Oleh Ramajani Sinaga
Tujuh tahun berlalu, saban diakhir bulan Desember. Emak selalu menaburkan bunga di permukaan air laut. Kaki Emak dibiarkan bertelanjang menginjak pasir putih pantai, pun Emak membiarkan bening air mengalir dari kornea matanya tanpa menghapusnya.
Tujuh tahun lamanya Bapak pergi menghadap Ilahi. Air tsunami menghempasnya. Bahkan, Emak tak tahu dimana jasad Bapak. Yang Emak tahu, Bapak sedang melaut mencari ikan minggu pagi itu. Dan tak pernah kembali sampai sekarang. Hingga Emak yakin jasad Bapak berada di lautan, maka Emak menaburkan bunga-bunga di laut sebagai rasa rindu pada Bapak.
Tujuh tahun silam, ketika air gelombang yang tinggi mendekati tubuh Emak. Emak berlari terengah-engah. Napasnya terputus-putus lemah, karena Emak berlari menyelamatkan dua nyawa; Emak sendiri dan nyawa seorang anak dalam kandungannya. Ia berlari sekuatnya, Emak berusaha menghimpun napas, demi anak yang masih bersemayam dalam rahimnya.
Tujuh tahun sudah usiaku. Tepat air bah tsunami usai dan meninggalkan tubuh-tubuh kosong terhampar luas. Emak selamat, tiba-tiba ada yang menggeliat dari selangkanganEmak. Tak ada dokter waktu itu. Hanya ratapan dan tangisan yang terdengar. Emak menghimpun napas dan berusaha melahirkan bayinya. Mukjizat Allah datang padaEmak, tanpa bantuan siapa pun, Emak melahirkan bayi mungil dalam kepanikan karena bencana alam, bayi itu adalah aku. Aku terlahir setelah kejadian tsunami beberapa detikberlalu.
Tujuh tahun, Emak mengajariku merayakan ulang tahun dengan menaburkan bunga di laut. “Merayakan ulang tahun tidak harus meniup lilin atau memotong bolu, lebih baik kita ziarah di laut untuk merayakan ulang tahun mu dan mengirimkan doa padaBapakmu,” kata Emak padaku.
Emak tepat berdiri menatap lautan biru. Air mata mengalir di wajahnya, aku mafhum atas kesedihan Emak. Aku meninggalkan tubuhnya sebentar. Kutinggalkan Emak dalam kesendirian.
***
Matahari tajam menyinari bumi, aku kembali namun Emak tak terlihat dalam pandanganku.
“Emak, emak,” teriakku keras. Namun hanya suara desir ombak yang terdengar. Terkadang suara angin yang meniup pohon-pohon kelapa di pantai menjawab teriakanku.
Mataku ingin menumpahkan bening air mata. Aku berjalan hilir mudik mencari Emak, namun aku tidak menemukannya. Apakah Emak pergi menyusul Bapak? Apakah Emak bunuh diri dan menceburkan tubuhnya dalam air laut?
Tiba-tiba mataku tertangkap oleh air yang beriak-riak jauh. Semakin lama riakan air itu mengecil. Mulutku menganga memandangi riakan air yang membentuk lingkaran. Itu pasti tubuh Emak, ia pasti menceburkan tubunnya dalam laut, pikirku.
Aku hampir melompat ke dalam air laut untuk menolong Emak. Tiba-tiba ada seseorang menepuk pundakku dari belakang. Aku berbalik, dan kulihat Emak berdiri tepat di hadapanku. Ia memandangiku aneh.
“Kenapa kau berteriak memanggil Emak sambil menghadap laut?” Emak bertanya padaku. Aku diam.
Tiba-tiba setetes air hangat terbit dari kelopak mataku.
“Aku takut Emak pergi,” jawabku ragu pada Emak.
Emak mengelus rambutku. “Emak tak akan pergi, kau tak perlu takut, Emak tadi pergi sebentar untuk membeli sepasang baju baru, untuk hadiah ulang tahunmu.”
* Ramajani Sinaga, Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Unsyiah angkatan 2011, alumni Madrasah Aliyah Negeri Binjai.