Artikel | DETaK
Salah satu skandal keuangan terbesar yang mengejutkan masyarakat Indonesia adalah kasus penipuan PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Kasus ini menarik perhatian publik setelah perusahaan gagal membayar polis JS Saving Plan pada tahun 2018 silam, yang mengakibatkan kerugian bagi negara mencapai triliunan rupiah. Kasus PT Asuransi
Jiwasraya (Persero) ini bukanlah sekadar skandal biasa. Ini merupakan sebuah fenomena yang mengguncang industri keuangan Indonesia dan meninggalkan jejak panjang kerugian hingga Rp16,81 triliun. Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana perusahaan sebesar Jiwasraya bisa jatuh ke dalam jurang kehancuran?
Menurut Sánchez-Aguayo et al. (2021), Penipuan asuransi terjadi akibat lemahnya tata kelola dan pengawasan keuangan dan risiko kecurangan yang bergantung pada efektivitas pengendalian internal perusahaan.

Menurut Tauhid Ahmad, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), “Kasus Jiwasraya menjadi bukti lemahnya regulasi industri asuransi. Jika tidak ada perubahan serius, skandal serupa bisa saja terjadi lagi.”
Apa itu korupsi?
Menurut Karsona, korupsi mencakup tindakan tidak bermoral yang melibatkan penyalahgunaan kekuasaan, kepentingan politik dan ekonomi, serta nepotisme dalam jabatan pemerintahan. (IDN TIMES, 2023).
Menurut Nasirwan et al. (2024), korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi yang merugikan negara. Bentuknya beragam, seperti penyuapan, manipulasi ekonomi, dan konflik kepentingan. Istilah “korupsi” berasal dari bahasa Latin yang berarti kebusukan atau ketidakjujuran.
Faktor penyebab korupsi dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor internal (seperti sifat manusia dan aspek sosial) dan faktor eksternal (seperti sikap masyarakat terhadap korupsi, aspek ekonomi, politik, dan organisasi). Korupsi dapat terjadi dalam berbagai bentuk, seperti penyalahgunaan aset, pernyataan palsu, atau pemerasan.
Kasus korupsi diinstansi pemerintah melibatkan tidak hanya pejabat tinggi, tetapi juga mereka yang berada di bawahnya, dan dapat terjadi baik di tingkat pusat maupun daerah. Tindak korupsi seringkali melibatkan manipulasi pencatatan, penghilangan dokumen, dan mark-up yang merugikan keuangan negara (Nasirwan et al., 2024).
Jiwasraya, Dari Perusahaan Tua ke Ladang Kecurangan
Jiwasraya adalah perusahaan asuransi jiwa tertua di Indonesia, berawal dari NILLMIJ van 1859 milik Belanda yang dinasionalisasi pada 1960. Setelah beberapa kali berganti nama, Jiwasraya menjadi satu-satunya asuransi jiwa milik pemerintah (BUMN) dan yang terbesar di Indonesia. (Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia, 2015)
Seiring waktu, kondisi keuangan Jiwasraya memburuk akibat beban bunga produk lama. Perusahaan yang dipercaya menjaga finansial jutaan orang ini justru terjerat skandal finansial terbesar di Indonesia. Investigasi BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) mengungkap manipulasi laporan keuangan untuk menutupi krisis yang sudah terdeteksi sejak lama.
Pada 2006, Jiwasraya mencatat defisit Rp 3,29 triliun, yang terus meningkat hingga Rp 6,3 triliun pada 2009. Audit BPK 2008 bahkan memberikan opini disclaimer. Upaya reasuransi sempat memperbaiki kondisi, tetapi laporan keuangan 2011 tetap dinilai tidak wajar. Untuk menutupi masalah keuangan, Jiwasraya menjalankan investasi agresif dan meluncurkan JS Saving Plan, mengumpulkan Rp 21 triliun. Namun, pada 2018 terungkap bahwa laporan keuangan telah dimanipulasi. Audit PwC menemukan laba 2017 yang awalnya dilaporkan Rp 2,4 triliun ternyata hanya Rp 428 miliar.
