Wirduna Tripa
Menjelang gasak-gasuk isu Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada), nama Rektor Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Prof. Dr. Darni M. Daud, M.A., mulai familiar di kalangan masyarakat Aceh. Isu maju Rektor Unsyiah akrab diperbincangkan di mana-mana. Bahkan menurut kabar ia telah membentuk skenario untuk dapat merebut kursi nomor satu di Aceh pada Pemilukada mendatang. Sebuah keyakinan ia ingin hijrah dari sosok akademisi menjadi politisi. Memang keran demokrasi terbuka lebar bagi setiap warga negera yang ingin mencalonkan diri sebagai pemimpin negeri, tanpa dibatasi oleh profesi. Namun akankah idealisme akademisi akan sanggup dipertahankan ketika berpindah ke lahan yang lebih pragmatis.
Entah gerangan apa sehingga Darni begitu serius untuk mengambil bagian dalam pesta demokrasi di Aceh. Padahal ia pun baru saja dilantik kedua kalinya sebagai rektor Unsyiah periode 2010-2014, setelah memperoleh kemenangan pada pemilihan senad beberapa bulan lalu. Padahal Unsyiah juga merupakan lahan basah yang juga incaran banyak orang. Mungkinkah ia maju karena ingin memperbaiki negeri ini terlebih dalam bidang pendidikan di Aceh, karena ia adalah Bapak Pendidikan Aceh. Ataukah keinginan ia maju hanya untuk menggarap lahan basah baru yang potensialnya lebih subur.
Mungkin beberapa waktu lalu Pak Rektor masih bingung perahu mana yang akan dinaikinya atau ia menunggu nahkoda mana yang akan menjemputnya. Namun kekhawatiran itu hilang seketika melalui putusan Mahkamah Konsitusi (MK) yang mengesahkan untuk wilayah Aceh dibukanya jalur independen pada Pemilukada mendatang. Sehingga Darni tak lagi ambil pusing perahu mana yang akan ia naiki untuk berlayar di lautan pemilukada nanti. Mungkin ini adalah petuah baginya sebagai sosok akademisi yang berambisi untuk memimpin negeri ini. Cocokkah sosok akademisi untuk memimpin negeri ini? Memang Aceh saat ini membutuhkan sosok pemimpin yang kaya akan teoritis sehingga pemimpin mempunyai sebuah konsep untuk membangun negeri. Namun uji kelayakan juga patut dipertanyakan, tentu dengan melihat kilas balik sepak terjangnya.
Sebenarnya bila dilihat dari posisinya, Darni sekarang adalah orang yang sangat dikagumi dan disanjung oleh masyarakat Aceh, mengapa tidak karena fungsinya di Aceh sebagai pompa darah “Jatung” dalam tubuh Aceh. Dilihat dari posisi dan fungsi sangatlah strategis. Fokus dan menjalankan fungsi sesuai dengan profesi mungkin itu lebih tepat dan mulia.
Berangkat dari hal itu, saya ingin sejenak mengajak untuk melihat kondisi Jantong Hate Rakyat Aceh, yang sedang melarat dan sekarat. Apalagi sekarang Jantong Hate Rakyat Aceh sedang mengindap lefel. Saya rasa alangkah lebih eloknya Pak Rektor menyembuhkan dulu penyakit “jantong” di tubuh “jantong hate rakyat Aceh” yang sedang dalam kondisi kritis. Karena bila penyakit itu diabaikan dan tak ditangani secara intensif dikhawatirkan akan ladeu’ah dan sulit untuk di obati. Apalagi tabibnya dialihtangankan ke tabib lainya yang mereka tak tahu mengapa ia sakit dan sejak kapan ia mulai sakit. Justru akan memakan waktu yang panjang untuk beradabtasi sementara kondisi kampus jantong hate rakyat Aceh dalam keadaan ladeu’ah.
