Beranda Opini Suku Awyu dengan Kehidupan Hutannya

Suku Awyu dengan Kehidupan Hutannya

BERBAGI
Ilustrasi. (Nisa Makrufa/DETaK)

Opini | DETaK

“Kami tidak mau hidup dengan uang, kami bisa hidup tanpa uang. Tanpa uang pun saya hidup tahun-tahun di hutan, saya tidak pusing uang, saya bisa hidup.” –Hendrikus ‘Franky’ Woro (Pejuang Lingkungan Hidup dari Suku Awyu)

Pakaian itu namanya Toto. Ialah pakaian adat dari suku Awyu di Papua Selatan. 27 Mei 2024 lalu, pakaian itu tampil di depan Mahkamah Agung, Jakarta, dikenakan oleh lima orang suku asli tersebut. Bersama tombak, panah, serta beberapa hasil hutan seperti sagu, cawat, motu (tas adat dari kulit kayu), dan pelepah nibung, kelima perwakilan tersebut menyuarakan aksi protes atas pembukaan perkebunan kelapa sawit pada hutan adat mereka.

Iklan Souvenir DETaK

Tidak hanya kerugian bagi suku Awyu, pembukaan perusahaan sawit ini juga akan memicu deforestasi, yang berbahaya bagi iklim. Deforestasi atau alih fungsi lahan adalah salah satu sumber emisi terbesar Indonesia. Dalam Enhanced Nationally Determinded Contribution (ENDC), pemerintah berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 31,89% dengan kemampuan sendiri dan 43,20% dengan dukungan internasional pada 2020.

Bukan sekali. Sang pelopor penggerak, pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu, Hendrikus ‘Franky’ Woro, telah melayangkan gugatan ke Pemerintah Provinsi Papua sebelumnya. Gugatan ini diakibatkan pemerintah yang mengeluarkan izin lingkungan untuk perusahaan sawit dengan lahan seluas 36.094 hektar, alias setengah lebih luas Jakarta.

Dilansir dari greenpeace.org, kronologi gugatannya dimulai pada awal 2022 silam. Kala itu, Franky bersama dengan komunitas Cinta Tanah Adat (komunitas paralegal yang beranggotakan masyarakat suku Awyu) mencari informasi ke sejumlah dinas pemerintah. Memasuki Juli 2022, ia mulai menyampaikan permohonan infomasi publik ke Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terbuka Satu Pintu Provinsi Papua tentang perizinan PT IAL.

Pada 13 Maret 2023, ia mendaftarkan gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura. Berlanjut ke 9 Mei 2023, enam masyarakat adat suku Awyu, mengajukan diri sebagai tergugat intervensi dalam gugatan PT Kartika Cipta Pratama (KCP) dan PT Megakarya Jaya Raya (MJR) di PTUN Jakarta. Nihil, pada 5 September, PTUN menolak gugatan PT KCP dan PT MJR. Putusan ini mengakibatkan perjuangan suku Awyu harus terus berjalan untuk mempertahankan hutan adat mereka.

Berakhir pada 5 Oktober 2023, diadakan sidang terakhir gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim di PTUN Jayapura. Gerakan Solidaritas Selamatkan Hutan Adat Papua yang terdiri dari 73 organisasi dan 94 individu mengirimkan surat terbuka kepada majelis hakim untuk menyatakan dukungannya bagi suku Awyu.

Namun naas, gugatan tersebut kandas pada pengadilan tingkat pertama dan kedua. Hal ini disampaikan oleh PTUN Jayapura pada 2 November 2023. Tidak peduli 48 jam waktu tempuh, mereka kembali menyuarakan apa yang menjadi keinginannya sedari awal. Terpenting, hutan adat Boven Digoel mereka jangan sampai hilang.

“Kehidupan suku Awyu sangat tergantung pada tanah, hutan, sungai, rawa, dan hasil kekayaan alam lainnya. Itu semua menjadi sumber mata pencaharian, pangan, dan obat-obatan, serta identitas sosial budaya kami. Hutan adalah rekening abadi bagi kami masyarakat adat,” kukuh Franky.

Suku Awyu yang juga mendiami daerah aliran Sungai Digul, pesisir Papua Selatan ini memiliki populasi sekitar 27.300 jiwa.  Mata pencaharian mereka ialah berburu dan menokok sagu secara langsung di hutan. Dengan makanan pokok sagu, sehari-hari mereka juga mengonsumsi ikan dan daging. Terdapat pembagian tugas dalam mencari makanan pada suku ini. Untuk sagu dan ikan dikhususkan pada kaum perempuan, sementara daging diperintahkan untuk kaum laki-laki yang melakukan pemburuan.

Dalam melatih kegiatan berburu, ada sebuah permainan pada anak laki-laki. Amiogo namanya. Permainan ini bertujuan melatih anak-anak dalam menggunakan busur dan anak panah, agar kelak nantinya ketika dewasa siap sebagai tulang punggung kehidupan berbekal pengetahuan pemburuan.

Betapa hutan adalah kehidupan mereka. Pohon nibung salah satunya. Dengan manfaatnya yang berbagai macam, tumbuhan sejenis palma ini telah menjadi penopang bagi masyarakat suku Awyu dalam penghidupan mereka.

“Satu pohon nibung saja memiliki banyak kegunaan, belum lagi pohon-pohon yang lain. Pelepah nibung bisa menjadi tikar, lalu pucuknya bisa kami jadikan sayur dan garam Papua. Isi batangnya bisa menjadi obat batuk, batangnya menjadi lantai rumah, daunnya bisa kami pakai untuk membungkus sagu sampai membangun bivak,” tutur Franky.

Selain itu, salah satu anggota masyarakat adat suku Awyu, Gergorius Yame, turut menceritakan keuntungan hutan adat yang tengah mereka pertahankan. Perihal sungai yang masih sangat baik keadaannya.

“Jadi setiap ke hutan kami tidak perlu memasak air sebagai bekal, tinggal timba air sungai dan langsung minum. Kami khawatir perkebunan sawit akan merusak sungai kami, karena kami sudah melihat Sungai Digoel rusak akibat perkebunan sawit,” ujar Gergorius.

Rumahku surgaku. Bagi suku Awyu, pepatah ini menjadi rumahku hutanku. Hutan adat menjelma menjadi sumber pangan, obat-obatan, identitas sosial budaya, hingga mata pencaharian bagi mereka. Padanya, masyarakat berburu, mengambil bahan pangan dan obat-obatan dari tumbuh-tumbuhan yang ada di hutan, hingga mencari kayu gaharu yang bisa dijual untuk mendapatkan uang.

Bukan kehidupan mereka yang terlampau mundur karena tinggal pada hutan. Justru kehidupan mereka yang juga menghidupi keseluruhan alam karena bersedia menjaga dan melestarikan pemanfaatan di dalamnya.

Penulis adalah Shahibah Alyani mahasiswa Jurusan Teknik Geofisika, Fakultas Teknik (FT) Universitas Syiah Kuala.

Editor: Aisya Syahira