Opini | DETaK
Hijab bukan sekadar simbol budaya atau pelengkap penampilan. Ia adalah bentuk ketaatan terhadap perintah Allah SWT, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an, khususnya dalam surat An-Nur ayat 31 dan Al-Ahzab ayat 59. Ayat-ayat tersebut menggarisb awahi bahwa aurat wanita harus ditutup secara sempurna,mencakup kepala hingga dada serta tidak boleh menampakkan lekuk tubuh.
Belakangan ini tren hijab tanpa pentul menjadi suatu tren yang populer di kalangan muslimah terkhusus di Indonesia, tentunya tren ini marak di kalangan remaja. Model hijab tanpa pentul dianggap lebih praktis, mudah di pakai dan dinilai mampu mengikuti perkembangan fashion modern. Namun di balik segala kemudahannya, model hijab ini kerap memunculkan perdebatan karena seringkali tidak sesuai dengan aturan berpakaian dalam islam.

Masalah utama bukan terletak pada bagaimana bentuk hijabnya, melainkan pada cara pemakaiannya. Jika hijab tanpa pentul dapat dikenakan dengan rapi dan menutup aurat, maka tidak bertentangan dengan syariat. Akan tetapi yang terjadi di sekarang, tren hijab tanpa pentul ini lebih banyak diterapkan di generasi muda. Banyak yang terjebak karena dianggap “praktis” sehingga acuh tak acuh terhadap fungsi dasar hijab tersebut.
Sayangnya tren hijab tanpa pentul yang banyak beredar justru tidak memenuhi syariat agama. Hijab yang dililit tanpa pentul yang sering kali memperlihatkan bagian leher, rambut, atau bahkan hanya menutupi sebagian kepala. Lebih dari itu, tidak sedikit yang mengenakan pakaian ketat sehingga penampilan lebih menonjolkan gaya ketimbang kesederhanaan yang dianjurkan oleh Islam.
Tren ini mencerminkan adanya pergeseran pemahaman bahwa hijab sebagai simbol ibadah menjadi hijab sebagai model semata. Ketika tujuan utama berhijab bergeser menjadi sekadar tren, maka tak heran banyak muslimah yang tidak lagi mempertimbangkan aspek syar’i dalam berbusana dan mengikuti arus perkembangan fashion modern. Ini bukan berarti bahwa fashion tidak bisa berjalan dengan syariat. Di indonesia sendiri, banyak dijual hijab instan yang tetap panjang, menutupi dada, tidak menerawang, dan nyaman digunakan kini tersedia luas di pasaran. Ini berarti untuk menjadi modis tidak harus mengorbankan prinsip agama.
Dengan adanya fenomena ini juga mencerminkan bahwa arus informasi dan tren fashion modern begitu cepat menyebar, edukasi keagamaan perlu ditingkatkan agar umat Islam tidak salah memahami esensi dari ajaran islam. Hijab bukanlah sekadar identitas visual, tetapi simbol dari kepatuhan dan kesungguhan seorang muslimah dalam menjaga kehormatan dirinya.
Tren boleh datang lalu menyebar dengan cepat, namun prinsip muslimah sendiri sudah seharusnya tetap teguh. Muslimah masa kini harus mampu menjadi pribadi yang tidak hanya mengikuti perkembangan tren semata, tetapi juga mampu memilah mana yang sesuai dan mana yang bertentangan dengan ajaran agama. Menutup aurat bukan berarti harus mengorbankan gaya, tetapi gaya juga tidak boleh mengorbankan akhlak dan syariat.
Dalam hal ini, penting untuk menanamkan kesadaran bahwa berhijab bukan semata tentang selera, tetapi juga tanggung jawab spiritual. Muslimah perlu memahami bahwa setiap pilihan busana mencerminkan nilai dan prinsip yang diyakininya. Gaya bisa mengikuti zaman, tapi akidah dan adab tetap harus dijadikan landasan.
Sebenarnya hijab tanpa pentul bukan hal yang salah jika dipakai dengan cara yang benar. Namun, jika hijab tersebut mengabaikan prinsip dasar dari agama, maka tren tersebut patut dikaji ulang. Hijab bukan hanya tentang menutup kepala, tetapi juga tentang menjaga kehormatan dan ketaatan kepada Tuhan.
Penting untuk ditekankan bahwa berhijab dengan menggunakan pentul bukanlah penghalang untuk tampil simpel dan modern. Justru dengan pemahaman dan kesadaran yang benar, setiap muslimah dapat menjadi inspirasi bagi orang lain dalam menyeimbangkan antara penampilan dan ketaatan. Mari bijak dalam menyikapi tren dan jangan biarkan tren hijab tanpa pentul dapat menghilangkan esensi dari aturan agama.
Penulis bernama Amirah Nurlija Zabrina, mahasiswi program studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Syiah Kuala.
Editor: Sara Salsabila