Artikel DETaK
Kesenjangan sosial merupakan kondisi di mana terdapat perbedaan mencolok dalam aksesterhadap sumber daya, kesempatan, dan kesejahteraan di antara kelompok masyarakat. Fenomena ini mencakup berbagai aspek, mulai dari ekonomi, pendidikan, hingga layanankesehatan. Di Indonesia, kesenjangan sosial masih menjadi tantangan besar yang
memengaruhi kehidupan sehari-hari banyak orang.
Di Indonesia sendiri, persoalan kesenjangan sosial masih menjadi tantangan besar. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), gini ratio per September 2024 tercatat sebesar 0,388, naik dibandingkan Maret 2024 yang berada di angka 0,379. Angka ini menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan antarwarga semakin melebar. Di wilayah perkotaan, gini ratio tercatat lebih tinggi, yaitu 0,402, sementara di pedesaan sebesar 0,308. Gini ratio sendiri adalah indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan. Semakin tinggi angkanya, semakin besar pula jurang antara kelompok kaya dan miskin. Ketimpangan ini bisa dengan mudah kita lihat, bahkan tanpa harus pergi ke pelosok.

Di Jakarta, misalnya, di tengah deretan gedung pencakar langit, masih banyak kawasan permukiman kumuh dengan fasilitas seadanya. Kondisi ini menggambarkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi belum tentu dirasakan secara merata oleh semua lapisan masyarakat. Ada banyak hal yang membuat kesenjangan sosial di Indonesia masih terasa. Beberapa diantaranya adalah program bantuan yang belum sepenuhnya merata, pembangunan infrastruktur yang masih perlu diperluas ke berbagai daerah, hingga praktik korupsi yang memperkaya segelintir pihak. Selain itu, tingginya angka kemiskinan juga ikut memperbesarjurang ketimpangan, yang dipengaruhi oleh banyak faktor seperti terbatasnya kesempatan kerja, tantangan di sektor ekonomi, hingga masih kurangnya akses terhadap kebutuhan dasar di beberapa wilayah.
Menariknya, belakangan ini TikTok, sebagai platform media sosial yang populer di kalangan anak muda, menjadi wadah untuk menyoroti isu kesenjangan sosial melalui tren yang viral. Tren ini biasanya menampilkan percakapan antara dua individu dengan latar belakang ekonomi berbeda, yang sedang dalam tahap pendekatan atau “PDKT”. Percakapan tersebut sering kali mengungkapkan perbedaan gaya hidup dan kebiasaan yang mencerminkan
ketimpangan sosial. Misalnya, seseorang yang terbiasa memarkir motor di dalam rumah karena tidak memiliki garasi, berbicara dengan seseorang yang menganggap hal tersebut aneh karena terbiasa dengan fasilitas yang aneh.
Gaya penyampaian yang digunakan dalam tren ini cenderung santai dan penuh humor, namun menyisipkan sindiran halus tentang realitas sosial. Di balik kelucuan tersebut, terselip pesan tentang bagaimana kesenjangan sosial dapat terasa dalam interaksi sehari-hari. Tren ini menjadi populer karena banyak orang merasa “relate” dengan situasi yang digambarkan, sehingga menyentil kenyataan bahwa perbedaan status sosial kerap menjadi sekat dalam hubungan sosial.
Fenomena ini menunjukkan bahwa media sosial bukan hanya tempat hiburan, tetapi juga ruang ekspresi sosial dan budaya. Melalui konten-konten kreatif, para pengguna TikTok berhasil menyampaikan realitas yang sering kali dianggap remeh atau diabaikan. Tren ini juga membuktikan bahwa generasi muda memiliki kesadaran sosial yang tinggi dan mampu mengangkat isu-isu penting dengan cara yang menarik dan mudah dipahami. Namun, penting untuk diingat bahwa meskipun tren ini menghibur, kesenjangan sosial adalah masalah serius yang memerlukan perhatian dan tindakan nyata.
Pemerintah dan masyarakat perlu bekerja sama untuk mengurangi ketimpangan ini melalui kebijakan yang adil, peningkatan akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan, serta pemberdayaan ekonomi bagi kelompok yang kurang mampu. Dengan demikian, tren kesenjangan sosial di TikTok bukan hanya sekadar hiburan, tetapi juga cerminan dari realita yang dihadapi oleh banyak orang. Melalui kesadaran dan diskusi yang dibangun dari tren ini, diharapkan dapat mendorong perubahan positif dalam masyarakat menuju keadilan sosial yang lebih baik.
Penulis bernama Nasywa Nayyara Tsany, mahasiswi program studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Syiah Kuala
Editor: Sara Salsabila