Artikel | DETaK
Negara Turki dikenal dengan kota yang penuh dengan sejarah, salah satunya adalah bangunan megah yang berdiri kokoh di jantung kota Istanbul yaitu Hagia Sophia. Dalam bahasa turki Hagia Sophia disebut dengan “Aya Sophia” dan telah melewati era lebih dari 15 abad serta menjadi saksi bisu berlangsungnya pergantian rezim yang memerintah Konstantinopel.
Nama “Hagia Sophia” sendiri berarti “Kebijaksanaan Suci”. Keanggunannya terpancar dari kubah besar setinggi 55 meter yang menjadi mahakarya arsitektur dunia, bahkan menjadi inspirasi bagi banyak masjid besar setelahnya. Tidak hanya menjadi simbol dari arsitektur luar biasa, bangunan ini juga menyimpan jejak sejarah panjang dari tiga agama besar dan kekuasaan yang silih berganti.

Hagia Sophia dibangun pada tahun 537 Masehi oleh Kaisar Bizantium Justinianus I dan awalnya merupakan gereja katedral terbesar di dunia Kristen Timur. Hagia Sophia dirancang sebagai basilika megah bagi umat Kristen Ortodoks. Selama hampir seribu tahun, bangunan ini menjadi pusat ibadah dan lambang kejayaan Kekaisaran Bizantium dan menariknya kubah utama Hagia Sophia merupakan hasil dari rekonstruksi gempa hebat pada tahun 558 M.
Setelah penaklukan Konstantinopel oleh Sultan Muhammad al-Fatih pada 1453, Hagia Sophia diubah menjadi masjid. Namun, alih-alih menghancurkan simbol-simbol Kristen, al-Fatih justru melindunginya dan menambahkan elemen Islam seperti kaligrafi, mihrab, dan menara serta menjadikannya sebagai ikon pertemuan dua peradaban.
Kemudian Mustafa Kemal Ataturk kemudian menjadikannya museum pada tahun 1934 sebagai wujud sekularisme Turki. Status ini bertahan hingga Presiden Recep Tayyip Erdogan pada 2020 mengembalikannya sebagai masjid dengan alasan bahwa Hagia Sophia berada dalam kewenangan hukum nasional, bukan internasional. Berikut beberapa Fakta Menarik dalam sejarah Hagia Sophia:
- Sempat Ditutup Akibat Gempa dan Krisis Ekonomi
Hagia Sophia pernah ditutup pada 1354 karena kerusakan akibat gempa dan krisis ekonomi Kekaisaran Byzantium yang tak mampu memperbaikinya. - Beralih Fungsi Akibat Perang Salib
Saat Perang Salib keempat (1204–1261), Hagia Sophia sempat berubah dari gereja Ortodoks menjadi gereja Katolik Roma karena Konstantinopel diduduki tentara salib. - Kubahnya Memiliki 40 Jendela
Kubah besar di tengah bangunan dikelilingi oleh 40 jendela yang memungkinkan cahaya masuk secara dramatis, menciptakan efek visual spiritual yang menakjubkan. - Desain Arsitektur Lintas Zaman
Arsitek aslinya, Isidoros dari Milet dan Anthemios dari Tralles berhasil menciptakan struktur yang bertahan ratusan tahun, bahkan ketika dibangun di atas garis patahan gempa. - Masjid Pertama yang Berasal dari Gereja Megah di Tanah Eropa
Hagia Sophia adalah salah satu masjid pertama di dunia yang dulunya adalah gereja besar di Eropa Timur, dan telah menjadi simbol kemenangan dan diplomasi Sultan Muhammad al-Fatih. - Tempat Salat Jumat Pertama Sultan al-Fatih
Setelah penaklukan, salat Jumat pertama diadakan di Hagia Sophia dengan Sultan Muhammad al-Fatih sendiri yang menjadi khatib, dan gurunya Akshamsaddin menjadi imam.
Namun beberapa tahun ini dunia kembali dikejutkan ketika Presiden Recep Tayyip Erdogan secara resmi mengembalikan status Hagia Sophia sebagai masjid pada 24 Juli 2020. Meski telah berubah fungsi beberapa kali, Hagia Sophia tetap menjadi simbol spiritual bagi jutaan orang. Keputusan ini tentunya menimbulkan pro dan kontra.
Survei yang dilakukan oleh Istanbul Economic Research menunjukkan 46,9% warga Turki mendukung keputusan tersebut, sementara 38,8% menolaknya.Tentunya ini menimbulkan kritik datang dari negara Barat, Vatikan, dan otoritas Kristen Ortodoks. Namun Presiden Erdogan menegaskan bahwa perubahan ini adalah hak kedaulatan Turki dan bahwa Hagia Sophia akan tetap terbuka untuk semua pengunjung.
Referensi: Tasbih, M. I., & Roza, E. (2024). Hagia Sophia: Simbol Peradaban Islam di Turki. Tazkir: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial dan Keislaman, 10(1), 32–49.
Penulis bernama Amirah Nurlija Zabrina, mahasiswi program studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Syiah Kuala.
Editor : Rimaya Romaito Br Siagian