Beranda Opini Liga Korupsi, Kompetisi yang Tak Pernah Usai di Negeri Ini

Liga Korupsi, Kompetisi yang Tak Pernah Usai di Negeri Ini

BERBAGI
Ilustrasi. (docs)

Opini | DETaK

Di tengah berbagai permasalahan yang dihadapi negeri ini, satu hal yang tampaknya tak pernah surut adalah maraknya korupsi di berbagai institusi pemerintahan. Ironisnya, korupsi bukan lagi sekadar tindakan individu, melainkan telah berkembang menjadi fenomena sistemik yang seolah-olah menjadi sebuah “liga” tersendiri di mana para pejabat berlomba-lomba memperkaya diri, sementara rakyat hanya menjadi penonton tanpa daya.

Dalam rentang 1 Tahun berbagai skandal korupsi terungkap, namun hukuman yang diberikan kerap kali jauh dari kata tegas. Banyak pejabat tinggi yang tertangkap tangan, tetapi seakan hanya bermain dalam sistem sirkular: ditangkap, dihukum ringan, bebas dengan cepat, lalu kembali menikmati kekuasaan. Bukankah ini mirip dengan pertandingan yang sudah diatur skenarionya? Sebuah liga yang tetap berjalan dengan aturan yang menguntungkan para pemainnya bukan penegakan hukum yang berpihak kepada keadilan, melainkan kepada para elit yang telah lama menguasai permainan ini.

Iklan Souvenir DETaK

Sementara itu, rakyat yang seharusnya menjadi penonton setia justru dipaksa membayar mahal harga tiket untuk menyaksikan sandiwara hukum yang dipertontonkan. Anggaran yang dikorupsi adalah uang rakyat, dana bansos yang diselewengkan berasal dari pajak masyarakat kecil, dan pembangunan yang seharusnya dinikmati bersama malah dijadikan ladang bisnis para pejabat tamak. Yang lebih menyakitkan, seolah-olah tidak cukup dengan praktik korupsi, mereka tetap berani berbicara soal moralitas dan kejujuran di depan publik. Apakah ini bukan bentuk penghinaan terhadap rakyat?

Di sisi lain, lembaga penegak hukum yang seharusnya menjadi wasit dalam pertandingan ini sering kali terlihat gamang dalam mengambil keputusan. Beberapa kasus besar menguap begitu saja, sementara yang lain hanya berakhir dengan hukuman ringan. Seakan sudah ada kesepakatan diam-diam bahwa liga ini harus tetap berjalan, karena banyak kepentingan yang harus dilindungi. Ketika masyarakat mulai bersuara, mereka justru diancam dengan berbagai cara, seolah-olah mengkritik korupsi adalah tindakan melawan negara.

Beberapa kasus korupsi yang terungkap di awal pemerintahan Prabowo antara lain:

  1. Kasus PT Asset Pacific: Tersangka dari PT Asset Pacific terlibat dalam dugaan korupsi izin ekspor minyak sawit mentah (CPO), dengan Kejaksaan Agung menyita uang tunai sebesar Rp450 miliar.
  2. Korupsi Dana Desa: Kasus ini melibatkan penyelewengan dana desa yang seharusnya digunakan untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat desa.
  3. Korupsi Tol Padang-Pekanbaru: Sebanyak 12 Aparatur Sipil Negara (ASN) dari ATR/BPN menjadi tersangka atas dugaan korupsi dalam proyek tol ini, dengan kerugian negara sebesar Rp27 miliar.
  4. Kasus PT ANTAM Tbk: Enam tersangka terlibat dalam produksi ilegal logam mulia merek LM Antam, yang menyebabkan kerugian besar bagi negara.
  5. Korupsi Dana Hibah NPCI: Dugaan korupsi dana hibah National Paralympic Committee Indonesia (NPCI) senilai Rp122 miliar melibatkan anggota DPRD Solo, Kevin Fabiano, yang kini telah ditahan.
  6. Korupsi Impor Gula: Tom Lembong ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus impor gula tahun 2015 yang merugikan negara hingga Rp400 miliar dan saat ini telah ditahan.
  7. Korupsi direktur utama Pertamina dengan total kerugian negara mencapai 1 kuadriliun.

Benar-benar ironi, sudah saatnya masyarakat berhenti menjadi sekadar penonton dalam liga ini. Reformasi di bidang hukum dan politik harus didorong dengan lebih serius, tanpa pandang bulu. Jika tidak, kita hanya akan terus melihat pertandingan yang sama setiap musimnya, dengan pemain yang mungkin berganti, tetapi tetap memainkan strategi yang sama.

Meskipun upaya pemberantasan korupsi gencar dilakukan, Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam laporannya mencatat bahwa pada tahun 2023 terdapat 791 kasus korupsi dengan 1.695 tersangka dan kerugian negara sebesar Rp28,4 triliun. Angka ini menunjukkan peningkatan dibanding tahun sebelumnya, yang mencatat 579 kasus dengan 1.396 tersangka dan kerugian negara sebesar Rp42,747 triliun.

Selain itu, ICW juga menyoroti bahwa pemerintah belum mendorong Rancangan UU Perampasan Aset untuk masuk dalam daftar program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2025. Ketiadaan mekanisme hukum yang memberikan efek jera bagi pelaku korupsi dapat berpotensi meningkatkan jumlah kasus korupsi dan kerugian negara di masa mendatang.

Mungkin, satu-satunya cara untuk menghentikan liga korupsi ini adalah dengan merobohkan stadionnya dan membangun sistem yang benar-benar baru di mana keadilan bukan hanya jargon politik, tetapi prinsip yang benar-benar ditegakkan tanpa kompromi. Keegoisan para pejabat elit merenggut hak-hak masyarakat, merusak tatanan hukum disuatu negara dan menenggelamkan diri pada kekayaan sementara. Terus menerus meneguk harta yang bukan jadi miliknya.

Dengan demikian, meskipun terdapat upaya signifikan dalam mengungkap kasus korupsi di awal kepemimpinan Presiden Prabowo, tantangan dalam pemberantasan korupsi masih memerlukan perhatian serius, termasuk penguatan regulasi dan penegakan hukum yang lebih efektif yaitu penarikan seluruh aset serta transparansi jatuhan hukuman bagi pelakunya.

Penulis bernama Amanda Tasya, mahasiswi Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Syiah Kuala

Editor: Sara Salsabila