Pada Oktober 2018, Jiwasraya gagal membayar kewajiban Rp 802 miliar, dengan total utang mencapai Rp 50,5 triliun. Kasus ini menyeret mantan direksi dan manajer investasi serta mendorong pemerintah melakukan restrukturisasi melalui Indonesia Financial Group (IFG).
Menurut Tauhid Ahmad, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), “Kasus Jiwasraya menjadi bukti lemahnya regulasi industri asuransi. Jika tidak ada perubahan serius, skandal serupa bisa saja terjadi lagi.”
Trik Yang Dimainkan oleh Manajemen Jiwasraya
1. Jiwasraya melaporkan laba yang seolah-olah besar, padahal kerugian menggunung. Ini dilakukan dengan merekayasa nilai investasi agar tampak menguntungkan.
2. Perusahaan menanamkan dana nasabah ke saham-saham berkinerja buruk yang mudah dimanipulasi
3. Investigasi menemukan bahwa beberapa pejabat Jiwasraya menerima gratifikasi dan kickback dari pihak luar demi keuntungan pribadi.
4. Produk JS Saving Plan dijual dengan janji return hingga 14% per tahun, jauh di atas rata-rata industri. Namun, di balik janji ini tersembunyi skema mirip ponzi, di mana dana nasabah baru digunakan untuk membayar nasabah lama.
Ekonom senior INDEF, Bhima Yudhistira, menambahkan, “Praktik spekulatif jiwasraya adalah contoh buruk dari bagaimana keserakahan dalam industri keuangan bisa menciptakan kehancuran sistemik.”
Dampak yang Mengguncang Industri Keuangan
Skandal ini tidak hanya menjadi berita sensasional, tetapi juga berdampak luas. Pemerintah harus menggelontorkan dana besar untuk menyelamatkan polis nasabah, sementara kepercayaan masyarakat terhadap asuransi menurun, menghambat penjualan polis baru. Selain itu, saham yang terlibat dalam investasi Jiwasraya anjlok, memicu
ketidakstabilan di bursa.
Bagaimana Mencegah Skandal Serupa?
Setelah kasus ini terbongkar, muncul pertanyaan besar: bagaimana mencegah fraud sebesar ini terulang? Terdapat beberapa langkah-langkah yang bisa diterapkan seperti; OJK harus memperketat regulasi asuransi dan investasi dengan pengelolaan dana yang lebih ketat serta transparansi laporan keuangan. Audit forensik berkala, pembentukan unit kepatuhan, dan pemanfaatan teknologi untuk mendeteksi penyimpangan juga menjadi hal yang krusial.
Penerapan blockchain dapat meningkatkan transparansi transaksi, sementara smart contract memastikan pengelolaan dana sesuai standar tanpa intervensi pihak yang tidak berwenang. Selain itu, penggunaan AI dan Machine learning memungkinkan deteksi anomali transaksi secara real-time serta mempercepat proses audit keuangan. Perusahaan juga perlu menerapkan Good Corporate Governance (GCG) dengan sistem akuntabilitas yang jelas serta Whistleblowing system yang efektif agar pengawasan internal lebih kuat dan transparan.
Kasus Jiwasraya bukan hanya soal fraud biasa ini adalah cermin dari lemahnya regulasi, pengawasan yang lalai, dan keserakahan yang membabi buta yang berdampak pada kerugian negara dan menurunnya kepercayaan masyarakat. Dengan reformasi regulasi yang tegas dan meningkatnya kesadaran masyarakat, skandal seperti ini diharapkan tidak akan terulang kembali. Kini, bola ada di tangan regulator dan pemangku kepentingan untuk memastikan sejarah tidak berulang.
Penulis adalah Zia Ul Haj, Shanna Azzahra, dan Nasywa Ayudhia, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Syiah Kuala
Editor: Nasywa Nayyara Tsany