Opini | DETaK
Meski Dewan Pers telah menggandeng Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) untuk meneken perjanjian Penguatan dan Perlindungan Aktivitas Jurnalistik Mahasiswa di Lingkungan Perguruan Tinggi sebagai landasan hukum pada 18 Maret 2024 silam, hal ini tidak mengubah banyak kehidupan pers kampus.
Masih dengan embel-embel kata ‘kampus’ yang melekat bersamanya, kegiatan pers kampus kerap dikaitkan dengan keinginan dan harapan kampus. Akibatnya esensi pers berupa keindependenan yang seharusnya melekat padanya tergantikan, menjadi ibarat lembaga hubungan masyarakat (humas) yang diwajibkan menjaga nama baik kampus.
Kenetralan pers kampus tidak lagi netral. Pers kampus tidak lagi menjadi pers kampus. Pers kampus hanya bertransformasi menjadi humas kampus 2.0 membantu humas kampus 1.0. Tahu begini, lebih baik mahasiswa fokus berkuliah saja. Daripada menjadi bulan-bulanan rekrorat dan lembaga mahasiswa, mending menjelma mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah pulang).
Jika begitu, hapuskan saja humas kampus. Jadikan pers kampus sebagai humas kampus. Terserah namanya akan menjadi apa, apakah tetap menjadi pers atau yang lain. Toh sama saja apapun ia dan meski sudah diatur dalam hukum, pokok kerjanya tetap menjaga nama kampus. Lebih baik lagi, tidak perlu boros sumber daya manusia.
Atau sebaliknya. Jika nekat, silakan bekukan LPM (Lembaga Pers Mahasiswa). Tapi tanggung sendiri akibatnya jika menjadi bahan omongan kampus lain. Paling mereka terbingung, kampus sekelas nomor satu terbaik di Sumatra, kedua terbaik di luar Pulau Jawa, dan peringkat ke-13 di terbaik di Indonesia versi Webometrics per 22 Februari 2024, tidak memiliki persma (pers mahasiswa)?
Kalau bagi mahasiswa tidak masalah. Malah untung, tidak perlu heboh mengurusi isu-isu kampus. Sungguh masih banyak kesibukan lain yang dapat dilakukan, contohnya menjadi mahasiwa kupu-kupu. Eh, siapa bilang mahasiswa kupu-kupu tidak baik? Mahasiswa jenis ini juga sibuk. Pastinya kesibukan menjaga IPK setiap semester lebih menguntungkan daripada menjaga nama baik kampus.
Jika dapat memilih, pers kampus tidak akan menyebarkan citra buruk. Jujur, mahasiswa pastinya juga ingin yang terbaik untuk kampusnya. Tentu ikut merasa malu jikalau berita memalukan bersumber dari kampusnya justru beredar. Namun bagaimana lagi, kadang kejadian faktual yang terjadi di lapangan berada pada luar kendali dan tak bisa diatur. Peristiwa pada kampus tidak selalu yang baik-baik.
Independen adalah kejunjungan tinggi nomor satu dalam pers. Bahkan hal ini telah tertuang dalam Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik yang berbunyi “Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk”. Bahkan diberi penjelasannya, “Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers”.
Sudah diatur pun, masih juga rutin terjadi intervensi dari pihak luar. Banyak macam ragamnya alasan mereka. Yang menyatakan berita tersebut merugikan mereka, yang menyampaikan isinya tidak benar karena menjatuhkan marwah. Ya sudah, kalau memang tidak ingin yang pemberitaan yang buruk-buruk, silakan berbuat baik. Pers hanya menjalankan tugas.
Dengan ancaman akademik akibat masih berada di bawah naungan kampus, persma menjadi tidak berkutik. Kebungkamannya laksana menuruti majikan besar yang menyokong keberadaannya. Kendati demikian, ia kerap dijadikan musuh oleh oknum lain. Namun tak dapat dipungkiri, mereka justru membutuhkan persma. Jangan munafik, pun persma masih memerlukan pihak luar.
Hubungan ini benar-benar realitas benci tapi cinta. Baiklah, sembari menunggu keindependenan persma dapat berdiri dengan tegak, mari jalani saja dahulu hubungan benci tapi cinta yang tidak berujung ini. Siapa tahu, suatu saat persma benar menjadi pers sesungguhnya. Pastinya hal ini lebih baik daripada menjadi mahasiswa kupu-kupu, bukan?
Penulis adalah Shahibah Alyani mahasiswa Jurusan Teknik Geofisika, Fakultas Teknik (FT) Universitas Syiah Kuala (USK).
Editor: Aisya Syahira