Beranda Terhangat Klinik Pratama USK Lakukan Skrining TBC dan HIV/AIDS untuk Mahasiswa USK

Klinik Pratama USK Lakukan Skrining TBC dan HIV/AIDS untuk Mahasiswa USK

BERBAGI
Kegiatan Pemaparan Materi oleh Pemateri tentang HIV/AIDS dan TBC. 28/09/2024. (Dok. Panitia)

Sara Salsabila [AM] dan Wanda Amelia Hutasuhut [AM] | DETaK.

Darussalam – Klinik Pratama Universitas Syiah Kuala (USK) mengadakan skrining Tuberkulosis (TBC), Human Immunodeficiency Virus (HIV), dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yang berlangsung pada Sabtu, 28 September 2024. Kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka memperingati milad klinik tersebut dan ditujukan untuk mahasiswa asrama USK.

Silvia Mardianda, selaku dokter yang bertanggung jawab terhadap skrining HIV/AIDS, mengatakan bahwa pemilihan asrama USK sebagai lokasi kegiatan didasarkan pada kondisi lingkungan yang kurang bersih dan lembap, yang bisa memicu penularan bakteri TBC dan HIV/AIDS.

Silvia juga menambahkan bahwa adanya komunitas yang menyimpang di kalangan mahasiswa USK yang memicu peningkatan kasus HIV.

”Tercatat ada 7 kasus HIV, 6 orang diantaranya adalah mahasiswa dan 1 lainnya non-mahasiswa. Asrama menjadi salah satu target kami melakukan skrining karena dari informasi yang kami terima, ada beberapa titik di asrama yang terdeteksi terdapat komunitas yang menyimpang,” ujar Silvia.

Lebih lanjut, Silvia menyampaikan bahwa jumlah peserta skrining HIV/AIDS ini tidak sesuai dengan target karena banyak mahasiswa takut akan hasil dari tes, meskipun mereka tidak melakukan hal-hal yang berisiko menyebabkan penularan virus HIV.

”Karena pemeriksaan ini tidak bisa dilakukan dengan unsur pemaksaan jadi yang menjalani tes rapid HIV hanya berjumlah 4 orang dari 100 orang dari yang kami tergetkan,” jelasnya.

Ema Putri, selaku perawat sekaligus penanggung jawab dari skrinning TBC, menyampaikan bahwa tercatat ada 8 mahasiswa yang terpapar virus TBC dan sekitar ada 120 mahasiswa yang diduga mengidap penyakit tersebut.

”TBC ini adalah penyakit menular menyebar melalui udara. Jika si penderita tidak memakai masker saat beraktivitas di luar rumah, kemungkinan orang yang berinteraksi dengannya akan tertular, terutama jika imunitas lawan bicaranya tidak kuat,” ujar Ema.

Penyakit ini ditandai dengan batuk berdahak, demam yang tak kunjung sembuh, penurunan berat badan secara drastis, dan berkeringat meskipun cuaca dingin.

“Prosedur pelaksanaan pemeriksaan adalah dengan menampung dahak atau ronsten dada. Jika hasilnya positif, penderita harus mengosumsi obat selama 6 bulan tanpa melewatkan satu kali pun, serta harus rutin mengikuti tes dahak selama 2 bulan sekali untuk memantau apakah bakteri sudah mati,” ujarnya.

Lebih lanjut, Ema menyampaikan bahwa kegiatan skrining yang rutin diadakan setiap tahun ini tidak mencapai jumlah yang telah ditargetkan, karena ada peserta tidak dalam kondisi yang memenuhi syarat, seperti batuk berdahak.

“Untuk kegiatan di asrama usk tadi, hanya 10 dari 55 peserta yang menjalani tes dahak, karena tidak semua peserta sedang dalam kondisi batuk berdahak. Jika dipaksakan, malah akan keluar darah, bukan dahak. Berbeda dengan HIV/AIDS, penyakit TBC bisa sembuh total jika rutin mengosumsi obat-obatan dan menjalani tes dahak setiap 2 bulan sekali,” tambahnya.

Ema berharap kesadaran dalam diri mahasiswa untuk melakukan skrining, agar infeksi dapat dicegah jika belum terinfeksi, dan pengobatan bisa segera dilakukan jika sudah diperlukan. []

Editor : Raisa Amanda