Beranda Opini Darurat Pelecehan Seksual, Sistem di Indonesia Gagal Melindungi Korban

Darurat Pelecehan Seksual, Sistem di Indonesia Gagal Melindungi Korban

BERBAGI
Grafis. (Shafna/DETaK)

Opini | DETaK

Pelecehan seksual di Indonesia sudah seharusnya menjadi sorotan utama di ruang publik. Tak hanya dari sisi korban yang terus bertambah, namun juga dari kegagalan sistemik yang ada di negara ini. Setiap hari berita tentang pelecehan seksual datang dari berbagai lini seperti kampus, institusi pendidikan, pejabat publik, bahkan dunia olahraga. Semua ini mencerminkan bahwa Indonesia dalam kondisi darurat pelecehan seksual yang tak kunjung ditangani dengan serius. 

Kampus: Tempat Keamanan yang Justru Membiarkan Pemangsa Berkeliaran 

Iklan Souvenir DETaK

Seharusnya kampus dapat menjadi tempat mahasiswa untuk berkembang. Namun kenyataannya, banyak kasus pelecehan seksual yang terjadi di sana, bahkan oleh pihak yang seharusnya memberi contoh. Dalam setahun terakhir, beberapa kasus mengguncang dunia pendidikan, salah satunya adalah laporan terhadap seorang Guru Besar dari Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada. Dia dilaporkan melakukan pelecehan seksual terhadap mahasiswi dengan modus akademik yang sangat memanfaatkan posisi. Ini bukan kasus pertama dan sayangnya bukan yang terakhir.

Dalam beberapa bulan terakhir, kampus-kampus besar di Indonesia semakin banyak dilaporkan karena mengabaikan laporan pelecehan seksual, dan dalam beberapa kasus mereka melindungi pelaku. Ketika institusi pendidikan seperti universitas gagal memberi perlindungan, siapa lagi yang dapat dipercaya? Lebih buruknya lagi, tidak ada mekanisme yang transparan dan efektif untuk menindak tegas kasus-kasus tersebut. Bahkan seringkali korban justru dipersalahkan, atau lebih parah lagi mereka justru dibungkam.

Pejabat Publik: Ketika Kuasa Menjadi Alat Menindas 

Kasus pelecehan seksual tidak hanya terjadi di kalangan mahasiswa atau pelajar. Pejabat publik, yang seharusnya menjadi pelindung, justru menjadi pelaku. Kasus AKBP Fajar Widyadharma yaitu mantan Kapolres Ngada diduga melakukan pelecehan terhadap anak di bawah umur dan menyebarkan rekaman ke situs pornografi internasional, ini merupakan sebagian dari segudang kasus serupa. Ini memperlihatkan bahwa dalam sistem yang gagal ini, mereka yang memiliki kekuasaan merasa kebal terhadap hukum dan bisa dengan bebas menindas korban. 

Pada tahun 2024, Komnas Perempuan melaporkan ada lebih dari 10.000 kasus pelecehan seksual dan tak sedikit dari pelaku yang berasal dari kalangan pejabat, baik di institusi negara maupun di dunia pendidikan. Ketika mereka yang seharusnya memberikan perlindungan justru menjadi ancaman, apa yang bisa kita harapkan dari sistem ini?

Dunia Olahraga: Ketika Pelatih Menjadi Predator

Dunia olahraga Indonesia juga tak bisa lepas dari masalah ini. Atlet muda, yang seharusnya dilindungi dan dihargai, justru menjadi korban pelecehan. Seperti yang terjadi pada pelatih karate di Pontianak yang diduga melakukan pelecehan seksual terhadap atlet perempuan di bawah asuhannya. Kasus ini membuka mata kita tentang betapa rentannya posisi atlet muda terhadap pelecehan dari orang-orang yang mereka percayai pelatih mereka sendiri.

Komite Olimpiade Indonesia (KOI) memang sudah menetapkan pedoman untuk melindungi atlet dari kekerasan dan pelecehan seksual. Namun, dalam prakteknya, banyak kasus yang terbengkalai, dan institusi yang bertanggung jawab belum menunjukkan keseriusan dalam menegakkan perlindungan terhadap atlet muda, yang justru menjadi sasaran empuk bagi predator. 

Sistem yang Gagal: Negara Harus Tanggung Jawab  

Apa yang lebih mengejutkan daripada kenyataan bahwa kasus-kasus pelecehan seksual ini terus tumbuh tanpa ada langkah nyata untuk mencegahnya? Negara seakan tak mampu atau tak mau menghadapi masalah ini dengan serius. Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang diharapkan menjadi angin segar untuk melindungi korban, seakan hanya menjadi teks yang kering tanpa ada implementasi yang signifikan.  

Sistem yang ada tidak cukup tegas dalam menindak pelaku pelecehan seksual. Negara, kampus, aparat penegak hukum, dan lembaga sosial seharusnya bersama-sama membentuk sistem yang mengutamakan korban, bukan pelaku. Ini bukan hanya soal melaporkan kasus, tetapi bagaimana menciptakan ruang aman bagi para korban untuk berbicara tanpa rasa takut akan pembalasan atau stigma. 

Saatnya Berhenti Diam: Korban Bukanlah Pihak yang Salah 

Ketika kita berbicara soal pelecehan seksual, seringkali kita terjebak dalam wacana yang membahas pakaian korban atau bagaimana mereka bertindak. Padahal, pelecehan seksual adalah tanggung jawab penuh dari pelaku. Saatnya kita berhenti menyalahkan korban dan mulai menyoroti pelaku serta sistem yang memungkinkan mereka untuk terus bebas. Kita tidak bisa terus diam, apalagi berpura-pura bahwa ini bukan masalah besar. Ketika kita membiarkan pelecehan seksual terus terjadi tanpa ada tindakan nyata, kita sedang mengizinkan sistem yang lebih besar untuk terus menindas. 

Jika negara tidak mampu melindungi warganya, jika institusi pendidikan tidak mampu memberikan perlindungan bagi mahasiswanya, dan jika dunia olahraga tidak mampu menjaga para atlet dari pelecehan, maka siapa lagi yang akan melindungi kita? Saatnya untuk melakukan perubahan untuk melawan budaya yang membiarkan pelecehan seksual tumbuh subur di berbagai sektor kehidupan. Pada akhirnya yang terpenting adalah menjaga martabat dan keselamatan setiap individu di negeri ini.

Penulis bernama Shafna, Mahasiswi Jurusan Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Syiah Kuala.

Editor : Amirah Nurlija Zabrina