Beranda Cerbung Kota Pertama-Chapter 1

Kota Pertama-Chapter 1

BERBAGI
Ilustrasi Kota Pertama. (Yaumil Farah Alyssa [AM]/DETaK)

Cerbung | DETaK

Suasana di bandara cukup ramai meski tidak sesak dengan antrian orang-orang yang berusaha membawa barang-barang mereka. Sudah sewajarnya akan banyak yang bepergian ketiga liburan tiba.

Petugas yang sibuk, turis dimana-mana, ada yang menunggu jemputan atau langsung pergi sendiri, anak-anak yang berlarian di kafetaria juga beberapa orang yang hanya berdiri sambil memainkan smartphone mereka.

Iklan Souvenir DETaK

”Hei bocah, perhatikan langkahmu”

Rania, namanya Rania Glodia dan dia 15 tahun, seratus persen keturunan Indonesia bepergian sendiri ke Amerika dan sialnya di New York City. Jika dia tinggi tidaklah masalah karena orang-orang akan mengira dia telah dewasa, namun dengan tinggi 150 cm itu dijamin dia hanya terlihat seperti bocah SD seperti kata orang yang tidak sengaja ditabraknya tadi. Entah apa yang dipikirkan oleh otak yang bersarang indah di dalam batok kepala kecilnya itu.

Setelahnya Rania langsung menuju hotel dan tidur, jangan tanya bagaimana ia dapat kamar, tentu saja dengan mama yang disewa 10 menit saja dan setelah dia membayar mamanya, selesai sudah hubungan mereka. Sangat praktis.

Terbangun di tengah malam karena urusan kamar mandi, Rania memutuskan untuk tidak langsung tidur lagi tetapi dia menyalakan televisi dan memutuskan untuk melihat benda kotak itu meski hanya iklan yang muncul.

Sejak pertama bangun, Rania menyadari memang ada yang tidak beres dengan suasananya, terlalu sepi dan mencekam untuk kota sekelas New York yang tidak pernah terlelap, tapi ini, bagaimana mengatakannya ya, bahkan rasanya bunyi detak jantungmu terlalu jelas untuk didengar, padahal Rania memesan hotel di pusat New York bukan di pinggiran.

Dengan sandal hotelnya, Rania menuju balkon dan terkejut dengan apa yang terjadi di bawah sana. Waktu berhenti? Ah tidak, televisinya tetap menyala, tetapi bagaimana dengan mobil-mobil di bawah sana yang berhenti di tengah-tengah jalan layaknya masih dalam keadaan mengemudi, dan yang paling aneh adalah orang-orang yang bertarung tidak jauh dari jalan raya dan dari setiap serangan mereka mengeluarkan cahaya. Apakah ini mimpi? Atau ini tempat syuting? Di jam segini? Lalu entah dorongan dari mana, Rania memutuskan untuk turun ke bawah sana dan liftnya masih hidup, semakin meyakinkan dirinya bahwa waktu tidaklah berhenti.

Saat tiba di depan hotel, tiba-tiba tangannya seperti ditarik oleh seseorang, namun dia tidak dapat melihat siapapun, dia dibawa lagi ke dalam hotel, lebih tepatnya ke kafetarianya. Jika Rania adalah Ninda, tetangganya di Indonesia yang sangat cengeng, pasti Rania sudah menjerit ketakutan sampai menangis jika merasakan ditarik oleh orang tak terlihat begini yang lebih pantas sebut dengan hantu dari pada manusia. Untung Rania sedikit memiliki kelebihan untuk menyembunyikan apa yang dia rasakan.

Sehebat apapun Rania dalam memasang wajah emonya itu, matanya tetap membulat ketika dalam satu detik muncul seorang anak laki-laki di depan nya.

“Siapa kau?” Ini bukan Rania, bukan juga laki-laki itu, tetapi mereka menanyakan ini secara bersamaan.

Mendengar hal ini Rania langsung menggerakkan dagunya menunjuk laki-laki di depannya, sebagai isyarat untuk memulai duluan. Persetan dengan kesopanan di saat dunia tidak lagi normal ini pikirnya, lagian sepertinya mereka seumuran meski tinggi mereka jauh berbeda.

“Siapa kau dan kenapa kau bisa bergerak? Apakah kau sorang pengendali juga?” tanya anak laki-laki itu dengan sangat hati-hati takut ini adalah jebakan dari musuh mereka.

“Apa katanya? Bisa bergerak? Memangnya salah manusia bergerak?” Namaku Rania, dan aku tentu saja manusia normal yang dapat bergerak.”

“Tapi waktu sedang berhenti bagi manusia biasa”

“Televisinya masih hidup, lift yang kunaiki tadi hidup juga, bagaimana mungkin waktu berhenti. Jika kau ingin membohongiku, maaf, kau salah orang, aku tidak mudah dibohongi,” ucap Rania dengan santai.

“Di situlah kesalahannya! Dasar aneh! kenapa kau bisa melakukan hal itu! Hm, baiklah kau ikut kami ke markas, dan juga aku bukan orang jahat”. Rania ingin menolak namun mendengar akhir kata dari orang di depannya ini membuatnya entah kenapa merasa yakin setelah melihat tatapan yakin si bocah laki-laki ini.

“Mana ada orang jahat yang mau ngaku, aku akan kembali ke sini setelah mengambil barang-barangku di atas dulu.” Rania berjalan menuju kamarnya saat mengatakan hal itu membuat laki-laki itu menatapnya heran dengan sisi berkebalikannya dan tetap mau pergi bersama orang yang dikatakannya jahat.

Pikiran Rania terus mencoba memahami situasi yang terjadi, kenapa New York, kenapa harus di kota ini dia mendapati jalan mengetahui keanehan di dirinya, teringat kejadian di Indonesia saat dia terbangun untuk belajar ulangan saat tengah malam dan saat selesai belajar, waktu ternyata tidak berjalan, dia juga berpikir beberapa teori yang mungkin terhadap apa yang terjadi sekarang ini, dan ketika dia keluar dari hotel bersama laki-laki tadi dan menuju tempat pertarungan di luar yang begitu ramai, hanya satu yang Rania pikirkan, “Aku ini apa?”

-Bersambung-

Penulis adalah Marsa Nurmalisa, mahasiswi Jurusan Farmasi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Syiah Kuala. Ia juga merupakan anggota magang di UKM Pers DETaK.

Editor: Della Novia Sandra