Beranda Cerpen Karim Jurnalis Tarim

Karim Jurnalis Tarim

BERBAGI
Ilustrasi.

Ranum senja menggurat di kaki langit, lantas perlahan menghilang di balik bukit. Abdul Karim yang sedari tadi tersenyum sendiri di rooftop kampusnya memikirkan wisuda sarjana, tiba-tiba tersentak ketika gema azan magrib berkumandang. Lantas, langsung turun dan menuju masjid terdekat di kampusnya. Selesai salat magrib berjamaah, pemuda yang akrab disapa Karim itu melanjutkan dengan shalat sunnah bakda magrib. Setelah melanjutkan dengan membaca surah Al-Mulk, Karim berjalan menuju sosok lelaki paruh baya, dan mencium tangannya dengan penuh ketakziman. Ternyata,  lelaki itu adalah Bapak Karim.

“Pak, Bapak langsung pulang atau masih ada kerjaan?” tanya Karim.

“Bapak langsung pulang, kenapa bertanya? Kamu mau izin nginap di rumah temanmu malam ini?” Bapak balas bertanya. “Bukan, Pak, Karim mau pulang sekalian sama Bapak.”

Iklan Souvenir DETaK

“Motormu memangnya ke mana?” selidik Bapak. “Di rumah, Pak, tadi Karim bareng teman ke kampus.”

Bapak Karim adalah Dekan Fakultas Ekonomi di kampus tempat Karim menimba ilmu sekarang. Berbeda dengan Bapaknya, Karim mengambil jurusan Ilmu Komunikasi mengikuti jejak sang Bunda yang merupakan seorang reporter. Sayangnya Bunda Karim berhenti setelah mengetahui bahwa ia tidak bisa hamil lagi. Akhirnya Bunda Karim memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya dan memfokuskan diri menjaga Karim, si buah hati satu-satunya.

Mobil yang dikendarai Karim melaju di pusat kota. “Wisudamu senin ini, kamu sudah kasih tahu bunda”? tanya Bapak. “Sudah Pak, Bunda sangat senang mendengarnya, katanya, tidak sabar melihat Karim jadi reporter,” sambil tersenyum lebar kepada Bapak. Bapak balas tersenyum. “O iya Pak, Bapak bisa hadir di wisuda Karim, kan?” seketika Karim bertanya. “InsyaaAllah, Bapak datang jika tidak ada kepentingan yang urgen.”

Hari Senin menyapa, matahari pun sama, ikut menyapa dengan cerahnya. Para calon wisudawan bersamaan dengan orang tua, dan keluarga tercinta datang berbondong-bondong. Karim, Bapak, dan Bunda masuk ke ruang auditorium wisuda. Karim menerima predikat sebagai lulusan cumlaude. Seperti biasa, Bunda sangat terharu. “Pak, minggu depan kita akan melihat Karim jadi reporter,” ucap Bunda sembari menangis bahagia. Bapak hanya tersenyum kecil membalas Bunda.

Maklum saja, Karim memang rajin dan alim, bahkan dia sudah mendapat tawaran kerja sebagai reporter di salah satu stasiun berita ternama di ibukota.

Prosesi wisuda berakhir, Bunda memeluk Karim, Bapak juga. Lalu Bunda pulang diantar Bapak, tidak ikut makan-makan dengan kawan Karim.

“Tabarakallah, Karim,” ucap Ahmad Khalis salah satu teman Karim. “Aamiiiiiin.. syukran, shahib.” Shahib artinya sahabat, Karim dan Khalis memang bersahabat dekat, saling memanggil dengan sebutan Shahib satu sama lain. Lebih tepatnya Khalis merupakan kakak tingkat Karim di kampusnya tetapi keakraban mereka membuat kenyataan tersebut tersamarkan. “Karim, selamat bro, timpal kawan Karim yang lainnya.” Ucapan selamat untuk Karim hari itu tak henti-hentinya hingga seminggu ke depan.

Malam minggu, malam itu lumayan kelabu, tak ada bintang di langit kota.

“Nak, kamu sudah putuskan untuk bekerja di stasiun berita itu?” tanya Bunda penasaran.

“Bunda, Karim tidak jadi bekerja disitu”

“Lah, memangnya kenapa, Nak? Orang lain berlomba-lomba untuk diterima kerja, kamu malah menyia-nyiakannya,” nada bicara Bunda agak meninggi.

“Bunda, Karimm.. Karimm.. “

“Bicaralah Karim, kamu sebenarnya mau kerja di mana?”

“Karim mau ke Tarim, Bunda,”  Karim menjawab dengan nada bersalah.

“Apa? Tarim? Tarim Hadramaut? Yaman?” Bunda terkejut

Tarim, salah satu kota bersejarah di Hadramaut, Yaman. Tentu saja Bunda terkejut, sebagai orang yang pernah berkecimpung dalam dunia reporter Bunda tahu betul di Yaman sedang berkecamuk perang, kita juga tahu itu.

“Tidak, Bunda tidak izinkan.”

“Bunda, Karim sangat ingin pergi ke Tarim, tolong izinkan Karim, Bunda” pinta Karim. “Tidak, Bunda sudah bilang tidak, ya tidak Karim, Bunda sangat kecewa dengan pilihanmu.”  Bunda berjalan menuju kamar dan meninggalkan Karim. Wajar saja Bunda begitu, Karim anak satu-satunya Bunda. Bapak yang sedari tadi juga di situ tidak berkomentar apapun, lantas ikut pergi meninggalkan Karim.

