Beranda Opini Deklarasi Pemboikotan Kaum LGBT di Media Sosial

Deklarasi Pemboikotan Kaum LGBT di Media Sosial

BERBAGI
Orang memegang sebuah spanduk bertuliskan "LGBT Rights Are Human Rights" (Doc.Ist)

Opini | DETaK

Di tengah derasnya arus digitalisasi dan kebebasan berekspresi, kita menyaksikan sebuah gejala sosial yang mengundang perhatian sekaligus keresahan. Munculnya para figur publik, termasuk influencer, yang dengan terbuka menyuarakan identitas LGBT mereka di media sosial. Mereka tampil percaya diri, mengisahkan pengalaman pribadi, dan perlahan-lahan membentuk narasi baru yang mulai dianggap “biasa” di tengah masyarakat maya.

Namun, dalam kebebasan itu, muncul pertanyaan mendasar, sampai di mana batas antara hak menyuarakan diri dan tanggung jawab terhadap pengaruh yang ditimbulkan?

Iklan Souvenir DETaK

Kita tidak bisa menafikan bahwa media sosial memiliki daya pengaruh yang luar biasa terutama bagi generasi muda yang masih membentuk nilai dan identitas mereka. Ketika influencer yang digandrungi mulai mempromosikan gaya hidup tertentu secara terang-terangan, bukan tidak mungkin hal itu membentuk standar baru yang seolah-olah harus diikuti. Padahal, tidak semua narasi layak menjadi konsumsi publik tanpa filter.

Sekali dianggap hal yang krusial, namun hal-hal demikian dilakukan berkali-kali untuk menarik perhatian dan pengakuan bahwa hal ini layak dinormalisasikan, beberapa yang sudah menjadi kaum mereka dalam diam mulai berani bersuara sejak sang influencer membeberkan bahwa dirinya juga bagian yang sama dari mereka, lantas hal ini akan menjadi budaya yang terus mereka bawa untuk menjadi bagian dari anggota-anggotanya.

Bukan soal menolak keberadaan, tapi mempertanyakan cara dan ruang penyampaiannya. Apakah setiap hal pribadi harus diumbar ke ranah publik? Apakah ruang digital yang diikuti oleh jutaan orang harus dijadikan tempat pembentukan opini yang bisa memicu kebingungan nilai, terutama pada remaja yang rentan? Kita perlu waspada terhadap normalisasi yang dibungkus dengan dalih kebebasan.

Kebebasan apa yang diinginkan, bukannya malah berpasang-pasangan mereka lebih memilih mendampingi yang sejenis dan terbungkus seolah-olah terlihat seperti teman. Kasus-kasus LGBT yang terus-terusan menjadi momok menakutkan tidak bisa kita sepelekan, jika mereka gencar mendeklarasikan, membanggakan dan haus validasi untuk diakui kita juga harus lebih mampu untuk memberantas, memboikot dan menghentikan langkah-langkah tersebut sebelum anak-anak remaja yang rentan, kaum kaula muda yang mulai meragu akan sebuah rasa tentang cinta, perceraian serta penyesalan yang sering kali menjadi target empuk kaum penyuka sesama jenis amat rentan untuk dibawa dan akan menjadi akhir dari sebuah penyesalan.

Kita juga tidak bisa menutup mata bahwa banyak masyarakat yang merasa terusik bukan karena membenci, tapi karena merasa nilai-nilai yang selama ini dipegang mulai digeser secara paksa oleh eksistensi digital. Representasi itu penting, tetapi jangan sampai menjadi pemaksaan persepsi. Ketika saat lelah tentang petisi pemboikotan LGBT sudah gencar dilakukan dan nihil akan hasil yang didapatkan, mereka akan terus merajalela menyuarakan diri dan pilihan yang dianggap adalah sebuah kebebasan yang amat sekali menyimpang.

Ada perbedaan besar antara memperjuangkan hak dan menjadikan identitas sebagai tren. Ketika narasi dibentuk tanpa keseimbangan, ketika hanya satu sisi yang bersuara, maka yang muncul bukan pemahaman, tapi justru penolakan yang lebih dalam. Tentu seluruh umat didunia bisa belajar untuk menerima sebuah perbedaan namun kita tidak boleh menerima apapun sebuah pilihan yang berbentuk penyimpangan.

Masyarakat butuh ruang aman, bukan ruang yang membingungkan. Media sosial harus menjadi tempat dialog, bukan dominasi. Dan para influencer harus sadar, pengaruh mereka bukan hanya soal klik dan likes, tapi juga soal tanggung jawab moral atas apa yang mereka tampilkan.

Penulis bernama Amanda Tasya, Mahasiswi Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Syiah Kuala.

Editor : Cut Irene Nabilah