Siaran Pers | DETaK
Banda Aceh – Upaya pemberantasan korupsi tidak dapat dinilai hanya dari peningkatan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) saja, tapi juga dari keberpihakan pemerintah dan DPR dalam mewujudkan regulasi yang pro pemberantasan korupsi. Pernyataan tersebut diungkapkan oleh anggota badan pekerja Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) Baihaqi dalam briefing media tentang RUU KUHAP di kantor MaTA, Banda Aceh, Selasa, 23 Desember 2014.
Kekhawitaran soal pelemahan KPK itu bukan tanpa alasan, menurutnya, beberapa produk legislasi yang berpotensi melemahkan KPK akan kembali masuk ke dalam Prolegnas 2015-2019.
“Dalam proses pelemahan KPK melalui legislasi ini, RUU KUHAP dan RUU KUHP menjadi sorotan utama. Karena ada beberapa poin dalam RUU KUHAP yang berpotensi melemahkan KPK,” sebut Baihaqi dalam siaran persnya kepada detakusk.com .
Dalam RUU KUHAP, jelas Baihaqi, KPK akan diberi wewenang penghentian penuntutan perkara dimana sangat bertentangan dengan UU KPK.
“Dalam RUU KUHAP ini juga memberikan kewenangan yang sangat besar terhadap Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP). Dalam RUU KUHAP, HPP memiliki kewenangan menangguhkan penahanan, memberikan izin atau tidak terhadap penyitaan, penyadapan, dan membatalkan tindak penyadapan.” Lanjutnya.
Poin lain yang melemahkan upaya pemberantasan korupsi dan KPK, uraiannya, adalah putusan bebas terdakwa tindak pidana korupsi di tingkat pengadilan pertama atau banding, JPU tidak bisa melakukan kasasi di Mahkamah Agung.
Sementara itu, dipandang juga bahwa RUU KUHP berpotensi melemahkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal tersebut sebagaimana disampaikan oleh Mawardi Ismai, akademisi Hukum dari Universitas Syiah Kuala. Dia menyebutkan 2 potensi yaitu melalui pengaturan delik korupsi dan ancaman hukuman yang lebih ringan.
“Ada delik korupsi yang dihilangkan atau dialihkan menjadi delik lain. Hakim yang menerima suap dimasukkan dalam tindak pidana jabatan. Juga gratifikasi dihilangkan, yang ada hanya suap,” jelasnya.
Aktivis senior Aceh, Wiratmadinata sebagai salah seorang peserta diskusi, menyebutkan, RUU KUHAP tidak selaras dengan komitmen negeri ini yang sudah menjadikan pemberantasan korupsi sebagai gerakan dengan kekuatan penuh.
“Sudah menjadi komitmen bangsa bahwa kita harus serius melawan korupsi sebagai salah satu kejahatan luar biasa dengan mengggunakan perangkat dan gebrakan yang luar biasa juga,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Wira menyebutkan, di negara yang maju dan relatif rendah korupsinya, institusi seperti KPK malah senantiasa diperkuat bukan justru dilemahkan. Jadi sangat aneh apabila di Indonesia dengan aparatur penegak hukum lainnya (Polri dan Jaksa) yang dipandang belum optimal dengan tingkat korupsi yang sangat tinggi, malah melakukan gebrakan yang sangat tidak populer seperti RUU KUHAP.
Melihat upaya-upaya pelemahan upaya pemberantasan korupsi tersebut, MaTA meminta pemerintah menarik kembali RUU KUHAP yang sudah dibahas di DPR pada periode 2009 – 2014 untuk dibahas dengan lebih mendalam dan melibatkan seluruh pihak terkait, termasuk KPK.
“Apabila RUU KUHAP tersebut disahkan maka sebenarnya merupakan sebuah langkah mundur gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia. Dan ini akan berdampak pada semakin melemahnya pemberatasan korupsi hingga ke daerah, termasuk di Aceh,” sebut Baihaqi.
Oleh karenanya, MaTA juga meminta agar perumusan dan pembahasan RUU KUHP dan RUU KUHAP yang dilakukan oleh DPR dan Pemerintah periode 2014-2019, dengan proses yang terbuka, partisipatif dan akuntabel serta terbebas dari konflik kepentingan,” pungkasnya.[]
Editor: Riska Iwantoni