Beranda Opini Pesta Demokrasi Ibu Pertiwi dengan Trust Issue di Dalamnya

Pesta Demokrasi Ibu Pertiwi dengan Trust Issue di Dalamnya

BERBAGI
Ilustrasi. (M.Iqmal Pasha/DETaK)

Opini | DETaK

“Kamu pilih siapa?”

Tanpa harus bertanya lagi, aku sudah tahu konteks pertanyaan barusan yang dilontarkan oleh temanku. Di tengah panasnya pesta demokrasi negeri ini, kami sedang melewati Jembatan Pango dengan deretan bendera partai yang mengikuti dari ujung ke ujung.

Iklan Souvenir DETaK

Aku melirik salah satu bendera yang menarik perhatianku karena ukurannya yang lebih besar daripada bendera lainnya. Jika pertandingan ini adalah lomba bendera terbesar yang terpampang, pasti partai tersebut menang. Tapi apakah demokrasi hanya sebatas bendera terbesar? Apakah bendera terbesar berarti memiliki kekuasaan terbesar? Dengan kekuatan terbesar, dapatkah menyuarakan jeritan hati rakyat? Jika semudah membalikkan telapan tangan, demokrasi tidak pernah sesensasi ini.

Nyatanya, demokrasi di Indonesia selalu seru. Sungguh seru melihat manusia yang haus jabatan serta lapar kewenangan hingga menghalalkan segala cara demi mencapai tujuannya. Serupa dengan novel trilogi The Hunger Games, novel best seller yang menceritakan seorang gadis desa yang terpilih dalam permainan bertahan hidup di tengah hutan. Selama permainan, peserta diharuskan untuk saling membunuh hingga hanya ada satu pemenang. Memang kejam, tapi tidak ada yang berani memberontak akal pemerintah.

Bedanya pada The Hunger Games yang dibunuh adalah fisik, sementara demokrasi di Indonesia membunuh mental. Calon legislatif yang gagal rentan terhadap stres. Atas dasar ini, beberapa rumah sakit jiwa sudah siap menampung mereka yang terganggu kejiwaannya akibat kekalahan dalam seleksi. Sungguh seram persaingan bangku pemerintahan. Jika ada yang niat menovelkan, saran judul dariku adalah The Democrazy Games. Tapi, memang ada yang ingin menjadikannya novel? Seperti tidak ada cerita lain yang lebih bagus saja.

“Siapapun yang aku pilih, memang bakal menang?”

Tidak ada yang mau jatuh di lubang yang sama dua kali. Faktor pertama adalah malu. Faktor kedua adalah bosan. Seperti sudah hafal akan alur kepemimpinan negeri ini, kita tidak perlu melakukan kesalahan seperti tahun sebelumnya untuk tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Sistem politik dinasti yang dianut oleh Indonesia berjalan dengan giat, tidak tahu hingga kapan akan runtuh. Melakukan pemilihan seperti hal yang sia-sia, sudah ada sistem dibalik itu semua. Tidak perlu menjadi cenayang untuk menebaknya. Sayangnya negeriku, kamu ditunggangi.

Dia tertawa mendengar jawaban sekaligus pertanyaanku. Kurasa tawa itu benar-benar menertawakan gelinya demokrasi di Indonesia. Pemimpin terdahulu pasti menangis melihat negeri kita yang sekarang ini. Jangankan mereka, kita sendiri saja miris. Layaknya sudah tidak sanggup lagi tinggal di dalamnya. Tapi untuk berpikir pindah negara, aku tidak pernah terbayangkan. Indonesia masih menjadi rumahku istanaku, meski bukan surgaku karena surga ada di bawah telapak kaki ibu. Namun jika ini ibu pertiwi, apakah sama? Apakah mengabdi padanya juga dapat mendatangkan surga kelak?

“Nggak pernah ditambal ih, jalan ini,” keluh temanku setelah melewati jembatan. Kami disambut dengan jalan aspal yang penuh dengan lubang. Benar, bahkan sejak menjabat gelar mahasiswa baru hingga mahasiswa akhir, jalanan ini belum berubah sama sekali. Masih dengan pendiriannya yang berpotensi mencelakakan pengguna jalan. Tapi tentu ini bukan salahnya, bukan pula salah ibu pertiwi yang mengandung.

Salah satunya jalan tol, merupakan fasilitas umum yang semakin digencarkan pembangunannya. Padahal tidak semua rakyat memakai jalan tol. Fasilitas sehari-hari yang menjadi pemakaian rakyat kecil kadang luput diperhatikan. Terlalu fokus membangun yang baru tanpa memperbaiki yang lama. Memang, semua janji manis yang diikrarkan hanya isapan jempol semata. Kesemuanya menguap bersama dengan rasa percaya rakyat atas pemerintah.

Kami berhenti di lampu merah pada persimpangan BPKP dengan baliho politik di sisi kanan dan kiri jalan. Persimpangan ini tidak lagi menawarkan keindahan langit sore akibat polusi visual yang ada. Padahal perkara ini sudah diatur dalam Peraturan KPU Nomor 23 Tahun 2018 tentang Kampanye. Terdapat kebijakan yang mengatur perihal pemasangan baliho politik, seperti jenis, ukuran, serta area dan waktu pemasangan.

Sembari menunggu lampu merah yang durasinya serupa dengan lama respon pemerintah akan keluhan rakyat yang ternyata berujung tidak ditanggapi alias zonk, aku membaca beberapa slogan kampanye serta visi dan misi calon legislatif yang terlihat. Dalam sanubari mengamini impian dan tujuan mulia mereka. Siapapun yang nantinya duduk di kursi, harapannya agar janji manis yang diutarakan benar-benar diwujudkan.

Pemilihan bukan lagi sebagai pesta demokrasi rakyat, melainkan pesta demokrasi penguasa. Meski tidak tersurat dalam baliho, semoga di hati kecil mereka terdapat keinginan untuk membersihkan sistem demokrasi Indonesia ke jalan yang lurus.

Tanpa harus disepakati, kami mengubah topik pembicaraan setelah memasuki wilayah Darussalam. Saatnya mencari makanan. Tentu terus-terusan membicarakan negeri ini tidak akan ada habis-habisnya jika yang berkuasa tidak peka. Lebih baik kita pecahkan saja gelasnya biar ramai, biar viral sampai sambung part 2.

Penulis adalah Shahibah Alyani, mahasiswi Jurusan Teknik Geofisika, Fakultas Teknik (FT) Universitas Syiah Kuala.

Editor: Putri Izziah