Beranda Artikel Mengenal HAM, Tanggung Jawab Negara, dan KKR di Aceh

Mengenal HAM, Tanggung Jawab Negara, dan KKR di Aceh

BERBAGI
Ilustrasi. (Wendi Amiria/DETaK)

Artikel | DETaK

Setiap tanggal 10 Desember dinyatakan sebagai hari peringatan Hak Asasi Manusia (HAM). Hal ini dikemukakan langsung oleh International Humanist and Ethical Union (IHEU) sebagai sebuah organisasi non-pemerintah internasional yang memperjuangkan HAM dan kesetaraan dengan landasan humanisme. Peringatan dimulai sejak tahun 1950 ketika Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengundang semua negara dan organisasi yang terkait untuk merayakan.

Hak Asasi Manusia (HAM)

Iklan Souvenir DETaK

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang melekat di dalam diri manusia sejak ia dilahirkan ke dunia. HAM terbagi atas dua bentuk yaitu non derogable right  dan derogable right. Non derogable adalah hak yang tidak dapat dikurangi, yang harus segera di laksanakan oleh pemerintah dalam pemenuhannya. Contohnya seperti  hak atas hidup, hak bebas dari penyiksaan, hak bebas dari perbudakan, dan hak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan agama. Sedangkan derogable right, yaitu hak-hak yang dapat dikurangi, dibatasi, ditunda pemenuhannya oleh negara dalam keadaan tertentu. Seperti hak atas kebebasan berkumpul secara damai dan hak untuk berserikat.

Prinsip dalam HAM yaitu tidak boleh dicabut, saling bergantung, saling berkaitan, kesetaraan, non diskriminasi, tanggung jawab negara, tidak dapat dibagi dan bersifat universal.

Tanggung Jawab Negara Terkait HAM

Dalam pemenuhan HAM, negara yang menjadi subjek hukum utama. Oleh karenanya negara memiliki tanggung jawab yang harus dipenuhi yaitu:

1. Respect (menghormati), negara harus menahan diri untuk tidak mengintervensi, negara harus berlaku pasif. Misalnya negara menghormati masyarakatnya yang memilih keyakinan apapun.

2. Protect (menjaga), negara harus melindungi warga negara dari ancaman yang dilakukan oleh siapapun, misalnya negara membuat suatu aturan serta adanya aparatur keamanan.

3. Fulfill (memenuhi), negara harus memenuhi kebutuhan warga negara seperti mengolah Sumber Daya Alam (SDA) yang ada secara maksimal untuk kesejahteraan rakyatnya.

Jika negara tidak melakukan tanggung jawab ini, maka negara telah melakukan pelanggaran HAM. Pelanggaran HAM adalah pelanggaran terkait dengan kewajiban negara, yang dalam hal ini terbagi lagi atas dua:

1. Pelanggaran HAM by Omission (pembiaran) yaitu negara membiarkan saat terjadinya pelanggaran HAM.

2. Pelanggaran HAM by Commission (melakukan) yaitu negara yang langsung melakukan pelanggaran dengan menyalahgunakan kewenangan yang dimiliki.

Bagaimana implementasi tanggung jawab negara selama ini? Belum terpenuhi secara baik, buktinya saja masih terjadinya pelanggaran HAM di berbagai daerah di Indonesia. Berdasarkan data dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), ada sekitar 256 kasus penyerangan terhadap pembela HAM dari Januari sampai Juli 2020. Lain lagi di Papua, yang terdapat 40 kasus pelanggaran HAM yang terjadi sejak Januari sampai November 2020. Laporan dari Komnas HAM 2020, juga menunjukkan bahwa pelanggaran hak atas kebebasan beragama menunjukkan tren peningkatan tiap tahun. Apalagi dalam pemenuhan hak sipil dan politik (sipol) yang semakin menyusut dan pelaksanaan hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob) yang sebatas janji-janji yang terus diumbar.

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Aceh

Pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu khususnya di daerah Aceh menyisakan luka mendalam bagi para korban dan keluarganya. Bukan hanya kerugian dari segi materil tetapi juga dari segi fisik dan psikologis. Dalam hal menangani hal tersebut, keadilan transisi hadir sebagai upaya untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di masa lampau. Keadilan transisi memiliki empat pilar yang sangat penting yaitu, hak atas kebenaran, hak atas reparasi (pemulihan), hak atas keadilan dan  jaminan tidak berulang (reformasi institusi).

Dalam 22 tahun reformasi bagaimana keadilan transisi ini berproses? Proses ini berjalan dengan hadirnya regulasi di Indonesia seperti Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Jika dalam konteks Aceh, hadir Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh sebagai mandat dari MOU Helsinki pada 15 Agustus 2005, yang mana berdasarkan hal ini terbentuklah KKR Aceh yang berlandaskan Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

KKR Aceh hadir untuk mengungkapkan kebenaran, mencari pola dan motif pelanggaran HAM di Aceh serta merekomendasikan reparasi dan melakukan rekonsiliasi atas pelanggaran HAM yang terjadi sepanjang konflik Aceh berlangsung (1976-2005). Ada 5 (lima) kasus pelanggaran HAM berat di Aceh yang telah dinyatakan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yaitu Peristiwa Simpang KKA Aceh (1999), Peristiwa Jamboe Keupok Aceh (2003), Peristiwa Rumah Geudong Aceh, Peristiwa Penghilangan Paksa Bener Meriah dan Peristiwa Bumi Flora Aceh (2001). Ini belum lagi termasuk kasus pelanggaran HAM lainnya.

Melihat refleksi kinerja KKR Aceh sejauh ini penuh tantangan dan rintangan. Dilansir dari situs resmi https://kkr.acehprov.go.id/ dinyatakan bahwa sudah adanya 5140 pertanyaan korban atau keluarga korban terkait pelanggaran HAM di Aceh, telah dilakukannya Rapat Dengar Kesaksian dengan menghadirkan 50 (lima puluh) penyintas sebanyak 3 (tiga) kali, rekomendasi reparasi (pemulihan) yang mendesak 245 korban telah ditindaklanjuti oleh Gubernur Aceh melalui Keputusan Gubernur Aceh Nomor 330/1269/2020 tentang Penetapan Penerima Reparasi Mendesak 245 korban Pelanggaran HAM Aceh yang pelaksanaannya dilaksanakan oleh Badan Reintegrasi Aceh, dan telah diresmikannya memorialisasi yaitu prasasti di salah satu tempat pelanggaran HAM di Kabupaten Pidie Jaya.Kinerja ini menjadi langkah awal dalam menyelesaikan semua permasalahan pelanggaran HAM di masa lalu. Jika melihat pada data yang dihimpun dari berbagai sumber, korban pelanggaran HAM di Aceh pada masa konflik mencapai 30-35 ribu orang. Melihat kinerja yang telah dilakukan KKR Aceh, besar harapan agar tuntas dengan segera semua kasus-kasus tersebut.

Sri Elmanita S, Redaktur di Unit Kegiatan Mahasiswa pers DETaK, Mahasiswi Fakultas Hukum, prodi Ilmu Hukum, Universitas Syiah Kuala.

Editor: Della Novia Sandra