Segelumit masalah yang sekarang sedang terjadi di kampus kebanggaan jutaan rakyat Aceh. Namun tak banyak masyarakat tahu tentang kondisi Unsyiah dalam keadaan kritis. Mereka masih menggantung harapan besar pada kampus yang dijuluki jantong hate rakyat Aceh ini. Mendengar nama Unsyiah saja mereka terharu, konon lagi ada kerebat-kerabatnya yang kuliah di Unsyiah sudah merupakan sebuah kebanggaan bagi masyarakat Aceh. Begitulah gaung Unsyiah yang begitu megah bagi masyarakat Aceh. “Aneuk lon kuliah bak Unsyiah” ucap para orang tua dengan penuh rasa bangga. Namun gaung dan kebanggaan itu perlahan lenyap dari benak masyarakat Aceh seiring surutnya tingkat kualitas Unsyiah dengan memperoleh akreditasi C. Bukankah sebuah fenomenal yang mencoreng peta pendidikan Aceh. Kampus banggaan dan nomor satu di Aceh memperoleh akreditasi C. Meski pun banyak suntikan dana dari berbagai aliran. Kemanakah dana itu disuntik? Ataukah over dosis suntikan sehingga membuat “Jatong” mengindap lefel.
Belum lagi kekhawatiran para mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Politik (FISIP) Unsyiah. Khususnya bagi mahasiswa angkatan perdana (2007), mereka bagai “simalakama” ingin menyiapkan kuliah akreditasi FISIP masih dalam awang-awang, ingin menunggu sampai terakreditasi takut tua di sarang. Banyak teman-teman saya yang kuliah di FISIP yang gundah besar akan nasibnya. Hampir empat tahun sudah FISIP dioprasikansampai saat ini “masih dalam proses”, sampai kapankah akan terus dalam proses. Akankah mahasiswa angkatan pertama FISIP akan menjadi tumbalnya?
FISIP merupakan pabrik yang akan meyiapkan cikal bakal tokoh-tokoh sosial politik, namun apakah semua produk FISIP akan memosisikan nasipnya sebgai politisi liar? Kemanakah mereka akan membawa ijazah nanti, tak lebih dapat berfungsi untuk membungkus cabe di pasar. Belum lagi harapan para orang tua mahasiswa agar kelak anaknya bisa berhasil setelah kuliah, yang mereka tahu anaknya kuliah di Unsyiah tapi mereka tak tahu bagaimana kualitas pendidikan di Unsyiah yang meucawoe, lebih mending dan bernilai jual bila kuliah di kampus-kampus yang bergentayangan di toko-toko sana.
Bukankah sama dengan menabung dosa bila mengecewakan ratusan anak-anak bangsa terlebih orang tua mereka yang telah mengadaikan harta benda demi menguliahkan anaknya dengan harapan akan sukses. Meski lembu dan sawah digadaikan yang penting anaknya bisa kuliah.
Fenomena inilah yang sekarang terjadi di tubuh Unsyiah. Siapa yang akan bertanggung jawab dengan hal ini. Oleh karena itulah seharusnya Pak Rektor untuk saat ini fokus dulu dengan berbagai persoalan yang terjadi di internal Unsyiah. Jangan sampai ia meninggalkan Unsyiah dalam kondisi yang memperihatinkan. Tidak takutkah akan sumpah-serapah rakyat jelata yang telah menggantungkan harapannya pada Unsyiah. Ingat, doa orang papa akan dikabulkan oleh Yang Kuasa.
Celoteh saya ini bukanlah bermaksud untuk silop rok Unsyiah, namun ini adalah suatu persoalan yang sudah sering diangkat kepermukaan dan urgen untuk dituntaskan dengan lebih serius. Saya mencoba untuk mengajak kita semua merenungkan tentang kondisi jantong hate. Mungkin belum saatnya Pak Rektor meninggalkan Unsyiah dalam kondisi meucawo. Alangkah eloknya ketika seseorang akan pergi dari rumah, ia meninggalkan rumah dalam keadaan aman dan tentram. Maka mereka akan mengenangmu. Yakinlah Pak!
*Penulis adalah mahasiswa kampus Jantong Hate Rakyat Aceh.