Artikel | DETaK
Saling berargumen merupakan kegiatan yang biasa dilakukan di lingkungan perkuliahan. Hal ini dianggap dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, apalagi bila argumen yang dikemukakan bisa mematahkan argumen dari lawan bicara. Namun, apakah yakin argumen yang disampaikan bukanlah bentuk dari logical fallacy (sesat pikir)?
E. Sumaryono dalam bukunya “Dasar-Dasar Logika” (1999) mendefinisikan sesat pikir sebagai proses penalaran atau argumentasi yang sebenarnya tak logis, salah arah, dan menyesatkan. Kesalahan dalam berpikir ini disebabkan oleh pemaksaan prinsip-prinsip logika tanpa memperhatikan relevansinya.
Sesat pikir ini dapat mudah kita temukan bila kita memperhatikan dengan teliti baik pada saat bermedia sosial atau bahkan di lingkungan perkuliahan.
Ada banyak bentuk dari sesat berpikir, namun ad hominem menjadi salah satu bentuk dari sesat pikir yang tanpa disadari sering kita lakukan. Ad hominem merupakan upaya untuk menerima atau menolak suatu gagasan namun bukan disebabkan faktor penalaran suatu gagasan tersebut, melainkan merujuk pada faktor pribadi lawan. Sederhananya, yang kita soroti adalah pribadi yang berargumen bukanlah logis atau tidaknya argumen yang disampaikan.
Misalnya seorang penyanyi merilis sebuah lagu dan mengunggahnya pada salah satu platform di internet. Lalu salah satu warganet yang mendengar lagu tersebut berkomentar bahwa lagu dari penyanyi tersebut kurang menarik karena tempo musiknya terlalu lambat. Namun, penggemar penyanyi tersebut membalas komentar warganet tadi untuk membantah argumennya dengan mengatakan “Emangnya lo pernah buat apa? Emangnya lo bisa buat lagu ginian?”
Pada situasi tersebut, penggemar dari penyanyi yang dikriktik lagunya lebih tertarik untuk membalas balik kritikan dengan mempertanyakan pribadi yang berkomentar namun tidak menggubris masalah lagunya. Bila diperhatikan, balasan dari penggemar jelas tidak menyelesaikan masalah sebenarnya dan tidak pula mengubah pendapat si warganet yaitu “lagu tersebut kurang menarik karena tempo musiknya terlalu lambat”.
Contoh lainnya, suatu LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) mengkritik sebuah Ormawa (Organisasi Mahasiswa) karena dianggap melanggar ketentuan yang berlaku dan mengikat organisasi tersebut yang imbasnya dapat merugikan organisasi mahasiswa lainnya. Kritik itu disampaikan melalui portal berita yang dijalankan oleh LPM itu sendiri. Namun, alih-alih membantah dugaan pelanggaran tersebut dengan bukti-bukti yang relevan, ormawa tersebut justru membalas kritikan tadi dengan menuliskan postingan di akun media sosialnya dengan menyerang balik bahwa LPM tersebut hanya mencari sensasi dan pemuas rating. Atau dengan mengatakan bahwa LPM tersebut hanya “sok kritis” dan ingin terlihat keren.
Bila kita sekilas melihat balasan dari Ormawa tersebut, kita mungkin akan teralihkan dari permasalahan utamanya atau malah mengiyakan pernyataan bahwa LPM tersebut hanya mencari sensasi, pemuas rating dan sebagainya. Namun bila kita lebih teliti dalam melihat situasi di atas, kita dapat melihat bahwa Ormawa tersebut hanya menyerang balik dengan tidak menyinggung sedikitpun permasalahan bahwa mereka melanggar sebuah peraturan, namun justru menyerang citra dari LPM yang mengkritik. Hal ini justru memperlihatkan ketidakmampuan Ormawa tersebut untuk memberikan bukti sehingga dapat membantah argumen yang menyerangnya.
Berpikir dengan bentuk ad hominem bukan hanya tidak dapat menyelesaikan masalah, namun malah dapat membuat masalah baru, misalnya malah membuat sakit hati lawan berargumen karena sifatnya yang menyerang pribadi. Bukankah tidak fair saat lawan bicara kita berargumen dengan nalar namun kita balas dengan menyerang pribadinya.
Dalam berargumentasi, seseorang sangatlah mungkin melakukan kesalahan. Namun kesalahan tersebut hendaknya bukanlah yang bentuknya kesalahan logika atau sesat pikir.
Penulis bernama Wendi Amiria, mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Syiah Kuala angkatan 2018. Ia juga merupakan salah satu anggota aktif di UKM Pers DETaK USK.
Editor: Cut Siti Raihan