Opini | DETak
Dalam dunia perkuliahan, tugas kelompok sering kali dijadikan salah satu metode evaluasi utama. Dosen dari berbagai jurusan dan fakultas hampir pasti memasukkan tugas kelompok ke dalam daftar penilaian, dengan alasan untuk mendorong kolaborasi, melatih kemampuan komunikasi, dan membiasakan mahasiswa bekerja dalam tim. Namun, di balik tujuan mulia tersebut, kenyataannya tugas kelompok tidak selalu menjadi solusi ideal. Bagi sebagian mahasiswa, tugas kelompok justru menjadi sumber stres baru, bahkan lebih berat daripada tugas individu.
Mengapa tugas yang seharusnya melatih kolaborasi ini justru berubah menjadi beban? Apakah tugas kelompok benar-benar bermanfaat dalam proses belajar, atau hanya sekadar cara dosen “mengurangi kerja”?

Permasalahan klasik yang paling banyak dirasakan oleh mahasiswa adalah ketimpangan kontribusi dalam kelompok. Dalam setiap kelompok, hampir selalu ada satu atau dua orang yang bekerja ekstra keras, sementara yang lain hanya “numpang nama”. Fenomena ini bukan lagi rahasia umum. Orang yang rajin dan merasa bertanggung jawab akan mengerjakan seluruh isi tugas, dari pengumpulan data hingga penyusunan dan presentasi. Sementara itu, anggota lain terkadang hanya membantu sedikit, cukup hadir saat kerja kelompok tanpa melakukan apapun, atau sekedar ikut presentasi tanpa tau materi apa yang dibahas, dan yang lebih parah adalah tidak peduli sama sekali.
Ketimpangan ini menimbulkan frustrasi bagi mereka yang benar-benar berkontribusi. Tidak hanya mereka merasa dimanfaatkan, tetapi mereka juga merasa nilai yang diperoleh menjadi tidak adil. Setiap anggota kelompok memperoleh nilai yang sama, tanpa mempertimbangkan seberapa besar kontribusi individu.
Celakanya, ketika mahasiswa yang benar-benar mengerjakan ingin menyuarakan keluhan mereka, banyak yang memilih untuk diam. Rasa takut dimusuhi oleh teman sekelompok atau dipojokkan secara sosial membuat mereka lebih memilih memendam ketidakadilan tersebut, meskipun hati kecil mereka menolak.
Beberapa dosen mencoba untuk membuka ruang diskusi dengan menganjurkan agar mahasiswa tidak menulis nama anggota yang tidak berkontribusi, atau melaporkan secara pribadi jika terjadi ketimpangan. Namun, kenyataannya tak semudah itu. Mahasiswa yang ingin bersikap jujur justru sering kali dihadapkan pada dilema sosial.
Ada ketakutan bahwa laporan mereka akan diketahui, atau bahkan tersampaikan secara tidak sengaja. Mahasiswa khawatir dianggap tidak solid oleh teman kelompok, dicap sebagai “pengadu”, atau dijauhi secara sosial. Rasa tidak nyaman ini membuat banyak mahasiswa memilih untuk tetap menuliskan nama semua anggota demi menghindari konflik.
Ironisnya, ada pula dosen yang tidak menunjukkan kepedulian terhadap permasalahan internal dalam kelompok. Bahkan ketika ada mahasiswa yang memberanikan diri untuk melapor, tanggapan yang diberikan cenderung mengarah pada anggapan bahwa hal tersebut adalah sepele dan bagian dari tanggung jawab dan kedewasaan mahasiswa. Bagi sebagian dosen, mengatur dinamika kerja kelompok dianggap sebagai proses pembelajaran yang harus dijalani sendiri oleh mahasiswa, tanpa perlu banyak intervensi.
Dari sisi lain, beberapa dosen menjadikan tugas kelompok sebagai alternatif dari proses belajar-mengajar secara langsung. Dalam beberapa kasus, dosen memilih untuk memberikan tugas kelompok yang memakan waktu berminggu-minggu sebagai ganti dari aktivitas kuliah rutin. Hal ini bukan tanpa alasan, dosen pun memiliki kesibukan akademik yang padat, mulai dari mengajar di berbagai kelas hingga mengurus kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat.
Namun, praktik semacam ini menimbulkan pertanyaan: apakah tugas kelompok diberikan murni sebagai strategi pembelajaran, atau justru karena alasan efisiensi waktu mengajar? Apalagi jika pola yang sama terus berulang dari semester ke semester, mahasiswa menjadi bertanya-tanya tentang esensi proses belajar yang seharusnya mereka dapatkan secara langsung dari interaksi dengan dosen.
Selain beban kerja yang tidak adil, mahasiswa yang menjadi “tulang punggung” dalam kelompok juga mengalami tekanan psikologis. Mereka merasa tertekan karena harus menyelesaikan tugas dengan baik agar nilainya tidak turun, tapi pada saat yang sama juga harus menggendong beban anggota kelompok yang tidak kooperatif.
Situasi ini bisa memperburuk kesehatan mental mahasiswa. Rasa marah, jenuh, lelah, dan frustrasi kerap muncul, tetapi tidak bisa diungkapkan. Apalagi jika tugas kelompok berlangsung secara terus-menerus dalam satu semester dari berbagai mata kuliah. Beban berganda dari lima sampai enam kelompok membuat mahasiswa kehilangan waktu istirahat, waktu pribadi, dan bahkan waktu belajar materi lain yang lebih penting.
Sementara itu, mahasiswa yang tidak aktif justru tidak mengalami tekanan apapun. Mereka tahu bahwa tetap akan mendapatkan nilai, meski tidak bekerja. Sistem ini menciptakan ketimpangan dan ketidakadilan yang tidak terlihat secara langsung, namun sangat dirasakan oleh mahasiswa yang berjuang sendiri di balik nama kelompok.
Tugas kelompok memiliki potensi besar untuk melatih kerja sama, tanggung jawab kolektif, dan kemampuan komunikasi mahasiswa. Namun, tanpa sistem yang adil dan kesadaran bersama dari dosen maupun mahasiswa, tugas kelompok bisa menjadi beban yang memberatkan individu.
Sudah saatnya dunia akademik merefleksikan ulang pola pembelajaran semacam ini. Tugas kelompok bukan sekadar kewajiban administratif, melainkan harus menjadi ruang tumbuh yang sesungguhnya dimana mahasiswa belajar, berkembang, dan merasa dihargai dalam prosesnya. Jika dosen mampu mengarahkan dengan bijak dan mahasiswa menjalaninya dengan tanggung jawab, maka tugas kelompok bisa menjadi bagian penting dari pembelajaran yang sehat dan bermakna.
Penulis bernama Diffa Nailah, Mahasiswi Program Studi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Syiah Kuala.
Editor : Cut Irene Nabilah