Muhammad Abdul Hidayat [AM] | DETaK
Ketika sinar mentari mulai menghangatkan bumi, tak disangka-sangka tanah Serambi Makkah itu berguncang hebat. Tak lama setelah itu, sebuah gelombang besar pun datang meluluhlantakkan semua yang ada di daratan. Dalam waktu sekejap, puing-puing bangunan yang telah bercampur lumpur pun berserakan, disertai mayat-mayat yang bergelimpangan di mana-mana.
Minggu, 26 Desember 2004 menjadi waktu dari peristiwa penting yang tak pernah dilupakan oleh masyarakat Aceh. Meskipun bencana tsunami ini menimbulkan banyak kerusakan parah di daerah Aceh, namun ada beberapa tempat yang beruntung tidak mengalami peristiwa mengerikan tersebut. Salah satunya Desa Lhok Keutapang, daerah yang terletak di Kecamatan Tapak Tuan, Aceh Selatan.
Saya duduk manis sebagai pertanda bahwa saya sudah siap mendengar kisahnya. Seorang wanita berusia 43 tahun hendak bercerita mengenai pengalaman yang ia rasakan ketika hari bersejarah itu terjadi. Yenni Darni, itulah namanya. Ia berprofesi sebagai seorang ibu rumah tangga yang tinggal di Desa Lhok Keutapang dan memiliki dua orang anak. Ia merupakan salah satu saksi mata tentang bagaimana peristiwa itu terjadi.
“Pagi itu gerimis. Saya yang mau pergi ke gunung gak jadi sebab hujan. Jadi, saya pun di rumah saja dan tidak ke mana-mana. Saya saat itu sedang memasak di dapur terkejut karena ada guncangan kuat tiba-tiba. Langsung saja saya lari ke luar. Kemudian, datang utiah (paman) saya kasih kabar ke kami yang ada di rumah kalau air laut sudah kering,” ujarnya kepada saya.
Kejadian tersebut sontak membuat penduduk sekitar kaget dan heran dengan fenomena air laut yang kering saat itu. Menurut Yenni, di kala itu banyak di antara masyarakat belum paham mengenai bencana tsunami sehingga tidak tahu bahwa peristiwa surutnya air setelah gempa menjadi pertanda akan datangnya tsunami. Malah, melihat banyaknya ikan yang terdampar di lokasi surutnya air laut membuat sebagian orang turun ke sana dan memilihnya.
“Sesudah mendengar kabar itu, kami langsung bergegas ke laut. Saya lihat air laut benar-benar kering. Kan ada tu tempat di mana ombak terbentuk, itu kering. Orang-orang turun memilih gurita sama ikan-ikan yang ada di karang sana. Habis tu, tiba-tiba air laut naik perlahan-lahan. Airnya tu nggak bergelombang, tapi penuh gitu aja. Kemudian, air surut lagi, habis tu naik lagi, sampai tiga kali,” lanjutnya.
Posisi Desa Lhok Keutapang yang sangat berdekatan dengan laut menjadi ancaman besar jika tsunami melanda. Untungnya, ombak besar nan ganas itu tidak pernah datang saat itu. “Lhok Keutapang kan dekat kali sama laut tu. Kalau sempat tsunami waktu tu di sini, mungkin udah habis Lhok Keutapang ni karam,” tutur Yenni.
Desa Lhok Keutapang bukan satunya-satunya desa yang selamat di Kecamatan Tapak Tuan. Ada beberapa desa lainnya yang juga selamat dan mengalami peristiwa serupa dengan desa Lhok Keutapang. Setelah ditelusuri lebih lanjut, alasan mengapa saat itu tidak terjadi tsunami di sebagian besar daerah Tapak Tuan adalah karena daerah tersebut terlindungi oleh pulau Simeulue yang posisinya berhadapan dengan kabupaten Aceh Selatan.
Hal ini sesuai dengan ungkapan Hamzah Latief, seorang Dosen Program Studi Oceanografi, Departemen Geofisika dan Meteorologi ITB (Institut Teknologi Bandung), “Saat tsunami Aceh 2004, Aceh Selatan tertahan oleh Pulau Simeulue yang posisinya berhadapan langsung dengan Aceh Selatan. Sehingga air yang sampai ke Aceh Selatan pun hanya rembesannya saja,” jelasnya.
Desa Lhok Keutapang yang menjadi saksi bisu ganasnya gelombang tsunami di Aceh masih tetap berdiri tegap hingga saat ini, desa ini hendaknya selalu dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat setempat sebagai salah satu situs peristiwa 2004 silam.[]
Editor: Cut Siti Raihan