Beranda Buku Meretas atau Diretas: Ruang Tak Terbatas dan Defisit Identitas

Meretas atau Diretas: Ruang Tak Terbatas dan Defisit Identitas

BERBAGI
ist.

Resensi | DETaK

Judul Buku     : Meretas atau Diretas (Demokrasi, Kerja, dan Identitas)

Penulis            : Yuval Noah Harari & Audrey Tang

Iklan Souvenir DETaK

Penerjemah   : Sengon Karta

Penerbit         : Semut Api, Yogyakarta

Cetakan          : Edisi Pertama, November 2020

Tebal              : viii+72 halaman, 13×19 cm

ISBN                : 9879995198312

Apa yang mungkin muncul pertama kalinya dalam benak kepala Anda mengenai ruang tak berbatas? Angkasa raya? Atau mungkin kepada hal yang lebih teologis; dimensi ghaib?

Sebelum obsesi fantasi Sutradara Stanley Kubrick lahir melalui film 2001: A  Space Odyssey pada hampir 5 dekade lalu, tahun 1968, seorang warga negara Amerika Serikat bernama Neil Amstrong lebih dulu merubuhkan tembok bayangan kita dari belenggu ruang kedap biru bernama bumi. Ia membuka kemungkinan kepada kehidupan di ‘ruang yang lain’.

Mark Zuckerberg, melalui karya aplikasinya yang lahir dari sebuah kamar asrama di Universitas Harvard, di mana awalnya hanya diciptakan sebagai medium interaksi ‘maya’ antar mahasiswa di kampusnya dalam lingkar komunal, tak pernah ia bayangkan kini akan digunakan oleh hampir milyaran orang di seluruh dunia. Facebook kemudian menjadi ruang kehidupan alternatif  yang masif nan fenomenal.

Berkat teknologi digitalisasi, virtual world dan lainnya, transformasi kehidupan kini telah luar biasa signifikan berubah. Interaksi manusia abad ini menjadi sedemikian telanjang, tak bersekat, dan universal. Setiap individu begitu mudah untuk mengglobal, melebur dengan banyak warna dan rupa, baik kepada mereka yang keriting-hitam, lurus-putih, atau ikal-sawo matang. Entah keniscyaan, tetapi identitas dalam situasi ini selalu rentan untuk disenyap-luruhkan (lost identity).

Ketika saya melihat perkembangan teknologi pemantauan baru (new surveillance technology), salah satu hal paling menarik adalah saat seseorang di luar sana dapat mengenal saya lebih baik daripada saya mengenal diri saya sendiri (hal. 3).

AI (Artificial Intellgence), IoT (Internet of Things), atau social media diakui memang begitu signifikan membantu kehidupan manusia. Namun tetap, selalu ada kontradiksi atau pertentangan. Dalam realitasnya, teknologi kerap tak terlepas sebagai alat monopoli atau manipulasi. Sering, secara tidak sadar, kita terjeruji dalam dinding alienasi yang bukan pada identitas diri. Banyak kemudian jati diri semu dan palsu mengemuka: mendominasi atas nama keberterimaan dan pengakuan secara sosial.

 Segala sesuatu masih dapat otonom, Anda masih berkemungkinan secara sadar melakukan pencarian, melihat streaming langsung atau apapun. Namun semua bagian yang tidak dapat diprediksi, seperti menekan tombol emosional, tombol dopamin, atau apapun itu, hal itu akan menghilang dan menggantinya dengan ucpan Zen, atau ucapan Adler, atau ucapan apapun (hal. 47).

Terdapat cukup banyak kasus kejahatan atas nama teknologi. UU ITE, sebagai bagian dari norma sosial yang wajib ditaati (dan ditakuti?) di Indonesia, adalah bukti dikotomi teknologi dewasa ini. Amnesty International Indonesia (AII) setidaknya mencatat terdapat 84 kasus pelanggaran berekspresi sepanjang tahun 2021. Dalam lingkup politik bernegara, demokrasi dan teknologi memang tak lepas dari pergesekan.

Belum lagi sebagian dari kehadirannya yang dinilai menantang ancaman pada eksistensi keberadaan manusia. Otomasi mesin misalnya, kita lihat perlahan mendegradasi, menelan kerja-kerja kemanusiaan belakangan ini. Cukup sulit untuk menunjukkan ruang kesejahteraan pada pilihan pekerjaan hari ini tanpa penguasaan teknologi.  Modernisasi seolah merupakan istilah yang menjadi jurang asing ketertinggalan dari kemajuan, bukan yang menjembatankan.  

Buku ini secara garis besar menyinggung hulu persoalan-persoalan tersebut, yaitu disrupsi teknologi yang radikal dan bias, kecemasan pada masa depan akan pengambil-alihan peran, hingga kediktatoran digital. Tentu, dalam bingkai analisis mutakhir peristiwa abad ini: pandemi Covid-19.

Upaya penuangan kembali dalam wujud teks buku oleh Penerbit Semut Api dari webinar yang diadakan RadicalxChange Foundation, mengundang pembicara Yuval Noah Harari (Sejarawan) dan Audrey Tang (Menteri Digital Taiwan pertama) dalam tema To Be or Not To Be Hacked? The Future of Democracy, Work, and Identity tentu patut diapresiasi sebesar-besarnya pada upaya-upaya kerja literasi dan keabadian.

Setelah membaca, alih-alih mencerahkan dari persoalan, silang isian pikiran antara Harrari dan Audrey Tang pada setiap bab halaman buku ini justru membawa kita untuk menyelam pada titik remang, yaitu mengkritisi, sekaligus merefleksi. Bertahan tak diretas, dan berusaha untuk meretas.[]

Peresensi adalah Afthon Ilman Huda. Bergiat di Komunitas Endonesa Literate, Lombok Barat. Karyanya masuk dalam Antologi Puisi Menenun Rinai Hujan (2019).

Editor: Indah Latifa