Beranda Buku Ketika Kecantikan Menjadi Sebuah Kutukan

Ketika Kecantikan Menjadi Sebuah Kutukan

BERBAGI

Resensi | DETaK

Penulis : Eka Kurniawan
Tahun Terbit : 2002
Tebal Buku : 512 Halaman
Harga : Rp.125.000,-


Tentang Penulis

Iklan Souvenir DETaK


Bagi orang yang sering membaca buku, terutama bagi pecinta sastra Indonesia, nama Eka Kurniawan tentu tidak terdengar asing. Ia adalah salah satu penulis Indonesia paling terkenal di kancah internasional. Karyanya seperti Cantik Itu Luka dan Lelaki Harimau telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan mendapat pengakuan dari berbagai kritikus sastra dunia. Bahkan, ia sering disebut sebagai penerus Pramoedya Ananta Toer karena gaya penulisannya yang kuat dan penuh kritik sosial.


Eka Kurniawan lahir di Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, pada 28 November 1975. Ia menamatkan pendidikan tinggi dari Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Debut novel pertamanya meraih banyak perhatian dari pembaca sastra Indonesia, yaitu buku Cantik itu Luka yang diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Jendela pada tahun 2002, dan terbit kembali oleh Gramedia Pustaka pada 2004. Buku ini menjadi Best-seller dan telah diterjemahkan ke dalam 34 bahasa. Novel yang populer ini berhasil meraih penghargaan “World Readers” pada tahun 2016, dan juga masuk ke dalam daftar 100 buku terkemuka versi The New York Time.


Sinopsis Buku


Buku ini mengisahkan tentang seorang perempuan bernama Dewi Ayu yang memiliki kecantikan bak bidadari. Darah Belanda mengalir dalam dirinya yang diwarisi dari ayah dan ibunya, seorang pemilik kebun yang pernah menguasai tanah-tanah subur di masa kolonial. Berlatar di Kota Halimunda, pada masa penjajahan Belanda, Jepang, dan Paca Kemerdekaan. Pada akhir masa kolonial Belanda, Dewi Ayu dipaksa menjadi pelacur dan bekerja untuk tentara Jepang. Sejak saat itu, ia menjadi pelacur yang paling terkenal dan paling cantik di seluruh tanjung Kota

Halimunda, juga yang paling mahal bayarannya, bahkan sampai Jepang pergi dari Indonesia dan Bendera Indonesia dikibarkan, kecantikan Dewi Ayu tetap tidak ada yang bisa mengalahkan. Dari hasil pekerjaanya itu, ia memiliki 4 orang anak yang tidak diketahui siapa ayahnya. Anak-anak Dewi Ayu semuanya perempuan dan terlahir tidak kalah cantik dari ibunya, Karena memiliki darah campuran Jepang, Belanda, dan Indonesia, tentu kecantikan dari anak-anak Dewi Ayu mengundang gairah dan kekaguman dari kaum pria. Kecantikannya itu menurun kecuali kepada anak terakhirnya yang bernasib memiliki wajah dan fisik buruk rupa. Namun, begitu ia melahirkan anak bungsunya itu, tanpa melihat wajahnya sekalipun, Dewi Ayu langsung memberikannya nama ‘Si Cantik’, bak sebuah ironi.


12 hari setelah melahirkan ‘Si Cantik’, Dewi Ayu meninggal dunia. Namun, ia bangkit dari kematiannya dua puluh satu tahun setelah ia dikuburkan. Ia bangkit dari kuburnya, menguak kutukan dan tragedi keluarga yang telah terentang sejak ia masih remaja. Kutukan pada Dewi Ayu dan keturunannya itu terjadi karena kecantikan mereka yang membawa malapetaka, bahkan si Bungsu yang terlahir buruk rupa pun ikut terkena getah dari kutukan tersebut, sehingga Dewi Ayu dan anak-anaknya memiliki kehidupan yang tidak begitu bahagia dan berakhir tragis.


Tentang Buku


‘Cantik Itu Luka’ adalah buku dengan genre romantis, sejarah, dan realisme magis, yang mengajak pembaca untuk merenungkan sisi kelam sejarah, penderitaan, dan ironi kehidupan melalui kisah tragis yang dibalut dengan fantasi realistis. Eka Kurniawan menghadirkan narasi yang penuh satire, humor gelap, dan kritik sosial terhadap kolonialisme, kekerasan, serta posisi perempuan dalam masyarakat.


Memiliki cerita yang kompleks, buku ini ditulis dengan menggunakan banyak simbolis dan metafora untuk menyampaikan kritik sosial yang dipadu dengan humor dan sarkastik. Lantas menggabungkannya dengan unsur magis. Semua karakter dalam buku ini diceritakan sebagaimana tokoh utama, memiliki latar belakang sendiri dan pengaruhnya yang besar terhadap keseluruhan cerita, sehingga pembaca akan susah membedakan tokoh sentral dalam buku ini.

Novel ini sendiri memiliki alur maju mundur, dan ditulis dengan indah, sehingga pembaca tidak akan bingung dengan transisi dari waktu-waktu tertentu. Meskipun novel ini merupakan novel fiktif, Eka Kurniawan menyelipkan nilai-nilai sejarah yang nyata di balik kisah fiktif tersebut. Para pembaca dapat menjadikan novel ini sebagai salah satu media untuk belajar sejarah, yang berbentuk karya sastra.


Kelebihan Buku


Buku ini memiliki banyak kelebihan sehingga menjadikannya salah satu karya sastra terbaik di Indonesia dan meraih beberapa penghargaan tingkat Internasional. Terutama karena Tema yang diangkat dan jalan ceritanya yang unik, dibalut dengan gaya bahasa yang ringan dan terkadang blak-blakan membuat pembaca seakan dapat merasakan langsung penderitaan yang dialami setiap karaternya.


Pembaca akan diajak untuk menyelami makna dari kecantikan yang dimiliki oleh setiap wanita dengan kisah tragis yang penuh ironi, di mana keindahan dan penderitaan berjalan berdampingan dalam kehidupan para tokohnya. Para pembaca juga akan diajak berpikir bagaimana sejarah, trauma, dan sistem sosial yang tidak adil dapat membentuk kehidupan seseorang. Melalui tokoh-tokohnya yang kompleks, novel ini menggambarkan bagaimana kekuasaan, patriarki, serta kolonialisme meninggalkan jejak panjang dalam kehidupan masyarakat. Tentunya buku ini akan sangat cocok bagi orang yang ingin mendalami sejarah dan memahami lebih dalam tentang peran seorang wanita dalam kehidupan bermasyarakat. Selain terhibur, kita juga akan belajar kembali tentang nilai-nilai sosial dan sejarah.


Kekurangan Buku


Selain kisahnya yang kompleks, buku ini juga memiliki bahasa yang berat untuk dipahami. Untuk adegan-adegan kekerasan dan yang adegan seksual, sang penulis cenderung menyampaikannya dengan bahasa yang ‘blak-blakan’ sehingga tidak dianjurkan untuk dibaca anak dibawah umur. Jalan ceritanya juga agak sedikit memusingkan karena Eka menceritakan latar belakang satu karakter diatas cerita karakter yang lain, sehingga terkesan seperti cerita yang ditumpuk.

Penulis adalah Zarifah Amalia, mahasiswi Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Syiah Kuala.
Editor: Amirah Nurlija Zabrina