Beranda Buku Pentingnya Status Sosial dalam Anak dan Kemenakan

Pentingnya Status Sosial dalam Anak dan Kemenakan

BERBAGI
Buku Anak dan Kemenakan Karya Marah Rusli. (Shahibah Alyani/DETaK)

Resensi | DETaK

Judul Buku      : Anak dan Kemenakan
Penulis            : Marah Rusli
Tebal Buku     : 336 halaman
Penerbit          : Balai Pustaka
Tahun Terbit   : 1956

“Jika perjodohan kita memang ada, tak seorang manusia pun dapat menceraikan kita. Bukahkah garam di laut, asam di darat, bertemu juga dalam kuali?” – Mr. Yatim

Iklan Souvenir DETaK

Menyinggung sastrawan dari angkatan Balai Pustaka, tidak akan terlepas dari Marah Rusli, terkenal dengan julukan Bapak Roman Modern Indonesia yang tetap mengabdi sebagai dokter hewan hingga pensiun pada tahun 1952. Karya fenomenalnya adalah Sitti Nurbaya, namun kita tidak patut pula melupakan maha karyanya yang lain, Anak dan Kemenakan.

Novelnya yang satu ini pun tidak jauh berlatarkan tanah Minang, dengan alur yang serupa, yaitu pernikahan paksa yang dilakukan karena keadaan dan adat warga Padang saat itu. Namun jika Sitti Nurbaya digadangkan mirip dengan Romeo and Juliet karyanya William Shakespeare, Anak dan Kemenakan berbeda.

Salah satu roman terbaik dari Marah Rusli ini menceritakan tentang cinta dua pasang insan, yaitu Mr. Muhammad Yatim dengan Puti Bidasari, dan dr. Aziz dengan Sitti Nurmala, yang terhalang akibat persoalan masyarakat yang mempermasalahkan status kebangsawanan dalam suatu hubungan. Konon, keempat sahabat ini memang sudah dikenal orang banyak sebagai empat serangkai, yang ikatannya sangat kuat.

Mr. Yatim adalah anak angkat dari Sutan Alam Sah yang baru saja kembali dari Belanda setelah menyelesaikan pendidikan Master Ilmu Hukum. Sekembalinya ke Padang, ia berprofesi sebagai jaksa yang terkenal akan keadilannya memutuskan suatu perkara. Sang ayah berencana untuk menikahkan Mr. Yatim dengan keponakannya, Puti Bidasari, yang merupakan anak dari kakaknya sendiri, yaitu Puti Renosari.

Namun, Renosari tidak menghendaki pernikahan tersebut dikarenakan belum diketahui dengan jelas asal usul dari Mr. Yatim mengenai siapa orang tuanya, sehingga tidak jelas pula status sosialnya. Bahkan rumornya, Mr. Yatim adalah anak seorang tukang pedati yang miskin. Berbeda dengan Bidasari, yang memang jelas seorang turunan bangsawan. Padahal, Mr. Yatim dengan Bidasari sudah lebih dahulu menjalin kasih bahkan sudah merencanakan ke jenjang yang lebih lanjut.

Kejadian ini diambil kesempatan oleh Baginda Mais, saudagar kaya yang merupakan ayah dari Sitti Nurmala. Ia ingin menjadikan Mr. Yatim sebagai menantunya. Padahal Mr. Yatim sendiri tahu bahwa Nurmala merupakan kekasih dari sahabatnya, dr. Aziz. Adapun agar Bidasari tidak lagi berhubungan dengan Mr. Yatim yang pastinya akan mengganggu rencana Baginda Mais, ia menyarankan kepada Renosari agar anaknya dijodohkan saja dengan Sutan Malik, yang juga seorang turunan bangsawan. Diimingi dengan seluruh biaya yang diperlukan akan ditanggung oleh Baginda Mais, tentu senang bukan kepalang sang ibu dalam perjodohan anak semata wayangnya ini.

Namun mengingat bahwa Sutan Malik merupakan keponakan dari Sutan Pamenan, yang kedua paman-ponakan ini sangat gemar berjudi, membuat Bidasari gelisah akan kehidupan nantinya. Masalah ini pun ia ceritakan kepada tiga sahabatnya. dr. Aziz yang posisinya saat itu tidak terlibat, memiliki taktik untuk membatalkan pernikahan paksa mereka.

