Artikel | DETaK
Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) kini menjadi salah satu terobosan digital paling menonjol di Indonesia. Sejak diluncurkan oleh Bank Indonesia pada tahun 2019, QRIS terus mengalami perkembangan yang begitu pesat hingga berhasil menembus pasar internasional melalui kerja sama pembayaran lintas negara. QRIS hadir dengan tujuan menyatukan berbagai metode pembayaran digital ke dalam satu sistem yang lebih praktis, aman, dan efisien.
QRIS menjadi sistem digital yang paling efektif untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Fitur ini banyak membantu pengguna agar memudahkan transaksi pembayaran baik dalam berbagai aplikasi belanja, pembayaran ditempat, maupun donasi jarak jauh. Tetapi bagi masyarakat, keberadaan QRIS bukan hanya sekedar mempermudah belanja di toko atau transaksi daring, tetapi juga mendukung akses keuangan, terutama bagi pelaku UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) yang saat ini bisa menerima pembayaran digital tanpa perlu menggunakan banyak aplikasi.

Keberhasilan penerapan QRIS di Indonesia bahkan sudah mendorong kerja sama lintas negara. Saat ini, QRIS sudah bisa dioperasikan di Thailand, Malaysia, dan Singapura, yang masing-masing dari negara tersebut mulai menggunakannya sejak 2022 dan 2023. Bahkan baru-baru ini, QRIS menjadi inspirasi sistem pembayaran yang juga akan diterapkan di negara Taiwan dan Jepang. Alasan utama negara-negara tersebut menerima QRIS adalah karena kesederhanaan konektivitas, efisiensi biaya transaksi lintas batas, dan potensi memperkuat sektor pariwisata maupun perdagangan.
Berdasarkan data dari Bank Indonesia, per Desember 2023 jumlah merchant yang menggunakan QRIS telah mencapai 30,4 juta dengan total transaksi menembus Rp266,3 trilliun. Angka ini menunjukkan perkembangan signifikan dibanding tahun sebelumnya yang hanya sekitar Rp98 trilliun. Bahkan di tingkat internasional, transaksi lintas negara dengan Thailand, Malaysia, dan Singapore sudah mencapai Rp 1,66 trilliun pada awal tahun 2024.
Kelebihan QRIS yang membuatnya digunakan di Luar Negeri
Bagaimana QRIS dapat menarik perhatian beberapa negara lain, termasuk penggunaan antarnegara (cross-border)? Berikut beberapa poin kelebihannya:
1. Standarisasi dan Interoperabilitas. QRIS memakai standar EMVCo (Europay, Mastercard and Visa Company) dan dibuat agar dapat sejalan antaraplikasi/pihak penyedia pembayaran. Ini membantu para pedagang dan pengguna dari negara lain untuk memakai sistem ini.
2. Skala dan Adopsinya Cepat. Karena banyak sekali pengguna dan pedagang di dalam negeri, QRIS sudah sangat menyebar di UMKM, warung kecil, dan toko kecil. Ini menunjukkan komunitas pengguna yang besar.
3. Kemudahan dan Biaya yang Relatif Rendah untuk UMKM. Sudah banyak UMKM yang bisa menggunakan QRIS hanya dengan melalui stiker QR (Quick Response), tanpa perlu alat EDC (Electronic Data Capture) yang mahal.
4. Inovasi Berkelanjutan. Sistem QRIS tidak hanya diam pada satu titik. Ada perkembangan lainnya seperti QRIS Tap dan perluasan penggunaan lintas negara.
Tetapi meski demikian, terdapat beberapa tantangan yang perlu diatasi agar QRIS benar-benar menjadi panutan internasional. Tantangan tersebut meliputi keamanan data pengguna, keterbatasan literasi digital didaerah terpencil, serta kebutuhan akan infrastruktur jaringan internet yang merata.
Selain itu, agar tidak hanya QRIS yang menjadi panutan, platform digital di Indonesia secara keseluruhan juga perlu diperkuat. Sistem digital seperti dompet digital, aplikasi kesehatan digital, maupun open banking dapat didorong untuk mendapatkan standar internasional dan diakui secara global.
QRIS telah berhasil membawa Indonesia selangkah lebih maju dalam modernisasi teknologi. Dengan jumlah pengguna yang terus meningkat dan penerapan lintas negara, QRIS menunjukkan bahwa inovasi lokal bisa mendunia. Kedepannya, diharapkan sistem digital yang lain mampu meniru kesuksesan QRIS sehingga Indonesia semakin dianggap penting di arena ekonomi digital internasional.
Penulis bernama Naisya Alina, Mahasiswi Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Syiah Kuala.
Editor: Nasywa Nayyara Tsany