Resensi | DETaK
Judul novel :Salah Asuhan
Penulis : Abdoel Moeis
Penerbit : Balai Pustaka
Desain sampul : Drs. Edi Wahyono
Gambar isi : Teguh Adil H
Kota : Jakarta
Tahun terbit : Cetakan pertama 1928
Cetakan keempat puluh : tahun 2011
Tebal Novel : 242 halaman
ISBN: 979_407_064_5
Novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis ini menceritakan kisah cinta antara pemuda pribumi dengan seorang gadis Eropa. Seorang pemuda asal Minangkabau bernama Hanafi, berpendidikan tinggi dan memiliki cara pandang kebarat-baratan. Bahkan, ia menganggap rendah bangsanya sendiri. Sikap dan sifatnya tidak menggambarkan bahwa ia adalah seorang Bumiputera karena ia berada di tengah lingkungan yang menganut nilai-nilai dan sikap hidup orientasi Barat.
Ibu Hanafi sendiri adalah seorang janda, ayahnya sudah meninggal saat ia masih kecil, sehingga ibunya membesarkan Hanafi seorang diri. Meskipun membesarkan putranya seorang diri, ibunya ingin Hanafi menjadi orang hebat sehingga ia selalu berusaha keras untuk membiayai sekolah Hanafi.
Hanafi menjadi salah satu orang yang beruntung dibandingkan warga Solok lainnya, karena kuatnya tekad sang Ibu untuk menyekolahkan Hanafi ke jenjang yang lebih tinggi. Akhirnya, Hanafi bisa bersekolah di Betawi, sang ibu dan warga Solok lainnya menaruh harapan yang besar terhadap Hanafi.
Pada saat bersekolah di Hogereburgerschool (HBS), Hanafi dititipkan pada keluarga Belanda, sehingga segala tingkah lakunya seperti orang seorang Eropa. Bahkan setelah lulus dari HBS pun, pergaulan dan tingkah lakunya tak lepas dari pergaulan orang-orang Eropa. Ia bekerja di kantor Binnenlands Bestuur (BB) sebagai asisten residen di Solok. Meskipun Hanafi adalah pemuda asli pribumi, namun segala tingkahnya sudah terpengaruhi kebarat-baratan.
Harapan ibu Hanafi dan masyarakat Solok tinggal harapan. Hanafi merasa bahwa budaya dan cara hidup orang Eropa adalah yang paling baik dari cara hidup bangsanya sendiri. Selain membenci kebudayaan tempat ia dilahirkan, ia juga sering membantah perkataan ibunya. Puncaknya adalah saat ibunya berniat menjodohkannya dengan anak dari pamannya, Rapiah. Padahal, Hanafi sudah jatuh cinta dengan Corrie, gadis Eropa yang sudah ia anggap sebagai sahabat sendiri.
Sejak kecil, Hanafi sudah berteman dengan Corrie Du Busse, gadis Indo-Belanda yang sangat ayu parasnya. Semua orang mendambakan ingin menjadi kekasih Corrie. Karena sering bersama, benih cinta pun hadir diantara keduanya. Corrie mencintai Hanafi begitu juga sebaliknya, Hanafi sangat mencintai Corrie. Namun, cinta mereka terhalang oleh perbedaan bangsa. Seorang Bumiputera yang menikah dengan keturunan orang Belanda akan dijauhi oleh para sahabatnya dan orang lainnya. Begitu juga sebaliknya, orang Belanda tidak akan peduli dengan suami dari gadis Belanda jika ia menikah dengan keturunan Bumiputera.
Hingga suatu saat, Corrie memutuskan meninggalkan Minangkabau untuk menghapus perasaannya terhadap Hanafi. Selain menghindar dari Hanafi, ia juga berniat melanjutkan pendidikan di sana. Hanafi tidak pernah lupa mengirimkan surat kepada Corrie tapi satupun tidak dibalasnya. Ayah Corrie, Tuan Du Busse, adalah seorang arsitek. Setelah pensiun dari pekerjaannya, ia memutuskan untuk menjaga anak semata wayangnya.
Sedangkan ibu Hanafi ingin menikahkan Hanafi dengan Rapiah. Rapiah adalah sepupu Hanafi asli Minangkabau yang berperangai halus, sederhana dan juga taat pada adat dan tradisi setempat. Ibu Hanafi menikahkan mereka untuk membalas jasa ayah Rapiah yang sudah membiayai semua pendidikan Hanafi.