Ternyata Sutan Malik sendiri pernah terlibat dalam pembakaran rumah seorang tetangganya, bahkan hingga melenyapkan nyawa pemiliknya. Tidak hanya sampai situ, namun ia juga kerap menindas sepupunya, Marah Udin, yang merupakan anak kandung Sutan Pamenan. Bahkan Sutan Pamenan tidak memerdulikan Udin yang dijahati, justru lebih mengagungkan keponakannya untuk berbuat sesukanya. Hingga akhirnya Udin meninggal.

Ini yang digunakan dr. Aziz untuk membatalkan pernikahan paksa sahabatnya, yaitu mengancam Sutan Pamenan, kalau tetap melanjutkan pernikahan maka kasus kejahatan yang pernah dilakukan oleh Sutan Malik akan dibawa ke ranah hukum. Tentu saja Sutan Pamenan yang sangat menyayangkan keponakannya tidak ingin nama besarnya tercoreng. Sehingga pada hari itu, tidak jadi Sutan Malik menikah dengan Bidasari atas perintah Sutan Pamenan

Akibat pernikahan paksa Bidasari yang berhasil digagalkan, pernikahan antara Mr. Yatim dan Nurmala pun tidak dijadikan. Namun bagaimana juga, perbedaan status sosial antara Mr. Yatim dengan Bidasari tetap menjadi penghalang mereka untuk menikah. Begitu pandangan kaum tua pada masa itu.

Masih dalam kebimbangan akan kelanjutan hubungan mereka, tiba-tiba datang Sutan Ali Akbar, seorang bangsawan dari kota jauh yang hendak mencari saudaranya yang hilang, Sutan Ali Rasyid. Ia meminta agar Sutan Alam Sah dapat membantunya, bersama dengan Mr. Yatim pula, pencarian pun mereka lakukan. Hingga akhirnya pencarian ini juga menguak siapa orang tua dari Mr. Yatim yang sebenarnya.

Novel yang dibawakan dengan alur campuran ini berhasil membuat pembaca puas dengan akhir yang dicapai, happy ending. Mungkin beberapa dari kita sudah bisa menebak akan ke mana dibawa, bagaimana akhirnya, namun tidak akan terpikirkan ternyata begitu jalannya. Mr. Yatim jelas akan menikahi Bidasari, ‘kenapa bisa’ yang menjadi puncaknya. Akhir yang bahagia ini juga menjadi letak perbedaan dengan karya Marah Rusli yang satu lagi, Sitti Nurbaya.

Belum lagi adanya plot twist di sela-sela konflik. Dari Nurmala yang ternyata juga bukan anak kandung dari Baginda Mais, sampai pengungkapan orang tua Mr. Yatim sendiri. Jika sedari awal dijelaskan Mr. Yatim memang bukan anak kandung dari Sutan Alam Sah, kita tidak akan kaget apabila di akhir dikemukakan siapa orang tua Mr. Yatim yang sebenarnya, tidak seperti Nurmala yang tiba-tiba dikejutkan dengan identitas aslinya. Namun orang yang tidak diduga-duga pula, ternyata adalah orang tua kandung Mr. Yatim. Marah Rusli benar piawai mengemas karangannya.

Bahasa yang digunakan dalam novel ini adalah campuran bahasa Melayu. Mungkin sedikit sulit dipahami, tapi lama-kelamaan akan terbiasa. Di bagian belakang novel juga ada glosarium untuk memudahkan kita menerjemahkan beberapa kosa kata Melayu. Novel ini juga tidak begitu sesuai dengan kehidupan anak muda sekarang. Selain menyampaikan persoalan cinta dan status sosial, novel ini juga menggambarkan pepatah ‘Anak dipangku, kemenakan dibimbing’, yang mana adat dalam pepatah tersebut menjelaskan bahwa seharusnya antara anak dengan keponakan disamakan perlakuannya, sedangkan masyarakat waktu itu justru lebih mengutamakan keponakan sehingga tanggung jawab terhadap anak terabaikan.

Namun jika tidak melalui buku, dari mana lagi kita akan mempelajari sejarah. Melalui Anak dan Kemenakan, kita belajar bahwa kerasnya adat bagaimana pun tetap harus dihormati. Serta perbedaan pendapat yang ada pada kita hendaknya tidak dijadikan inti perseteruan, tapi dicari titik tengahnya. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. []

Peresensi adalah Shahibah Alyani, mahasiswi Program Studi Teknik Geofisika, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala. Ia juga merupakan salah satu anggota di UKM Pers DETaK USK.