Cerbung | DETaK
-kisah seorang gadis yang berusaha untuk meraih impiannya di tengah carut marut dunia-
Luna, Eric, Albert, dan Agnes membuka pintu pagar dari bambu yang mencegah ayam-ayam di bawah rumah panggung untuk keluar. Mereka kemudian menaiki tangga kayu dan berdiri di serambinya. “Tok! Tok! Tok! Nicolas, keluarlah!,” teriak Eric di bagian paling depan.
Setelah tiga kali percobaan, akhirnya pintu terbuka. Lalu melongo Nicolas dengan rambut acak-acakan. “Hei, ada apa?,”
“Kami akan pergi mencari batu berbentuk unik di dekat lereng gunung Eiko,” ucap Eric.
Nicolas mengerutkan dahinya pada Eric, “itu tempat yang jauh. Kenapa harus repot-repot kesana?,”
“Yah… untuk berpetualang. Masih banyak tempat di kota ini yang belum kita jelajahi, kau tahu.”
Luna memandangi mata Nicolas yang terlihat begitu berat untuk dibuka. Tubuh bocah laki-laki ini berdiri tak tegap, tangan dan kakinya terlihat menjadi lembek. “Apa kamu baik-baik saja?” tanyan Luna dengan nada khawatir.
“Aku sedang malas keluar rumah,” balas Nicolas, hanya melirik sekilas dengan ujung matanya. Lalu kembali pada Eric.
“Apa kamu mau mati berkerak di dalam rumah, dasar pemalas,” Eric mendorong pelan tubuh Nicolas hingga bergoyang seperti agar-agar. Pandangan Albert dan Agnes mulai aneh pada laki-laki lembek ini.
Luna melangkah menerbos ketiga temannya. Jemarinya menggenggam kedua tangan Nicolas. Sambil menatapnya dalam-dalam, Luna berkata “kami merasa prihatin atas apa yang menimpamu. Jika kamu butuh bantuan, beritahu kami. kami siap membantumu.”
Nicolas menarik kedua tangannya dengan segera, sambil menunjukan senyuman yang dipaksakan, dia berucap,“Terima kasih, aku tahu kalian adalah teman yang baik. Namun untuk saat ini aku hanya ingin berada di rumah saja.” Nicolas mundur, memegang pintu, bersiap-siap menutupinya kembali.
“Baik, kalau begitu kami pergi dulu,” pamit Luna. Kemudian mereka menuruni rumah panggung. Sebelum menutup pintu pagar kembali, Luna sempat melirik wajah temannya yang masih mengintip di ambang pintu. Nicolas yang Luna kenal adalah orang yang ceria, bersemangat, dan dapat diandalkan. Namun senyuman dan semangat itu telah meredup. Hari ini, Luna benar-benar tidak menemukan sedikitpun kehidupan pada mimik wajah yang dipandangnya itu.
Nicolas melihat teman-temannya yang pergi, justru dia merasa kasihan kepada mereka. Teman-temannya belum menyadari tentang kenyataan hidup dan masih lalai dengan bermain. Kesenangan, kepedulian, dan kebersamaan yang ada saat ini buat apa? Ketika usia mereka sudah 13 tahun, mereka harus berpisah karena bekerja untuk kesejahteraan orang lain. Sekeras apapun bekerja, mereka tak bisa merubah nasib. Makan tetap tidak enak, rumah tidak akan besar, dan mereka tetap akan terkurung di kota ini. Nicolas merasa sudah cukup mendapatkan pelajaran memahami tentang kebenaran hidup, semuanya hanya mengarah kepada penderitaan.
“Nicolas semakin lama semakin terlihat suram. Dia bagaikan mayat hidup,” Eric menggerutu sambil jalan.
Agnes yang mendengarkan itu segera menurunkan kedua alisnya, “Mayat hidup? Kurasa itu terlalu berlebihan. Yaa walaupun wajahnya terlihat pucat sih.”
Lalu Erick berteriak sambil mengangkat telunjuk, “Aku tahu!”
“Kenapa?!,” jerit Albert yang terkejut, sedikit ketakutan, dia pikir ada gempa.
“Kita berikan sebuah hadiah yang paling berharga yang pernah ada di kota Gazastan, coklat! Kita akan mengambil sebanyak dua kantong kecil di pabrik sebagai hadiah untuk Nicolas,” usul Eric.
“Tapi pihak keluarga Alaska akan mencambuk kita!” protes Luna segera.
“Tenang, aku punya strategi. Ini memang aksi yang berbahaya, namun mengambil resiko untuk seorang teman itu sepadan. Aku tidak akan memaksa kalian. Jika kalian tidak berani, boleh pulang saja. Yang berani, yuk ikut aku!”
-Bersambung-
.Note: Cerita ini merupakan bagian dari project novel yang sedang digarap oleh penulis. Bagi teman-teman yang tertarik ingin berdiskusi mengenai cerita lebih lanjut, bisa hubungi penulis lewat email: heavenkingdom.author.@gmail.com