Opini | DETaK
Beberapa hari yang lalu tepatnya pada tanggal 03 September 2022 masyarakat Indonesia dihebohkan dengan kebijakan pemerintah pusat menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) seperti pertalite, pertamax dan juga solar. Singkatnya, keputusan pemerintah pusat itu pun menuai banyak sekali kritikan di kalangan masyarakat, berbagai macam argumentasi pun dilemparkan untuk mencoba mengkritik dan menolak keputusan tersebut.
Berbagai elemen masyarakat melakukan penolakan terhadap keputusan pemerintah pusat yang dalam hal ini menaikkan harga BBM. Salah satu elemen masyarakat yang menolak itu adalah dari kalangan intelektual muda yang dikenal serta dikenang karena idealismenya yakni mahasiswa.
Pecahnya gerakan aksi dua kampus besar di Aceh
Uniknya dan anehnya dari salah satu bentuk penolakan kalangan mahasiswa terhadap kenaikan harga BBM tersebut bisa kita lihat di Kota Banda Aceh, yang di mana kota yang memiliki 2 (dua) kampus dengan tagline ‘Jantong Hatee Rakyat Aceh’ yakni Universitas Syiah Kuala (USK) dan juga UIN Ar-Raniry ini sama-sama melakukan aksi demonstrasi berisikan isu nasional seperti kenaikan BBM, dan sebagainya.
Isu daerah pun juga ikut didemonstrasikan seperti tingkat kesejahteraan masyarakat Aceh, pendidikan, kemiskinan, dan lainnya. Namun ‘anehnya’ aksi tersebut tidak dilakukan secara serentak, mulai harinya yang berbeda hingga lokasinya pun juga ikutan berbeda. UIN di DPRA dan USK di kantor Gubernur Aceh. Lantas penulis dan juga beberapa mahasiswa mulai bertanya-tanya, “Kenapa ya, kok demo kali ini USK dan UIN ga dilakukan secara serentak?”
Berangkat dari pertanyaan yang bisa menyebabkan spekulasi berkebihan ini, penulis mencoba sedikit menjelaskan dengan langkah awal mengkonfirmasi kepada pihak terkait agar kejelasan yang dipahami oleh masyarakat itu benar-benar valid dikarenakan sepanjang aksi demonstrasi yang tercatat dilakukan oleh dua kampus dengan tagline ‘Jantong Hatee Rakyat Aceh’ seperti PT EMM, RUU KPK, RUU KUHP dan Omnibus Law dilakukan secara serentak dan bersama-sama atas nama Aliansi Mahasiswa Aceh. Lantas mengapa saat ini tidak lagi serentak dan bersama-sama?
Perbedaan terjadi karena kendala teknis
Menjawab hal yang sedang hangatnya ini, penulis melakukan diskusi dengan salah satu petinggi di BEM USK yaitu Rahmat Fahlevi selaku Kemenpolhukam BEM USK. Beliau menyampaikan kepada penulis bahwasannya tidaklah benar mengenai isu perbedaan jadwal demonstrasi itu disebabkan oleh merenggangnya hubungan USK dan UIN Ar-Raniry.
“Mahasiswa USK dan UIN mulai dari hari pertama hingga hari ini tetap mengkoordinasikan terkait pergerakan, kedua belah pihak mahasiswa tersebut mempunyai goals yang sama dan point tuntutan yang relatif berbeda,” jelasnya
Tidak ada percikan konflik sama sekali di antara kedua mahasiswa berbeda perguruan tersebut, hanya saja ada sedikit kendala teknis yaitu UIN lebih dahulu memasukkan surat pemberitahuan demonstrasi dari pada USK.
Sehingga kedua universitas tersebut melakukan aksi seolah seperti shift. Di samping isu nasional, USK membawa segudang tuntutan isu daerah sebanyak 25 poin tuntutan mulai dari kemiskinan, DOKA, pendidikan, ekonomi, pelecehan seksual hingga konflik agraria,” imbuhnya.
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah, kedua gerakan ini lebih kepada gerakan komplementaris atau pelengkap. Di satu sisi mahasiswa UIN menduduki dan mengawal isu via legislatif, dan mahasiswa USK mendobrak kantor gubernur menyampaikan isu daerah dan inilah yang disebut sebagai memasifkan tuntutan dan penyampaian aspirasi secara simultan.
Sebuah pola pergerakan
Presiden mahasiswa USK, Zawata Afnan juga menyampaikan kepada penulis lewat Whatsapp bahwasannya perbedaan jadwal dan lokasi demonstrasi USK dan UIN Ar-Raniry itu merupakan pola pergerakan. “Itu adalah pola pergerakan,” jelasnya kepada penulis.
Penulis merasa penjelasan lewat penyataan dari Presma dan Menkopolhukam USK ini cukup untuk menjadi jawaban tervalidasi guna menjawab asumsi liar yang beredar di kalangan mahasiswa dan masyarakat pada umumnya terkait perbedaan jadwal dan lokasi demonstrasi berbeda yang dilakukan oleh USK dan UIN Ar-Raniry.[]
Penulis bernama Tonicko Anggara, mahasiswa Jurusan Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Syiah Kuala.
Editor: Della Novia Sandra