Artikel | DETaK
Ramadhan adalah bulan suci umat Islam, bulan penuh ampunan dan rahmat dari Allah SWT. Puasa di bulan Ramadan bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi juga menahan diri dari segala hal yang membatalkan dan mengurangi pahala puasa, mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari, dengan niat tulus karena Allah SWT. Ramadhan menjadi momentum terbaik untuk melatih pengendalian hawa nafsu dan membina spiritualitas diri. Namun sayangnya, keberkahan bulan mulia ini dinodai oleh segelintir umat muslim dengan kepulan asap di mulutnya. Tidak jarang kita menemukan orang yang merokok di siang hari, atau bahkan berlomba-lomba menyalakan rokok segera setelah adzan Maghrib berkumandang. Seolah-olah puasa hanya menjadi alasan menunda, bukan menghentikan kebiasaan tersebut.
Tidak perlu mencari-cari pembenaran, seperti anggapan bahwa merokok tidak membatalkan puasa karena hanya “menghisap asap” bukan “memakan”. Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menegaskan bahwa merokok membatalkan puasa. Dalam Fatwa MUI Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hukum Merokok, disebutkan bahwa merokok termasuk aktivitas yang memasukkan zat ke dalam tubuh melalui rongga terbuka yang jelas membatalkan puasa. Merokok di siang hari bulan Ramadhan adalah bentuk pengkhianatan terhadap makna puasa itu sendiri, yaitu melatih diri mengendalikan hawa nafsu. Jika seseorang tidak mampu menahan diri dari godaan sebatang rokok, maka sesungguhnya ia gagal menaklukkan dirinya sendiri.

Dari sisi medis, merokok juga merusak tubuh, apalagi ketika dilakukan segera setelah berbuka. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mencatat bahwa merokok dalam kondisi perut kosong setelah berpuasa dapat memicu penyempitan pembuluh darah secara mendadak, meningkatkan risiko serangan jantung, stroke, dan gangguan pernapasan akut. Sebuah penelitian dalam Journal of the American Heart Association (2017) mengungkapkan bahwa perokok yang kembali merokok setelah periode tidak merokok (seperti saat puasa) mengalami lonjakan drastis tekanan darah dan detak jantung, yang sangat berbahaya bagi kesehatan jantung. Ironisnya, meskipun sadar akan bahaya tersebut, banyak perokok tetap acuh. Padahal, Ramadhan seharusnya menjadi ajang memperbaiki pola hidup, mulai dari konsumsi makanan sehat, istirahat cukup, hingga olahraga ringan. Sayangnya, momen berbuka malah dijadikan ajang “balas dendam” setelah menahan diri seharian.
Lebih tragis lagi, asap rokok tidak hanya merusak tubuh perokok itu sendiri, tetapi juga menjadi racun bagi orang-orang di sekitarnya. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa asap rokok mengandung lebih dari 7.000 zat kimia berbahaya, termasuk 70 zat karsinogenik (pemicu kanker). Dalam suasana Ramadhan, ketika banyak keluarga berbuka bersama di ruang tertutup, asap rokok menjadi bentuk kedzaliman kepada sesama, termasuk anak-anak, lansia, dan ibu hamil yang ikut terpapar. WHO mencatat bahwa lebih dari 1,3 juta orang meninggal setiap tahun akibat menjadi perokok pasif, termasuk 65.000 anak-anak di bawah usia lima tahun. Bahkan, asap rokok yang diembuskan ke udara justru mengandung racun dengan kadar lebih tinggi dibanding asap yang dihirup perokok sendiri. Artinya, merokok di tengah keluarga sama saja dengan menjadi “pembunuh” bagi orang-orang tercinta.
Indonesia adalah negara dengan jumlah perokok tertinggi ketiga di dunia, dengan lebih dari 70 juta penduduk aktif merokok, menurut laporan WHO tahun 2021. Data Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 juga mencatat bahwa 33,8% penduduk Indonesia berusia di atas 15 tahun adalah perokok aktif.
Padahal, puasa adalah latihan pengendalian diri, maka Ramadhan seharusnya menjadi momentum untuk berhenti merokok. Selama lebih dari 12 jam, tubuh sebenarnya sedang “dipaksa” bebas dari nikotin dan tar, namun momen itu sering disia-siakan karena lemahnya pengendalian diri. Mengaku berpuasa, namun tidak bisa menahan diri dari rokok, baik di siang hari maupun setelah berbuka, bagaikan mencuci baju di lumpur: niatnya membersihkan diri, tetapi justru semakin mengotori.
Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta, maka Allah tidak butuh dari lapar dan hausnya.” (HR. Bukhari)Karena itu, Ramadan ini, saatnya kita mengakhiri ironi antara rokok dan puasa. Berhenti merokok adalah wujud ketaatan kepada Allah, sekaligus bentuk kasih sayang kepada diri sendiri dan orang-orang tercinta. Mari jadikan Ramadhan bukan sekadar bulan tanpa makan dan minum, tetapi juga bulan tanpa kepulan asap rokok.
Penulis bernama Zikni Anggela, Mahasiswa Program Studi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Syiah Kuala.
Editor: Masya Pratiwi