negara terhadap orang-orang Yahudi di Palestina, disinilah awal mula terjadinya konflik Palestina dan Israel. Namun jika kita mundur sedikit ke belakang, kita dapat lihat bahwa konflik ini lebih kompleks dari sekedar faktor politik atau agama, konflik ini melibatkan sejumlah  faktor sejarah, sosial, dan isu kemanusiaan.

Iklan Souvenir DETaK

Awal mula pemukiman Yahudi di Palestina

Ratusan tahun yang lalu, bangsa Yahudi atau orang-orang Israel saat ini tidak memiliki Negara, mereka tersebar di seluruh dunia. Dan dulunya tanah Palestina dikuasai oleh kerajaan Ottoman dari tahun 1517-1917, namun saat kekhalifahan Ottoman runtuh tahun 1918 atau pada perang dunia I, tanah  Palestina dikuasai Iggris, saat itu bangsa yahudi hanyalah kaum minoritas dengan hanya 6% dari total penduduk di Palestina.

Tapi jauh sebelum perang dunia I terjadi, pada tahun 1897, seorang tokoh yahudi bernama Theodor Herzl menyarankan untuk dibentuknya Negara Yahudi di Palestina karena Setelah terjadinya  peristiwa Dreyfus tahun 1894 dan mendengar banyaknya berita yang beredar tentang penindasan terhadap kaum Yahudi di wilayah kekaisaran Russia dan sebagian Eropa Timur, Herzl berkeinginan untuk mendirikan negara berdasarkan ras Yahudi sendiri. Ia menerbitkan der Judenstaat (Negara Yahudi) tahun 1896 dan diejek banyak orang Yahudi yang tinggal di Eropa Barat, wilayah di mana orang Yahudi hidup dalam kemakmuran. Herzl mengusulkan program untuk mengumpulkan dana dari orang Yahudi untuk merealisasikan cita-citanya (ketika terbentuk organisasi ini disebut Zionisme), karena ia merasa bahwa bangsa Yahudi harus memiliki negaranya sendiri agar terbebas dari penindasan dan pembantaian.

Ia meminta bantuan dana dari orang-orang kaya Yahudi seperti Baron Hirsch dan Baron Rotschild, namun percuma. Walaupun begitu akhirnya ia bisa menyelenggarakan Kongres I Zionis di Basel, Swiss tahun 1897. Dalam delegasi itu ia mengemukakan Program Basel. Pada kongres itu ia diangkat jadi pemimpinnya. Herzl berkeliling ke Mandat Inggris PalestinaIstanbul, dan Jerman untuk mencari dukungan namun gagal. Saat berada di Istanbul, ia sempat mencoba menawari Sultan Abd-ul-Hamid II, yang saat itu memimpin kekhalifahan Ottoman,  dengan uang 35 juta lira emas, menjanjikan membangun benteng pertahanan bagi Kesultanan Utsmaniyah dan pelunasan utang luar negeri agar ia mencabut larangan bagi Yahudi untuk menetap di Palestina, tetapi tawarannya ditolak. Bangsa Yahudi yang menginginkan daerah bekas kerajaan Nabi/Raja Daud dijadikan Negara Yahudi kembali harus memikirkan cara lain untuk mendirikan negara Israel di atas tanah Yahudi.

Tepat saat setelah perang dunia I tahun 1918, kekaisaran Ottoman runtuh dan jatuh ke tangan Inggris. Setalah dikuasai Inggris, Liga Bangsa-Bangsa mengeluarkan mandat kepada Inggris untuk Palestina, mandat itu tertuang pada sebuah dokumen yang memberikan Inggris kontrol terhadap administrasi atas kawasan Palestina termasuk ketantuan mendirikan tanah air nasional Yahudi di Palestina.

Perjanjian Balfour tahun 1917

Pada tanggal 2 November 1917 terdapat sebuah perjanjian yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Inggris untuk mendukung pendirian ‘rumah nasional’ bagi orang-orang Yahudi di Palestina. Deklarasi Balfour adalah janji publik Inggris pada yang disampaikan dalam bentuk surat dari Menteri Luar Negeri Inggris saat itu, yakni Arthur Balfour.

