Opini | DETaK
Usulan penghapusan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) kini menjadi topik hangat di Indonesia. SKCK merupakan dokumen resmi yang diterbitkan oleh Kepolisian Republik Indonesia (Polri) untuk membuktikan apakah seseorang memiliki catatan kriminal atau tidak. Dalam beberapa tahun terakhir, SKCK sering kali menjadi syarat penting dalam berbagai keperluan administratif, seperti melamar pekerjaan, pengajuan visa, hingga pencalonan pejabat negara.
Usulan ini diajukan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenham) dan didasarkan juga pada banyaknya mantan narapidana yang kesulitan mencari pekerjaan karena adanya stigma yang melekat pada status mereka.

Pada masa orde Baru, surat ini dikenal dengan sebutan Surat Keterangan Kelakuan Baik (SKKB) dan kemudian berganti namanya menjadi SKCK. Berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Nomor 18 Tahun 2014, SKCK adalah surat keterangan resmi yang dikeluarkan oleh Polri kepada seorang pemohon untuk memenuhi permohonan tertentu. Penerbitan SKCK dilakukan berdasarkan hasil biodata dan catatan kepolisian seseorang. Masa berlaku SKCK adalah enam bulan sejak tanggal penerbitan. Jika masa berlaku habis, pemohon dapat memperpanjangnya atau membuat SKCK baru apabila sudah melebihi satu tahun.
SKCK memiliki fungsi yang bervariasi tergantung pada tingkat kepolisian yang menerbitkannya yaitu:
• Tingkat Mabes Polri: Digunakan untuk pencalonan pejabat negara seperti presiden, wakil presiden, anggota legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Selain itu, SKCK dari Mabes Polri diperlukan untuk pengajuan visa, izin tinggal tetap di luar negeri, naturalisasi kewarganegaraan, serta adopsi anak bagi warga negara asing.
• Tingkat Polda: Diperlukan untuk pengurusan paspor atau visa, pencalonan legislatif tingkat provinsi, serta warga negara Indonesia yang akan bekerja di luar negeri.
• Tingkat Polres: Digunakan sebagai syarat melamar pekerjaan di perusahaan vital atau menjadi pegawai negeri sipil (PNS), TNI, maupun Polri.
• Tingkat Polsek: Dibutuhkan untuk melamar pekerjaan di perusahaan swasta atau mencalonkan diri sebagai kepala desa dan sekretaris desa
Meskipun memiliki banyak fungsi, keberadaan SKCK juga menuai kritik. Salah satu kritik utama adalah dampaknya terhadap mantan narapidana yang kesulitan mendapatkan pekerjaan karena catatan kriminal mereka tercantum dalam dokumen ini. Hal ini dianggap diskriminatif dan menghambat integrasi sosial mereka.
Sehingga Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenham) mengusulkan untuk menghapus SKCK agar meningkatkan hak asasi manusia dan memberikan kesempatan kedua bagi mantan narapidana. Usulan ini sejalan dengan Pasal 3 huruf (d) Kapolri Nomor 18 Tahun 2014 mengenai nondiskriminasi. Dalam pasal tersebut menjelaskan mengenai prinsip nondiskriminasi hanya sebatas dalam hal pelayanan penerbitan Surat Keterangan Catatan Kepolisian, akan tetapi tidak mengenai Catatan Khusus yang diterima oleh seorang mantan narapidana. Semasa di lapas, seorang mantan narapidana dibina dan dididik sebaik mungkin oleh petugas lapas sehingga seorang mantan narapidana menyadari kesalahan dan tidak akan berbuat salah lagi.
Selain itu, penghapusan SKCK ini juga menimbulkan dampak positif dan dampak negatif, antara lain:
Dampak Positif
• Dengan penghapusan SKCK, mantan narapidana akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan tanpa stigma dari catatan kriminal mereka.
• Memudahkan eks narapidana untuk berintegrasi kembali ke masyarakat dan membangun kehidupan yang lebih baik.
• Tidak ada lagi diskriminasi bagi mantan narapidana.
• Menengakkan hak asasi manusia (HAM) bagi narapidana.
Dampak Negatif
• Ketika proses rekruitmen, perusahaan mungkin akan kesulitan dalam melakukan penilaian terhadap calon karyawan tanpa adanya informasi resmi mengenai catatan kriminal mereka.
• SKCK ini menjadi syarat yang diwajibkan untuk calon pekerja dalam proses pengajuan visa kerja. Sehingga dengan adanya SKCK ini dapat membuktikan bahwa seseorang tidak memiliki catatan kriminal yang dapat merugikan negara.
• SKCK juga digunakan dalam mengadopsi anak sehingga jikalau dihapus kita tidak akan mengetahui catatan kriminal dari orang tua angkat anak tersebut.
Dengan dihapusnya SKCK ini justru menimbulkan kekhawatiran terkait keamanan masyarakat dan efektivitas proses rekrutmen kerja tanpa adanya informasi tentang riwayat kriminal seseorang.
Penulis bernama Cut Irene Nabilah, Mahasiswi Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Syiah Kuala.
Editor: Nasywa Nayyara Tsany