Beranda Artikel Dinamika Ekonomi: Kenapa Banyak Perusahaan di Indonesia Bangkrut?

Dinamika Ekonomi: Kenapa Banyak Perusahaan di Indonesia Bangkrut?

BERBAGI
Grafis. (Natasya Syahira/DETaK)

Artikel | DETaK

Kebangkrutan perusahaan-perusahaan besar di Indonesia bukanlah fenomena yang baru, namun belakangan ini semakin sering menghiasi pemberitaan media. Dari perusahaan tekstil raksasa, pabrik sepatu, hingga bank perkreditan rakyat (BPR), banyak perusahaan yang tak mampu bertahan di tengah ketatnya persaingan dan perubahan ekonomi yang terus berkembang. Namun, apa yang sebenarnya menyebabkan perusahaan-perusahaan ini bangkrut? Adakah faktor eksternal yang memengaruhi ataukah kesalahan manajerial internal yang menjadi penyebab utama?

Ketatnya Persaingan dan Perubahan Pola Konsumsi

Iklan Souvenir DETaK

Salah satu faktor utama yang menyebabkan kebangkrutan perusahaan di Indonesia adalah ketatnya persaingan pasar. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak perusahaan yang tidak mampu beradaptasi dengan tren baru dan perubahan pola konsumsi masyarakat. Sebagai contoh, PT Sepatu Bata Tbk, salah satu pemain besar di industri sepatu Indonesia, terpaksa menutup beberapa pabriknya akibat kerugian yang tak tertanggungkan. Perubahan gaya hidup konsumen pasca-pandemi, yang cenderung lebih memilih belanja daring dan tren sepatu yang lebih praktis, menjadi tantangan besar bagi perusahaan yang sebelumnya dominan dengan model bisnis konvensional.

Begitu juga dengan PT Sritex (Sri Rejeki Isman Tbk), yang harus gulung tikar pada 2024 setelah mengalami kesulitan keuangan yang terus membengkak. Meskipun sebelumnya menjadi raksasa di industri tekstil, persaingan ketat dengan produk-produk impor dan rendahnya daya beli masyarakat membuat perusahaan ini tidak bisa bertahan.

Faktor Keuangan yang Tidak Terkelola dengan Baik

Kebangkrutan juga sering kali disebabkan oleh pengelolaan keuangan yang buruk. Banyak perusahaan yang tidak dapat mengelola arus kas secara efisien atau terlambat dalam menghadapi masalah likuiditas. Beberapa perusahaan terjebak dalam beban utang yang besar tanpa memiliki perencanaan yang matang untuk membayar kewajibannya.

PT Hung-A Indonesia, produsen ban yang sebelumnya mengekspor lebih dari 70% produknya ke Eropa, mengalami penutupan akibat kesulitan mendapatkan pesanan dan kesulitan likuiditas. Tak hanya itu, perusahaan ini juga gagal dalam merestrukturisasi utang, yang akhirnya mengarah pada kebangkrutan.

Perubahan Regulasi dan Kebijakan Pemerintah

Tak sedikit perusahaan yang menghadapi kebangkrutan akibat ketidakpastian dalam regulasi dan kebijakan pemerintah. Perubahan-perubahan yang mendadak atau kebijakan yang tidak ramah terhadap industri tertentu dapat memberikan dampak signifikan terhadap keberlangsungan perusahaan. Beberapa perusahaan di sektor manufaktur dan perkebunan, misalnya, mengalami kerugian besar akibat kebijakan fiskal dan regulasi yang terus berubah-ubah.

Menurut data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), 20 Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dinyatakan bangkrut sepanjang tahun 2024, sebagian besar disebabkan oleh ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan kebijakan pemerintah dalam sektor perbankan yang semakin ketat.

Faktor Eksternal: Pandemi dan Krisis Global

Pandemi COVID-19 yang melanda dunia pada 2020 membawa dampak besar bagi ekonomi Indonesia. Banyak perusahaan yang sebelumnya berada dalam kondisi baik, terpaksa harus menutup operasionalnya akibat terganggu oleh pembatasan sosial, penurunan permintaan, dan gangguan pasokan bahan baku. Beberapa sektor, seperti industri pariwisata, penerbangan, dan ritel, mengalami kerugian yang sangat besa

Selain itu, krisis ekonomi global yang terjadi pada 2024, yang dipicu oleh kenaikan harga bahan baku dan krisis energi, turut memperburuk keadaan ekonomi perusahaan-perusahaan Indonesia. Banyak yang kesulitan menghadapi lonjakan biaya operasional dan menurunnya permintaan produk, sehingga tidak mampu bertahan.

Kesalahan Manajerial dan Kurangnya Inovasi

Di balik bangkrutnya perusahaan-perusahaan besar, sering kali terungkap adanya masalah dalam hal manajerial. Pengambilan keputusan yang tidak tepat, kegagalan dalam berinovasi, serta ketidakmampuan dalam membaca peluang pasar adalah beberapa faktor yang kerap membuat perusahaan terpuruk.

Dalam banyak kasus, perusahaan gagal merespons perubahan pasar dengan cepat. Misalnya, beberapa perusahaan besar yang mengandalkan model bisnis tradisional dan tidak mengembangkan lini produk baru atau strategi pemasaran digital untuk menjangkau konsumen yang lebih luas. Kebanyakan dari mereka terlambat melakukan transformasi digital, yang kini menjadi kunci utama dalam bertahan di pasar global yang semakin terhubung.

Langkah Pemerintah dan Upaya Pemulihan

Sebagai respons terhadap banyaknya perusahaan yang gulung tikar, pemerintah Indonesia mulai merancang berbagai kebijakan untuk mendorong pemulihan ekonomi. Program restrukturisasi utang, insentif pajak, serta dukungan untuk perusahaan yang beralih ke digitalisasi menjadi beberapa langkah yang diambil untuk membantu perusahaan bertahan.

Namun, meskipun ada dukungan tersebut, keberhasilan pemulihan ekonomi juga sangat bergantung pada adaptasi cepat dan kecakapan manajerial perusahaan dalam menghadapi tantangan yang ada.

Kebangkrutan perusahaan-perusahaan besar di Indonesia mengingatkan kita akan pentingnya pengelolaan keuangan yang sehat, kemampuan untuk berinovasi, dan fleksibilitas dalam menghadapi perubahan. Dalam dunia bisnis yang sangat dinamis ini, hanya mereka yang mampu beradaptasi dengan cepat yang akan bertahan. Oleh karena itu, bagi perusahaan yang ingin menghindari nasib serupa, penting untuk melakukan perencanaan yang matang, menjaga keseimbangan antara risiko dan peluang, serta terus berinovasi mengikuti perkembangan zaman.

Penulis bernama Natasya Syahira, mahasiswi program studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Syiah Kuala.

Editor: Nasywa Nayyara Tsany