Surat perjanjian itu ditujukan kepada Lionel Walter Rothschild, seorang tokoh komunitas Yahudi Inggris. Surat dibuat selama Perang Dunia I (1914-1918) dan termasuk dalam ketentuan Mandat Inggris untuk Palestina setelah pembubaran Kesultanan Ottoman. Secara sistem, surat ini merupakan mandat yang dibentuk oleh negara-negara Sekutu. Namun kenyataannya, perjanjian ini adalah bentuk kolonialisme dan pendudukan yang terselubung. Sistem ini mengalihkan kekuasaan dari wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh negara-negara yang kalah dalam perang (Jerman, Austria-Hongaria, Kekaisaran Ottoman, dan Bulgaria) kepada pihak yang menang.
Tujuan yang dinyatakan dari sistem mandat ini adalah untuk memungkinkan para pemenang perang untuk mengelola negara-negara baru sampai mereka bisa merdeka.
Namun di tanah Palestina, cukup berbeda dengan mandat-mandat lain pascaperang. Karena, tujuan utama Mandat Inggris adalah untuk menciptakan kondisi bagi pembentukan “rumah nasional” Yahudi, di mana jumlah orang Yahudi kurang dari 10 persen dari populasi pada saat itu.

Inggris Memfasilitasi Imigrasi Orang Yahudi Eropa ke Palestina
Selama awal-awal menjalankan mandat, Inggris mulai memfasilitasi imigrasi orang Yahudi Eropa ke Palestina secara bertahap. Hingga kemudian antara tahun 1922 dan 1935, populasi Yahudi meningkat dari sembilan persen menjadi hampir 27 persen dari total populasi. Dalam Deklarasi Balfour memuat peringatan bahwa “tidak boleh dilakukan apa pun yang dapat merugikan hak-hak sipil dan agama komunitas non-Yahudi yang ada di Palestina”. Namun, pada kenyataannya, mandat Inggris dibuat dengan cara membekali orang-orang Yahudi dengan alat untuk membangun kemandirian. Termasuk memerintah dengan mengorbankan orang-orang Arab Palestina. Kala itu, kelompok bersenjata Zionis, yang dilatih oleh Inggris, secara paksa mengusir lebih dari 750.000 warga Palestina dari tanah air mereka.

Perlawanan pun muncul selama 1936 sampai 1969 yang dikenal dengan “ The  Great Arab Revolt in Palestine”, tuntutan palestina hanya satu yaitu populasi yahudi eropa di tanah mereka mesti dikontrol. Namun perlawanan palestina dihadang oleh aparat Israel yang dibekingi inggris. Penggusuran kian massif saat “Plan dalet” resmi diberlakukan pada akhir 1947, ‘Plan Dalet’ adalah sebuah rencana militer Zionis yang dilaksanakan pada fase perang saudara pada perang Palestina tahun 1948 untuk penaklukan wilayah di Wajib Palestina sebagai persiapan pendirian negara Yahudi.  Rencana tersebut diminta oleh pemimpin Badan Yahudi dan kemudian menjadi perdana menteri pertama Israel David Ben-Gurion , dan dikembangkan oleh Haganah dan diselesaikan pada 10 Maret 1948. ini marupakan strategi pengusiran warga palestina malalui penghancuran, pembakaran, serta pengebomankampung-kampung warga palestina. Sebanyak 350 kampung dan kota palestia hnacur lebur, 15.000 warga palestina terbunuh, dan 750.000 warga palestina terusr dari tanah leluhur mereka. Semua terjadi hanya dalam kurun waktu dua tahun (1947-1949). Oleh masyarakat palestina, hal tersebut merupaka sebuah tragedy yang paling mengerikan dan mereka menyebutnya sebagai “Nakba” yang berarti ‘malapetaka’.

Rencana Pemisahan PBB untuk Palestina

Pada tahun 1948, PBB membuat proposal perdamaian untuk Arab dan Yahudi di Palestina, yaitu dengan membuat pembagian wilayah Palestina sehingga terbentuk negara Arab dan Yahudi secara terpisah. Proposal perdamian yang dikenal dengan UN Partition Plan ini berisi pembagian wilayah Palestina sebesar 55% untuk Negara Yahudi, dan 45% sisanya untuk negara Arab. Secara demografis, komunitas Yahudi hanya ada sekitar 27% dari seluruh penduduk Palestina sedangkan sisanya merupakan penduduk bangsa Arab yaitu orang Palestina.

Dengan adanya ketidakseimbangan antara jumlah penduduk dengan jumlah wilayah yang diberikan oleh PBB, protes dari bangsa Arab pun bermunculan. Kemarahan bangsa Arab pun semakin tersulut setelah bangsa Yahudi memproklamasikan berdirinya Negara Israel, dan berdirinya Negara tersebut pun mendapat pengakuan dari Uni Sovuet dan Amerika Serikat. Setalah kemerdekaan Israel, Wilayah Palestina hanya disisakan dua yaitu Gaza dan Tepi Barat, dan pendudukan terhadap wilayah Palestina semakin genjar dilakukan, bahkan ke wilayah yang tidak termasuk dalam rencana PBB.