“Paak.. ” keluh Karim

Bapak kembali menuju Karim lalu memegang pundak Karim, lantas pergi meninggalkannya.

Senin tiba, Karim bersiap-siap untuk hari pertama kerjanya sebagai reporter, pamit kepada Bunda dan Bapak, lalu dengan semangat menuju stasiun berita.

Sebulan bekerja di situ, kesempatan Karim untuk berkunjung ke Tarim akhirnya tersampaikan. Karim ditugaskan untuk liputan luar negeri di Yaman. Awalnya, Bunda sempat tidak setuju, tetapi mengingat Karim yang selama ini selalu patuh, Bunda akhirnya setuju.

Karim bersama rombongan pun tiba di bandara Yaman. Mereka semua bersiap-siap, sayangnya sebelum mereka sempat liputan, bom meledak tiba-tiba. Mereka semua terkena bom tersebut dan akhirnya dibawa ke rumah sakit. Tak ada yang selamat kecuali Karim, itupun dalam keadaan kritis. Siti Khalisa, dokter relawan yang merawat Karim merasa kasihan dengan keadaan Karim yang tak kunjung sadar.

Dua minggu berselang, Karim pun sadar. “Anda sudah sadar?” dokter Khalisa bertanya. “Alhamdulillah, bagaimana dengan teman-teman saya yang lain?” “Anda bisa saja berharap, tapi Allah telah menentukan garis takdir mereka semua, mungkin Allah ingin memberikan surga lebih cepat untuk mereka,” jelas dokter Khalisa.

Tak ada jawaban dari Karim, sepertinya dia bingung harus berkata apa dan bagaimana perasaannya, haruskah ia senang atau sedih.

“Saya harap anda lebih bersabar,” tutup dokter Khalisa, lalu pergi menemui pasien yang lain.

Seminggu Karim beristirahat, dia langsung memutuskan untuk pergi ke Tarim. Sesampainya di sana, Karim merasa terkesima dengan segala keadaan di Tarim. Dia akhirnya memutuskan untuk membuat vlog YouTube  “Karim Jurnalis Tarim”.

Mulanya Karim mengalami kesulitan dalam mencari informasi-informasi tentang Tarim karena bahasa di Tarim sedikit berbeda dengan bahasa Arab pada umumnya.

“Assalamualaikum, Anda dari Indonesia?” tanya salah seorang mahasiswa asal Indonesia yang belajar di Universitas Al-Ahgaff

“Waalaikumsalam, benar, saya dari Indonesia, saya Karim”

“Karim, apa yang sedang kamu lakukan di sini?” Salah satu di antara mereka bertanya lagi. “Saya ingin membuat vlog tentang Tarim berbentuk vlog gaya reporter, tetapi saya masih kurang paham bahasa di sini” jelas Karim.

“Kalau begitu, Karim bisa tinggal dengan kami terlebih dahulu di Mukalla”

Mukalla adalah ibukota Hadramaut, 269 Km jaraknya dengan Tarim.

“Terima kasih atas bantuannya, tapi saya ingin langsung tinggal di Tarim”

“Baiklah, karim, kami harus segera pulang sekarang “

Tentu saja Karim mengalami berbagai kesulitan, tak banyak orang-orang Tarim paham ketika ditanyakan oleh Karim. Karim membutuhkan waktu setahun untuk dapat menyelesaikan vlog pertamanya tentang kota Tarim secara sekilas.

Kota ini dijuluki sebagai kota masjid karena terdapat 360 buah masjid, padahal luas wilayahnya sangat kecil, sehingga jarak antar masjid kadang hanya beberapa langkah saja. Selain itu, kota Tarim juga dijuluki kota Nabi karena di sini banyak keturunan Nabi Muhammad saw. serta terdapat makan Nabi Hud, Nabi Shalih, Nabi Hadhun, dan Nabi Handhalah serta dijuluki juga sebagai kota para wali Allah. Tarim juga pernah disebutkan dalam beberapa hadis Nabi. Rumah di Tarim masih dibangun menggunakan tanah dan tak ada perempuan yang terlihat di luar rumah maupun di pasar.

Tiga tahun di Tarim, Karim akhirnya berhasil menggali informasi hampir seluruh kota Tarim. Vlog yang dihasilkan juga cukup banyak, followers dan subscribernya sangat banyak. Karena vlog “Karim Jurnalis Tarim” tersebut banyak orang-orang luar akhirnya tahu tentang Tarim sebagai kota peradaban ilmu, khususnya ilmu agama. Bahkan, Organisasi Islam untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (ISESCO) memberikan penghargaan bergengsi kepada Karim karena telah berhasil memperkenalkan Tarim sebagai Pusat Kebudayaan Islam Dunia.

Mendengar hal itu tentu membuat Bunda dan Bapak sangat bahagia, mereka bahkan mengunjungi Karim di Tarim. Ikut pula Khalis dan adiknya Khalisa. Karim berterima kasih kepada Khalisa, dokter yang telah merawatnya dan Karim sangat tidak menyangka Khalisa adiknya Khalis. Setelah pertemuan itu, Karim dan Khalisa menikah di masjid Al-Muhdhar, Tarim. Mereka tetap memilih tinggal di Tarim. Karim melanjutkan membuat vlog dan menelusuri setiap sudut kota Tarim sementara Khalis menjadi dokter relawan di Tarim.

Penulis adalah Rinatul Mauzirah mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Unsyiah. Ia juga aktif sebagai anggota bidang Pendidikan dan Kaderisasi UKM Pers DETaK Unsyiah.

Editor: Missanur Refasesa