Hanafi sudah cinta mati dengan Corrie sehingga ia selalu menolak perintah ibunya. Tapi hutang budi yang selalu sang ibu katakan, membuat Hanafi tidak bisa melakukan apapun. Hanafi akhirnya menerima pernikahan ini dengan terpaksa. Cintanya kepada Corrie tidak pernah padam sehingga Rapiah tetap tidak bisa menggantikan Corrie.
Hanafi bahkan tidak segan untuk berbuat kasar terhadap Rapiah bahkan dia juga sering membentak Rapiah. Rapiah tidak melawan, ia sabar dengan kelakuan suaminya. Dua tahun usia pernikahan, mereka dikaruniai seorang putra yang diberi nama Syafei. Meskipun demikian, Hanafi masih bersikap kasar dengan Rapiah. Ia sering memukul dan mencaci Rapiah. Rasa cinta belum juga timbul untuk Rapiah.
Suatu ketika, Hanafi digigit oleh anjing gila di pergelangan tangannya sehingga mengharuskan ia ke Betawi. Ia sangat senang karena ia berpikir disana ia akan berjumpa dengan Corrie. Ia meninggalkan ibu, istri dan anaknya di Solok. Singkatnya, sesampainya di Betawi ia berjumpa dengan gadis Eropa yang tak lain adalah Corrie.
Mereka menghabiskan waktu bersama seperti dulu. Seminggu sudah Hanafi di Betawi, ia bekerja di kantor BB sebagai commies. Meskipun gaji awalnya sangat kecil, ia sangat senang karena ia sudah berjumpa dengan pujaan hatinya. Hanafi berusaha keras untuk mendapatkan hati Corrie, ia juga rela berpindah kewarganegaraan Eropa jikalau Corrie mau menerimanya.
Karena rasa ibanya, akhirnya Corrie mau menerima Hanafi walaupun dengan segala resiko yang harus Corrie terima. Mereka berdua menikah di rumah teman Belandanya. Sejak pernikahan mereka, Corrie mulai dijauhi oleh teman Belandanya. Sementara di Solok, ibu dan istri Hanafi sudah mendengar bahwa Hanafi menikah dengan Corrie. Biarpun demikian, Rapiah tetap setia menunggu Hanafi pulang ke Solok.
Selama pernikahan Hanafi dan Corrie, bukannya ketentraman yang di dapatkan melainkan pertengkaran yang terjadi siap saat. Hanafi selalu menuduh Corrie dengan tuduhan yang tidak pernah benar. Hingga suatu hari, Corrie sudah tidak tahan dan akhirnya Corrie kabur dari rumah dan menuju ke Semarang. Karena keangkuhan dan kesombongannya, Hanafi tidak diterima oleh bangsa Melayu maupun Eropa.
Setelah beberapa hari ditinggalkan Corrie, akhirnya Hanafi mengetahui bahwa Corrie sedang berada di Semarang dan dia pun menyusul kesana. Sesampainya disana, ia menerima berita buruk. Corrie dilarikan ke rumah sakit karena menderita sakit keras. Corrie menderita kolera.
Hingga akhirnya, nyawa Corrie tidak bisa diselamatkan lagi. Lalu, Hanafi pulang ke Solok untuk menemui ibunya. Setelah beberapa hari di Solok, ia jatuh sakit karena menelan enam butir sublimat, yang menyebabkan Hanafi selalu muntah darah dan akhirnya merenggang nyawa.
Pesan moral yang didapat dari kisah Hanafi ini yang sesuai dengan keadaan saat ini yaitu bukan tentang perihal pendidikan gaya barat, banyak anak Indonesia yang menempuh pendidikan di negara barat tapi mereka masih menjunjung tinggi nilai ketimuran dan masih mencintai Indonesia. Bukan hanya cinta beda negara, semua tau bahwa menikah bukan hanya menyatukan dua orang tapi menyatukan dua kebudayaan dan dua keluarga yang berbeda. Dari Hanafi kita belajar bagaimana menentukan sikap dan mental kita.
Peresensi bernama Nadiatun Mutmainnah, Mahasiswi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Ia merupakan salah satu anggota magang di UKM Pers DETaK USK.
Editor: Sri Elmanita S