Peperangan pun pecah antara bangsa Arab di Palestina dengan Israel pada tahun 1948. Namun, bangsa bangsa Palestina yang didukung oleh Negara-negara Arab di sekitarnya kalah melawan Israel. Peperangan besar lainnya terjadi pada than 1967, masih antara Israel dan Negara-negara Arab (Mesir, Yordania, Suriah, dan Libanon). Perang yang dikenal dengan nama six days war ini kembali dimenangkan oleh Israel, dna tidak hanya itu, Israel berhasil merebut wilayah Gaza dan Semenanjung Sinai dari Mesir, Jerussalem Timur dan Tepi Barat Yordania, serta Daratan Tinggi Golan dari Suriah. Dapam dari perang ini, wilayah yang dimili bangsa Palestina semakin mengecil.

Usaha untuk Mencapai Perdamaian

Pada 1974, siding pbb menyatakan hak rakyat palestina untuk membela diri, kembali ke tanah mereka dan merdeka. Dalam siding pbb ditunjuk pula perwakilan resmi rakyat palestina yakni plo, tapi pendudukan Israel ke wilayah palestina tidak seketika berhenti. Anya dalam rentang 1967 sampai 1979, Israel telah membangun 113 komlek permukiman khusus yahudi. Sebanyak 79 di tepi barat dan 7 di gaza. Perlawanan palestina kembali menggelora lewat intifada I (1987), perlawanan ini membuat ratusan warga palestina ditangkap pasukan israel, ribuan terbunuh, dan puluhan ribu lainnya luka-luka. Pada 1993, Israel dan palestina duduk di meja perundingan, sebuah resolusi two state solution denagn nama perjanjian oslo dimunculkan. Cabinet pemerintahan palestina lahir serta berkuasa di gaza dan tepi barat.

Pada tahun 1988, Palestina dideklarasikan sebagai sebuah negara, meskipun pada tahun-tahun berikutnya PLO (Palestine Liberation Organization) tetap menjadi wakil Palestina untuk berjuang di forum internasional karena status Palestina sebagai negara yang berdaulat belum diakui secara internasional. Sejak saat itu konferensi perdamaian antara Israel dan Palestina mulai marak dilakukan oleh negara-negara besar, seperti Amerika Serikat dan Rusia. Pada tahun 1991 dilakukan Madrid Conference, dilanjutkan dengan konferensi perdamaian Oslo Accords pada tahun 1993, serta Hebron Agreement dan Wye River Memorandum. Tapi, perjanjian itu, sekali lagi, tidak menghentikan ekspansi permukiman yahudi Israel di kampong-kampung palestina. Kondisi ini membuat rakyat palestina kembali melawan dan kelak dikenal sebagai intifada II yang meletus pada 2000.

Amerika Serikat kembali berupaya melakukan mediasi bagi perdamaian Israel dan Palestina dengan mengadakan pertemuan Camp David pada tahun 2000. Namun, pertemuan antara Bill Clinton, Ehud Barak, dan Yasser Arafat tersebut kembali tidak menghasilkan kesepakatan atau solusi perdamaian apa pun. Pada tahun 2007 kembali diadakan konferensi untuk membicarakan perdamaian Israel dan Palestina di Annapolis. Namun, kesepakatan perdamaian hasil dari Annapolis Conference juga masih belum diimplementasikan oleh kedua negara. Pascatahun 2007, konflik antara Israel dan Palestina justru semakin rumit.

Konflik yang Tidak Memiliki Ujung

Israel telah melancarkan empat serangan militer berkepanjangan di Gaza yakni di tahun 2008, 2012, 2014 dan 2021. Ribuan warga Palestina telah terbunuh, termasuk banyak anak-anak, dan puluhan ribu rumah, sekolah, dan gedung perkantoran telah hancur. Pembangunan kembali hampir mustahil dilakukan karena pengepungan tersebut menghalangi material konstruksi, seperti baja dan semen, mencapai Gaza. Serangan tahun 2008 melibatkan penggunaan senjata yang dilarang secara internasional, seperti gas fosfor.

Pada 2014, dalam kurun waktu 50 hari, Israel membunuh lebih dari 2.100 warga Palestina, termasuk 1.462 warga sipil dan hampir 500 anak-anak. Selama serangan tersebut, sekitar 11.000 warga Palestina terluka, 20.000 rumah hancur dan setengah juta orang mengungsi. Dan perang  tebaru yakni Agresi Israel yang meletus sejak 7 Oktober 2023 lalu  hingga saat ini. []

Penulis adalah Zarifah Amalia, Mahasiswi jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Syiah KualaIa juga merupakan anggota magang di UKM Pers DETaK.

Editor: Aisya Syahira