Beranda Opini Dilema Iklan Capaian Program Presiden di Bioskop

Dilema Iklan Capaian Program Presiden di Bioskop

BERBAGI
Ilustrasi. (Neni Raina Mawaddah (AM) /DETaK)

Opini | DETaK

Bioskop adalah ruang hiburan masyarakat untuk melepas penat. Masyarakat yang ingin bebas dari hiruk pikuk dunia dengan menonton film, justru mendapati video singkat capaian program Presiden Prabowo Subiyanto yang muncul sebelum film ditayangkan. Penayangan video singkat sekitar 60 detik itu terlihat seperti iklan yang bersifat politik atau dapat disebut iklan capaian program. Iklan capaian program ini hanya ditampilkan selama enam hari mulai dari 9-14 September 2025.

Walaupun hanya beberapa hari, penayangan iklan tersebut tetap saja menuai komentar atau kritikan publik. Masyarakat menanggap bahwa iklan ini mengingatkan mereka kembali  dengan video Presiden Soeharto yang  pernah ditayangkan  di televisi pada Masa Orde Baru seperti bentuk propaganda.

Iklan Souvenir DETaK

Dengan pemerintah menayangkan iklan capaian program di bioskop membuat penyampaian pesan hanya sepihak saja dan cenderung memaksakan pandangan positif terhadap pemerintah sehingga audiens tidak dapat melangsungkan komunikasi timbal balik bahkan mereka tidak bisa menghindari iklan tersebut. Hal ini dapat disebut sebagai bentuk propaganda pemerintah yang dikemas seperti  iklan layanan masyarakat dan ditampilkan di bioskop dengan tujuan menarik perhatian dan mengubah pandangan masyarakat.

Biasanya, video seperti ini muncul ketika sebuah negara sedang dalam masa krisis. Apakah Indonesia sedang dalam masa krisis sehingga video tersebut ditayangkan? Di satu sisi, kita dapat melihat bahwa memang terjadi demonstrasi sebelumnya yang mengakibatkan hilangnya nyawa beberapa masyarakat yang tidak bersalah sehingga mengubah citra masyarakat terhadap pemerintah Indonesia. Lalu, iklan bersifat politik ini muncul sebagai upaya pemerintah untuk membangun kembali citra positif kepada masyarakat. Namun, masyarakat Indonesia terkhusus kepada generasi muda mulai memiliki pemikiran yang berbeda dan sering kali mengkritisi suatu hal yang perlu dikritisi, terlebih pada hal-hal yang bersifat politik.

Sebagai ruang publik yang didatangi masyarakat dari latar belakang berbeda, bioskop seharusnya tetap menjaga prinsip netralitasnya. Tidak semua masyarakat memiliki ketertarikan terkait isu politik. Pemerintah menayangkan iklan bersifat politik tersebut untuk memperlihatkan  kepada masyarakat bahwa selama ini program-program yang dirancang telah terealisasikan seperti Makan Bergizi Gratis, Sekolah Rakyat, serta Koperasi Desa Merah Putih. 

Realitasnya, Jika pemerintah benar-benar sudah mencapai hal tersebut. Tanpa adanya iklan capaian program pun masyarakat pasti percaya dengan apa yang disampaikan oleh pemerintah karena sudah merasakan sendiri program yang telah direalisasikan. Jika pemerintah hanya menekankan kepada masyarakat bahwa mereka mencapai program tersebut selama ini serta membuktikan hasil kerjanya kepada masyarakat di bioskop. Rasanya bioskop bukanlah ruang yang tepat, walaupun bioskop adalah ruang publik tetap saja memungkinkan munculnya kritikan masyarakat kepada pemerintah karena tujuan masyarakat ke bioskop untuk menghilang penat karena memikirkan permasalahan dirinya bahkan negara yang tidak kunjung habis.

Menurut BBC Indonesia, bioskop tidak punya kewenangan untuk melarang penayangan iklan layanan masyarakat karena adanya kewajiban agar iklan tersebut ditayangkan  tanpa dipungut biaya. Namun, permasalahannya terletak pada UU No. 33 tahun 2009 tentang perfilman, menyatakan bahwa bioskop bukanlah lembaga penyiaran melainkan bisnis menyangkut perfilman. Bioskop sebagai industri hiburan tidak dapat disalahkan  sepenuhnya sebab hal tersebut merupakan kewajiban dari pemerintah terkait dengan bisnisnya. 

Sebenarnya, pemerintah dapat menyebarkan video capaian program melalui media sosial. Dengan menayangkannya di media sosial justru lebih fleksibel, efisien, dan terfokus kepada audiens yang tepat. Setiap badan publik pasti mempunyai akun  media sosialnya sendiri, dengan memanfaatkan akun tersebut tentu badan publik yang menangani masalah ini pasti dapat segera mengatasinya jika terdapat ketidaksepahaman informasi yang ditangkap oleh publik yang menyaksikan video singkat tersebut. Bahkan, generasi muda sekarang justru lebih melek politik dan lebih cerdas dalam menerima informasi yang didapatkan dan tidak lupa untuk mengkritisi informasi tersebut.

Umumnya, masyarakat menuangkan isi pemikirannya dalam sebuah komentar panjang. Komentar tersebut berisi pertanyaan ataupun pernyataan publik terkait informasi yang diberikan pemerintah. Dengan komentar masyarakat, pemerintah dapat menjawab pertanyaan, menambahkan atau mengoreksi pernyataan masyarakat terkait informasi yang didapatkan, serta pemerintah dapat mengevaluasi video singkat yang telah diunggah di media sosialnya.

Penayangan video capaian program Presiden Prabowo Subiyanto lebih efektif ditayangkan di media sosial dibandingkan di bioskop. Media sosial dapat menjadi pilihan yang efektif dan tepat sasaran untuk audiens yang ingin mendalami isu tersebut tanpa mengganggu kenyamanan masyarakat yang tidak tertarik dengan isu politik. Walaupun bioskop dan media sosial sama-sama ruang hiburan publik, isi konten yang ditayangkan memiliki perbedaan yang cukup signifikan.

Dalam media sosial, konten yang beragam tidak menjadi permasalahan karena konten yang muncul di beranda sesuai dengan minat publik. Berbeda dengan bioskop yang terkhusus kepada film layar lebar yang ditonton bersama masyarakat yang berbeda latar belakang dan pandangannya.

Penulis bernama Neni Raina Mawaddah, Mahasiswi Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Syiah Kuala.

Editor: Amirah Nurlija Zabrina