Opini | DETaK
Cancel culture adalah fenomena sosial yang berkembang di Korea Selatan. Budaya ini berkembang pesat seiring dengan dominasi industri hiburan dan penggunaan media sosial yang luas. Selebriti, pejabat publik, hingga influencer dapat dengan mudah mengalami pemboikotan akibat perilaku atau pernyataan yang dianggap tidak sesuai dengan norma sosial oleh masyarakat. Lalu, apa sebenarnya Cancel culture ini?
Apa Itu Cancel Culture?

Cancel culture adalah fenomena sosial di mana individu atau suatu kelompok dihukum secara sosial akibat tindakan, perkataan, atau masa lalu mereka yang dianggap kontroversial atau tidak dapat diterima oleh masyarakat. Hukuman ini bisa berupa boikot, penghentian dukungan, hingga pengucilan dari komunitas atau industri tertentu. Fenomena ini berkembang pesat dengan adanya media sosial, di mana opini publik dapat menyebar dengan cepat dan memberikan tekanan besar terhadap individu yang menjadi sasaran.
Pada awalnya, cancel culture bertujuan untuk menegakkan keadilan sosial, seperti menindak perilaku rasis, pelecehan, atau penyalahgunaan kekuasaan, tetapi dalam praktiknya, sering kali berubah menjadi penghakiman massa tanpa melalui proses yang adil.
Seiring berjalannya waktu, cancel culture juga menjadi alat bagi masyarakat untuk menuntut pertanggungjawaban publik terhadap tokoh terkenal, terutama di dunia hiburan, politik, dan media. Namun, fenomena ini tidak selalu memberikan ruang bagi individu untuk memperbaiki kesalahan mereka, bahkan, banyak dari mereka yang terkena cancel culture berhenti total dari dunia hiburan.
Cancel Culture di Korea Selatan
Korea Selatan menjadi salah satu negara di mana cancel culture berkembang pesat, terutama dalam industri hiburan. Selebriti, idol K-pop, aktor, dan tokoh publik lainnya sering menjadi sasaran cancel culture akibat berbagai alasan, mulai dari skandal pribadi, perundungan di masa lalu, hingga pernyataan kontroversial yang menyinggung masyarakat.
Beberapa contoh kasus yang terkenal adalah ketika idol K-pop dituduh melakukan bullying di sekolah, yang menyebabkan mereka kehilangan kontrak kerja, ditinggalkan oleh penggemar, dan bahkan dikeluarkan dari grup mereka. Dalam banyak kasus, meskipun tuduhan belum terbukti secara hukum, tekanan dari publik sudah cukup untuk menghancurkan karier seseorang. Beberapa Artis atau Idol Kpop yang terkena cancel culture akibat kasus bullying diantaranya adalah Naeun Ex April, Soojin Ex (G)I-DLE, Jimin Ex AOA, Kim Garam Ex Le Sserafim.
Selain itu, mengemudi dalam keadaan mabuk (Driving Under the Influence atau DUI) adalah salah satu pelanggaran yang sangat ditentang oleh masyarakat Korea Selatan. Di Korea Selatan, hal tersebut sudah termasuk dalam tindakan kriminal karena sangat berbahaya bagi pelaku dan juga orang lain. Selebriti yang terlibat dalam kasus ini sering kali kehilangan pekerjaan, dihapus dari proyek drama atau iklan, dan menghadapi boikot dari publik. Beberapa diantaranya adalah Kangta H.O.T, Nickhun 2PM, Kangin Super Junior, Kim Sae Ron, hingga Suga BTS.
Kasus pelecehan seksual juga sering kali menjadi pemicu cancel culture di Korea Selatan. Selebriti yang terlibat dalam kasus ini tidak hanya mendapat kecaman publik tetapi juga berisiko menghadapi proses hukum yang serius. Beberapa artis atau idol kpop juga terkena cancel culture karena penyalahgunaan narkoba. Meskipun beberapa dari mereka berhasil kembali ke dunia hiburan setelah menjalani rehabilitasi, seperti Hanbin Ex IKON, namun banyak juga yang tidak bisa lagi melanjutkan kariernya.
Cancel Culture di Indonesia
Fenomena cancel culture juga mulai berkembang di Indonesia, meskipun dengan karakteristik yang sedikit berbeda. Di Indonesia, cancel culture sering kali terjadi dalam bentuk boikot terhadap selebriti, influencer, atau tokoh publik yang dianggap melakukan kesalahan moral atau mengeluarkan pernyataan kontroversial. Beberapa selebriti harus berhenti berkarier di dunia hiburan setelah terjerat tindak pidana dan dipenjara. Namun, ada juga figur publik yang justru viral dan dapat kesempatan manggung di acara televisi meski melakukan hal negatif.
Harus diakui bahwa cancel culture di Indonesia memang tidak sekuat di Korea Selatan. Di Indonesia masih terdapat ruang bagi individu untuk kembali ke industri hiburan setelah kasusnya mereda. Publik juga lebih mudah menerima permintaan maaf jika dirasa tulus dan disertai dengan perubahan sikap.
Masyarakat Indonesia cenderung bersikap permisif, pemaaf, dan menerapkan standar ganda bagi figur publik. Maka, coba pahami bahwa setiap tindakan ada konsekuensi dan pertanggungjawaban. Sebagai anggota masyarakat pun jangan cepat menghakimi orang lain jika tidak tahu kebenarannya. Perhatikan pula kasus per kasus, mana yang masih bisa didiskusikan dan mana yang tidak bisa ditoleransi, terutama jika sudah merambah hukum.
Cancel Culture: Keadilan atau Perundungan?
Cancel culture adalah fenomena yang kompleks dan memiliki dua sisi yang saling bertentangan. Di satu sisi, cancel culture dapat berfungsi sebagai alat kontrol sosial yang efektif, di mana individu yang memiliki pengaruh besar di masyarakat, seperti selebriti, politisi, atau tokoh publik, dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan atau pernyataan mereka.
Dengan adanya cancel culture, masyarakat memiliki kekuatan untuk menekan perilaku yang dianggap tidak etis, seperti rasisme, pelecehan seksual, atau penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini bisa menjadi cara untuk menegakkan keadilan yang sering kali sulit dicapai melalui jalur hukum formal, terutama jika pelaku berada dalam posisi yang kuat dan sulit dijangkau oleh sistem hukum. Namun, di sisi lain, cancel culture juga dapat menjadi alat penghukuman yang berlebihan dan tidak selalu adil.
Dalam banyak kasus, seseorang bisa kehilangan reputasi dan karier hanya karena tuduhan yang belum terbukti atau kesalahan kecil yang terjadi bertahun-tahun lalu. Selain itu, sifat viral dari cancel culture di media sosial sering kali menyebabkan penghakiman yang terburu-buru tanpa memberikan ruang bagi individu untuk menjelaskan atau menebus kesalahan mereka. Akibatnya, cancel culture bisa berubah menjadi bentuk perundungan digital (cyberbullying) yang justru merugikan masyarakat secara keseluruhan.
Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk lebih bijak dalam menilai suatu kasus dan membedakan antara tuntutan keadilan yang beralasan dengan sekadar hukuman sosial yang berlebihan. Jika tidak, cancel culture bisa kehilangan esensinya sebagai alat perubahan sosial dan malah menjadi bentuk persekusi modern yang tidak memberikan kesempatan bagi individu untuk memperbaiki.
Penulis bernama Cahya Refiana, Mahasiswi Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Syiah Kuala.
Editor : Cut Irene Nabilah