Beranda Opini Tragedi Al-Khoziny, Keikhlasan Tak Cukup Menegakkan Suatu Bangunan

Tragedi Al-Khoziny, Keikhlasan Tak Cukup Menegakkan Suatu Bangunan

BERBAGI
Tragedi Runtuhnya Pesantren Al-Khoziny. (Dok.ist)

Opini | DETaK

Runtuhnya bangunan Pondok Pesantren Al-Khoziny di Sidoarjo, Jawa Timur yang menewaskan dan melukai 177 santri menjadi duka mendalam bagi dunia pendidikan Islam di Indonesia. Peristiwa tragis ini bukan sekadar kecelakaan konstruksi, tetapi juga alarm keras yang menohok kesadaran kita akan lemahnya pengawasan kemudian rendahnya standar pembangunan, serta tradisi pengelolaan pesantren yang masih bertumpu pada semangat gotong royong tanpa diimbangi profesionalitas teknis.

Duka di Tengah Ibadah dan Belajar

Iklan Souvenir DETaK

Bangunan 3 lantai yang difungsikan sebagai masjid sekaligus tempat belajar itu roboh saat ratusan santri tengah menunaikan salat Ashar berjamaah. Struktur atap dari kayu yang masih dalam proses pengecoran tak mampu menahan beban lantai di atasnya, hingga akhirnya runtuh menimpa para santri di lantai dasar.

Data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Timur mencatat 177 santri menjadi korban, dengan rincian 104 selamat, 66 korban meninggal dunia, dan 7 diantaranya body part yang juga terhitung sebagai korban. Tim SAR bekerja siang malam menggali reruntuhan dengan kehati-hatian tinggi, khawatir getaran alat berat justru menimbulkan ambruk susulan. Tragedi ini menjadi bukti nyata bahwa bencana bisa muncul bukan karena alam, melainkan karena kelalaian manusia dalam membangun sistem yang aman dan bertanggung jawab.

Kemandirian yang Menjadi Kerentanan

Sejak awal, pesantren tumbuh dari budaya swadaya masyarakat. Ada semangat kiai, ada tanah wakaf, lalu berdirilah pondok. Santri ikut membangun, masyarakat menyumbang, dan alumni bergotong royong mengumpulkan dana. Model kemandirian ini melahirkan ribuan pesantren di pelosok Nusantara tanpa harus menunggu intervensi pemerintah.

Namun, di balik kekuatan itu tersimpan kelemahan yang sering diabaikan: banyak bangunan pesantren berdiri tanpa rencana teknis yang jelas, tanpa pengawasan insinyur, dan tanpa standar keselamatan bangunan yang layak. Akibatnya, banyak gedung pesantren rapuh, ruang kelas sempit tanpa ventilasi memadai, serta instalasi listrik yang tidak aman. Semua dibangun dengan “ikhlas” tapi mengabaikan prinsip keselamatan dasar.

Romantisme Gotong Royong yang Salah Arah

Tragedi Al-Khoziny seharusnya menyadarkan kita bahwa romantisisme gotong royong dan keikhlasan tidak bisa menjadi pengganti keahlian profesional. Santri yang seharusnya belajar sering dilibatkan dalam pembangunan fisik pondok: mengangkut material, mencampur semen, hingga memasang bata. Semua dilakukan dengan semangat pengabdian dan keyakinan bahwa niat baik sudah cukup untuk menegakkan tembok.

Namun, kenyataannya niat baik tidak dapat menggantikan ilmu teknik. Ikhlas tidak bisa menggantikan analisis struktur, dan doa tidak bisa menggantikan perhitungan kekuatan besi bertulang. Semangat gotong royong yang tidak disertai keahlian justru berpotensi menimbulkan malapetaka, seperti yang kini menimpa ratusan santri tak berdosa.

Pentingnya Profesionalitas dan Standar Keamanan

Tragedi ini menjadi pelajaran penting bagi semua pihak yakni pihak pesantren, pemerintah, dan masyarakat luas. Pemerintah perlu hadir bukan untuk mengintervensi kemandirian pesantren, tetapi memastikan bahwa setiap lembaga pendidikan baik negeri maupun swasta, umum maupun keagamaan memenuhi standar keselamatan bangunan.

Pesantren sebagai lembaga pendidikan harus berani melibatkan tenaga ahli, insinyur, dan pengawas konstruksi dalam setiap pembangunan. Pengawasan berkala juga penting untuk memastikan bangunan tetap layak huni dan aman. Di sisi lain, masyarakat perlu mengubah pandangan bahwa kesederhanaan identik dengan seadanya. Aman bukanlah kemewahan, tetapi kebutuhan dasar.

Refleksi untuk Masa Depan Pesantren

Tragedi Al-Khoziny adalah cermin dari masalah struktural yang sudah lama diabaikan. Ia memaksa kita untuk meninjau ulang cara kita memaknai keikhlasan, gotong royong, dan kemandirian. Iman tidak cukup untuk membangun bangunan yang kokoh; ia harus berjalan beriringan dengan ilmu dan disiplin.

Pesantren tetap menjadi salah satu pilar penting pendidikan nasional, tetapi agar tetap berdiri tegak, ia harus belajar dari tragedi ini. Sudah saatnya nilai-nilai spiritual pesantren dipadukan dengan profesionalitas modern, agar setiap santri dapat belajar dengan tenang bukan dengan ancaman bahaya di atas kepalanya.

Penulis bernama Ainurrahmah Elhalimi, Mahasiswi Program Studi Statistika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Syiah Kuala.

Editor: Amirah Nurlija Zabrina